Saturday, September 10, 2011

Pantai, Sebatang Nyiur dan Segenggam Pasir

Dear Pung,

Aku punya kenangan denganmu di pantai itu. Dulu sekali, ketika langit masih berwarna pastel dan burung-burung camar itu belum lagi takut pada manusia. Kita duduk di bawah sebatang nyiur yang meneduhi sebidang pasir dari matahari. Aku di sebelahmu sibuk mengoleskan sunblock berulang kali.

"Takut nggak putih lagi?" Kau terkekeh geli.
"Takut kebakar," aku bersungut. Kau yang memaksaku ke pantai, padahal kubilang kita ke Puncak saja. Aku suka udara sejuk dan angin gunung yang lembut dan ramah, bukan matahari dan angin pantai yang kering berbau garam nan lengket.
"Ngapain sih kita duduk di sini?" Tanyaku heran. Sejak tadi kau hanya mengajakku duduk saja setelah minum es kelapa di sebuah warung, di ujung pantai sana. "Lu nggak lapar?"
"Lu lapar ya?" Kau merogoh ranselmu, secara tak terduga mengeluarkan sebatang coklat yang diulurkan padaku. "Nih!"
"Bukannya dari tadi lu kasihin ke gue."
"Lupa."

Aku mulai mengunyah coklatku, dan kau masih diam. Menekuk lutut, menghembuskan asap rokokmu pelan-pelan ke udara. Menciptakan gulungan-gulungan tipis yang melenyap di atas kepala. Pasir di sekeliling kita bergerak oleh angin. Menimbun ujung-ujung kakiku yang telanjang dan ujung sepatu kedsmu yang butut.

"Sepatu lu bukannya ganti. Malu-maluin. Udah jelek gitu masih dipake."
Kau terkekeh. "Ini sepatu belinya pake gaji pertama. Jadi bersejarah."
Aku tergelak. "Mau beli pake gaji pertama kek, pake duit presiden Amerika kek, tetep aja butut, malu-maluin!"
Kamu meraup segenggam pasir dan menaburkannya di pangkuanku sambil tertawa-tawa, bangkit dan lari menjauhi bahaya: aku yang marah-marah.

Tahukah engkau, Pung. Bertahun-tahun setelahnya aku masih tak mengerti untuk apa kau mengajakku ke pantai itu. Hari itu berjam-jam kita hanya keluyuran di sana, mengukur bibir pantai dari jilat ombak yang datang dan pergi. Kau arsitek, bisa dengan mudah menghitung perkiraan. Aku cuma berlari-lari saja mengejar ombak itu, yang menyurut lagi ke laut.

"Ngapain kita ke sini?"
"Jalan-jalan."
"Bukan, pasti ada sebab lain."
"Memang ada."
"Dan itu adalah?"
"Kurang refreshing."
"Huh. Alasan apaan tuh!"

Matahari semakin meninggi, angin mulai gemerisik ribut di antara lengan-lengan nyiur. Pasir yang beterbangan mengaburkan pandanganku kepadamu, yang berdiri mematung menatap laut.

"Lapar tau."
"Ayo cari makanan!"
"Gue mau makan nasi."
"Iya. Di sebelah sana ada rumah makan."
"Lu yang traktir kan?"
"Emang kapan gue nggak pernah traktir lu?"
"Hehehe... gue yang nggak pernah."
"Pernah. Lu pernah kok."
"Lho? Kapan? Lupa gue."
"Waktu kita ke Gramedia trus gue lupa bawa dompet."
"Oh iyaaaa! Hahahaha."

Lalu suatu hari kau pergi. Begitu saja, meninggalkan aku sendiri tanpa perlindungan. Sudah kukatakan padamu untuk berhenti, sejak kutahu kau mengenal bubuk jahat itu. Kau tenggelam dalam pemujaan terhadapnya. Mengisi darahmu gram demi gram dengannya. Sudah kubilang berhenti, Pung! Berhenti! Tapi kau tuli.

Lalu kau pergi. Dan aku tersedu-sedu di sisi jenasahmu di rumah sakit itu. Apa yang sangat menyakitkan dalam persahabatan kita, Pung? Melihatmu berjuang, lalu kalah. Karena kau memulainya dengan sangat terlambat.

Pung, aku masih tidak menyukai pantai. Tapi lelakiku menyukainya. Kalau kau masih ada, kurasa kalian dengan mudah menjadi teman. Aku akan 'terpaksa' menjelajahi pantai bersama kalian.

Tiba-tiba aku ingat padamu, Pung. Makammu begitu jauh. Padahal aku ingin bersimpuh di dekat nisanmu dan menyapamu seperti dulu. "Howdy, cowboy!"

.................

Dua hari yang lalu.

"Aku nggak suka pantai. Kalau ke pantai kulitku suka terbakar."
"Nanti juga normal lagi kan."
"Lama. Dua bulan biasanya. Tapi kalau kena matahari di kota atau gunung nggak terbakar tuh."
"Kok aneh?"
"Mungkin bukan sinar matahari langsung. Terpantul dulu ke gedung atau pohon-pohon."
"Nggak ada teorinya intesitas sinar matahari berkurang karena terpantul gitu."
"Lho faktanya begitu, gimana."
"Nggaklah. Kalau terbakar ya harusnya dimana-mana sama."
"Kamu tuh yaaa. Iya, iya. Minta ditemenin aja berbelit-belit. Aku mau ke pantai deh. Aku temenin kamu sampai puas."



pict from here




Image and video hosting by TinyPic

19 comments:

Arman said...

wah ternyata ada juga yang gak suka pantai... toss dulu dong... :D

Wuri SweetY said...

Sama lagi kita, aku ga suka pantai krn bikin tambah item. Nah cowokku walupun item demen bgt ke pantai.

"Demi dirimu sayang, aku rela kulitku gosong"kata enno... :P

Cuit...cuit...gangguin orang pacaran ach...

JejakShally said...

baca ceritanya Pung jadi sedih..
walaupun lama-lama dipantai bisa bikin item, tapi tetep pantai jadi tempat kenangan dari Pung :)

Ujang Arnas said...

wah...
gak sempet keluar dari jurang yah sahabatnya mbak.

barang nista itu emang cuma kesenangan sesaat doang.ujung2nya merusak diri sendiri.

tulisannya keren :)
sy suka gaya bahasanya.

Apisindica said...

aku suka pantai. tidak peduli matahari yang garang membuat kulitku makin legam.

sorry teu nyambung komenna :)

Enno said...

@arman: wah kita sama lagi? wow! hahaha yuk tos!

@wuri: hihihi.. apa sih! ga segitunya juga kaleee :D

@shally: aku bkn takut item, shal... tp kulitku sensi, mudah terbakar :)

@uchank: dia kena HIV :'( btw makasih udh komen dan follooow :)

@apis: nyambung juga tauuu... ^^

Asop said...

Saya ke gunung aja ah! :D

Gloria Putri said...

ehhh...jd si aurora borealis itu juga suka pantai?
xixixixi, aq juga lbh suka pantai drpd gunung mbaaa...soalnya kulit pucatku bs jd kemerahan klo di pantai...xixixi (dan juga merencanakan bulan madu di pantai pake bikini seksi, hahahhahaha)
aq ikut sedih baa ceritanya pung :)
semoga gak ada pung yang lain...AMIN

Curly_t@uRus said...

pantai bawa aura romantis tauuuu...

hehehehe
Met lebaran ya enno...maav telat
:)

Rona Nauli said...

bali cliff, uluwatu, padhang2, dreamland...kira2 kau bakal nyerah di pantai yang keberapa, No? :p

Enno said...

@asop: hahaha sama :P

@glo: he? pake bikini? ga salaaah? ngintip aaah, kufoto, trus aplod di blog wkwkwkw

@curly taurus: romantisnya malah bubar klo kulitku malah jd gosong, btw thx ucapan lebarannya may :)

@rona: di pantai yg ga bikin aku gosong madam... ada ga? :P

Mentari said...

Eh? Mba Enno gak suka pantai? weleh, weleh, weleh...
padahal duduk di pasir, di bawah pohon kelapa, sambil diem aja berjam-jam ngeliatin laut itu rasanya seperti di surga lho *lebay ya* hehehe...

untung pacarnya suka pantai, siapa tahu Mba Enno jadi ketularan, hihihi

Rumah Dijual said...

wih kayanya pantainya keren banget tw,,, jadi pengin dah,, :(

Ujang Arnas said...

Woalah HIV yah :|

sekali lagi turut berduka cita deh.
semoga tenang disana.

Enno said...

@mentari: memang asik sih... sambil nulis di lappy gitu ya... tapi keasikan itu berubah mjd derita manakala gosong mulai melanda kulit putri kratonku wkwkwk *pret*

@rumah: makasih dah mampir

@uchank: iya... sedih bgt deh... amin, makasih ya doanya :)

Hans Febrian said...

aku selalu terobsesi sama pantai. makanya, satu minggu disini aku ke pantai tiap hari. who the heck care if i turn to be negro :P

Enno said...

hihihi.. kulit kamu emang butuh agak sedikit matahari krn tll pucat hans... tp masalah di aku itu bkn krn jd hitamnya, tp krn perihnya...

terbakar beneran tau... kulit sensi neeh :P

M. Faizi said...

Bersedih untuk Pung...

Pantai tetap begitu-begitu saja, tergantung kita berdiri di bawah nyiur atau di atas pecahan kapal yang membuat kita terdampar

Unknown said...

Hyaaa..Banyak2 aja yang ga suka pantai,,, biar ga sesekkk... :p

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...