Friday, September 27, 2019

Author Life: Playlist Para Penulis

Setiap kali melihat seseorang sibuk bekerja di depan laptopnya di tempat publik, entah itu kafe, taman, atau perpustakaan umum, saya kagum. Soalnya, saya hanya bisa menulis dalam suasana sepi. Saya menulis di kamar, dengan pintu tertutup dan tanpa suara.

Namun, ada waktu di mana otak saya mendadak mampet karena adegan yang sulit, atau dialog yang nggak kunjung pas. Barulah saya berhenti sejenak dan memutar lagu. Ada sejumlah lagu dalam playlist ‘Kram Otak’ di laptop saya, yang bertahun-tahun tidak pernah saya ganti. Isinya juga cuma 10 lagu.

Playlist ini sudah jadi playlist kebangsaan sejak saya masih jadi jurnalis majalah. Menemani saya mengedit tulisan para reporter, menulis beragam artikel berita, dan melewati deadline yang terkadang sampai pagi.

Lalu, mari kita sebut satu lagu andalan dari semuanya itu. Yang judulnya “HOW TO SAVE A LIFE”, dinyanyikan grup musik The Fray. Lagu ini adalah lagu yang menemani saya di masa-masa terendah dalam hidup saya. Menjadi pagar ketika pikiran-pikiran buruk berdatangan. Bagi saya, lirik lagu ini seperti rintihan penyesalan seorang sahabat atau saudara terdekat yang menyesali kematian orang yang disayanginya karena drugs atau bunuh diri.

Terus nih, tiba-tiba saya jadi  kepo dong, sama playlist dua sohib saya yang juga penulis. Devania Annesya dan Helga Rif, saya colek di chat room untuk ditanya-tanya (maklum ya, mantan jurnalis). Dua-duanya penulis novel yang produktif. Karya-karya mereka malah lebih banyak dari saya. Huwow!

Ternyata Helga sama lho, dengan saya. Helga cuma punya satu playlist yang lagunya nggak pernah diganti-ganti. Sesekali bertambah kalau ada lagu baru yang enak, tapi yang jelas isi playlist lama nggak akan disingkirkan. Kata Helga, menulis sambil mendengarkan lagu-lagu yang sudah dia tahu dan hapal itu bikin nyaman.

Tahu nggak, isi playlist tetapnya itu lagu-lagunya Keris Patih semua. Pokoknya, kata Helga, lagu-lagu di playlist-nya mellow semua, yang bikin dia terhanyut waktu menulis.

Jadi, berlawanan sama saya―yang lebih suka senyap, mendengarkan lagu sambil nulis itu buat dia penting dan membantunya supaya fokus. Lagu favorit Helga di playlist-nya itu yang judulnya “DAN TERNYATA”. Ada yang tahu juga lagu ini? Saya lupa. Nanti cari di Youtube, ah. Hehe.

Nah, Anes modelnya beda lagi. Dia nggak punya playlist permanen kayak saya dan Helga. Untuk setiap novel yang sedang dia tulis, dia bikin playlist sesuai tema novelnya. Satu playlist isinya bisa sampai 25 lagu. Ckckck. Rajin banget ni anak.

Dia bilang gini, “Untuk tema pelakor, lagunya juga tentang pelakor.” Dan, saya kebayang muka dia yang lagi riweuh memilih puluhan lagu tentang pelakor. Hahahahahaha.

By the way, saya kadang-kadang juga bikin playlist sesuai tema novel yang lagi ditulis, sih. Ya, tetep aja nggak terlalu banyak berguna karena nulisnya harus sepi. Didengarnya kalau mau tidur biasanya, untuk jaga mood aja.

Kalau buat Anes, bikin playlist untuk setiap novel itu penting. Berguna untuk semacam backsound adegan. Hmm. Backsound adegan saya hanyalah kehampaan semata, guys.

Oh iya, dari puluhan lagu yang jadi playlist-nya, tetep dong Jeng Nenes punya lagu favorit. Itu adalah lagunya Coldplay, “FIX YOU”. Alasannya, mirip sama alasan saya suka lagu How to Save A Life. Liriknya itu kayak seseorang yang lagi memberi semangat untuk orang-orang yang sedang ada di titik terendah hidupnya. Lagu favorit ini nggak selalu masuk ke playlist novel kalau nggak cocok sama tema.

Baiklah. Sampai pada kesimpulan, guys. Jadi, seberapa penting playlist buat penulis? Kalau buat saya dan dua teman saya ini sih lumayan penting, ya. Bahkan untuk saya yang lebih suka menulis dalam sepi, penting juga kok.

Setahu saya, beberapa teman penulis yang lain juga ada yang suka bikin playlist buat nulis, atau punya playlist andalan yang permanen. Eh, para editor juga punya kok. Itu kemarin, Pemred KataDepan, Gita Romadhona, tiba-tiba pengin sharing playlist-nya juga katanya. Hihihi.

Semoga postingan saya ini berfaedah ya, buat orang-orang yang pengin tahu kebiasaan seorang penulis yang sedang berkarya itu bagaimana. Ya bikin playlist untuk menulis salah satunya. Semoga bisa jadi inspirasi juga buat yang teman-teman sedang  belajar menulis, bahwa mendengarkan musik juga bisa jadi obat untuk melancarkan imajinasi kamu sampai ending, lho.

Ciao!

------------------------------

Nara sumber

Devania Annesya, berdomisili di Pemalang, adalah penulis 9 novel:
Ubur-Ubur Kabur, Elipsis, Muara Rasa, X: Kenangan yang Berpulang, Queen: Ingin Sekali Aku Berkata Tidak, Maya Maia, Februari: Ecstasy, Love You More, Muse.

Helga Rif, berdomisili di Denpasar, adalah penulis 8 novel:
Gara-gara Irana jadi Arini, Menemukanmu-dalam Sebuah Kisah Cinta, Kepingan Cinta Lalu, Melepaskanmu, First Love, Di Bawah Langit yang Sama, Let Me Love You, Rahasia Duma.

Playlist tetap saya:

-How to Save A Life – The Fray
-Look After You – The Fray
-Iris – Go Go Dolls
-Run – Snow Patrol
-With You – Chris Brown
-Boulevard of Broken Dreams – Green Day
-Wake Me Up When September Ends – Green Day
-Demons – Imagine Dragon
-Here Without You – 3 Doors Down
- Apologize - One Republic

Friday, August 2, 2019

Algernon Project: Marie's Letter

Liebe Elinor,

Aku sudah membaca surat-suratmu, dan maafkanlah baru bisa membalas dengan surat lagi saat ini. Meskipun sudah kuberikan beberapa tanggapanku mengenai cerita-ceritamu selama di Würzburg melalui Whatsapp.

Kau tahu, masalah perceraianku sangat rumit karena jumlah pemberian tunjangan yang masih belum menemukan kata sepakat. Si berengsek itu sama sekali tidak mau memberikan jumlah yang kuminta untuk Celia, dengan alasan aku yang minta bercerai. Ayah macam apa yang begitu pelit kepada anaknya?

Dengan segala keruwetan hidupku akhir-akhir ini, aku menjadi sangat merindukan Würzburg. Aku teringat bangunan kokoh kampusku, Julius-Maximilian Universität, yang mirip istana. Lorong-lorongnya yang berangin, suara langkah yang menggema berirama, dan kelas-kelas yang penuh diskusi-diskusi menarik.

Aku teringat malam-malam musim panas yang diisi dengan gelak tawa teman-temanku dan bergelas-gelas bir. Matahari terbenam di cakrawala yang kulihat dari atas benteng Marienberg, dan pemandangan jembatan tua di atas Sungai Main, yang kau bilang kau sukai itu.

Aku yakin kau sudah mengunjungi Würzurg Residenz. Istana itu sangat luar biasa, bukan? Pertama kali aku datang ke sana, aku hampir terjengkang kaget karena keindahan aula-aulanya. Aula dengan lukisan dinding yang sangat besar karya Tiepolo itu, bagaimana pendapatmu? Mulutmu ternganga lebar saat melihatnya, tidak?

Sayang sekali, kau datang setelah Mozartfest sudah berakhir. Itu festival musik klasik tahunan yang seluruhnya memainkan musik-musik gubahan Mozart. Katanya sih, dulu Mozart pernah beberapa kali mengadakan konser pianonya di Würzburg. Ia dan istrinya sangat menyukai kota itu.

Nanti, aku akan mengajakmu juga ke Sommerhausen, sebuah desa kuno yang dikelilingi perkebunan anggur. Kita bisa mencicipi silver wine khas Franconia yang sangat terkenal itu. Mengunjungi beberapa perkebunan anggur dan mencoba untuk belajar memanen anggur di sana. Seru, kan?

Di dekat sana juga ada hutan. Musim gugur di pedesaan Jerman selalu ditandai dengan masakan-masakan berbahan jamur hutan, juga kue-kue labu yang lezat. Kurasa berat badanmu akan bertambah beberapa kilo sepulang dari Sommerhausen, Elie.

Tidak, jangan salahkan aku. Kaulah yang selalu tak bisa menahan diri dari godaan makanan enak.

Sungguh, deh. Aku juga rindu sekali toko-toko tua di Altstadt dan membeli pernak-pernik untuk suvenir. Dan, tentang toko buku bernama Das Wunder yang kau sebutkan di suratmu yang terakhir itu? Hei, aku tahu toko itu, dan kau akan terkejut kalau kuberitahu siapa lelaki tua pemiliknya yang bernama Jurgen. Ah, tidak.

Aku tidak akan memberitahumu melalui surat. Jadi, selamat penasaran!

Namun, ada satu hal yang paling menggelitik perasaanku, Elinor. Jujur saja, aku sangat terkejut ketika kau bercerita tentang mantan teman kuliahku, Algernon Katz. Aku merasa kau menceritakan seseorang yang asing, yang tak pernah kukenal. Bukan temanku Si Jenius Gerry. Apakah ia memang sudah berubah sebanyak itu?

Apa yang kau bilang tentang sikap yang menjaga jarak itu membuatku terheran-heran. Apakah kau salah orang? Namun, kurasa tidak. Sangat jarang orang Jerman bernama Algernon di kota kecil semacam Würzburg. Itu bukan nama Jerman. Tidak, tidak. Aku pasti tidak salah memberi petunjuk.

Algernon Katz yang kukenal adalah seseorang yang hangat dan menyenangkan. Ia pandai berkelakar dan sedikit jail. Cita-citanya waktu kami masih kuliah adalah membangun gedung-gedung moderen di seantero Jerman. Dan, itu sudah terwujud, kurasa.

Ia terkesan sombong dan ambisius, tetapi  bisa dimaklumi karena ia memang berotak cemerlang. Tentu saja, sebagai temannya, aku akan menyangkal bahwa ia sombong hanya karena sebuah sesumbar. Tidak, kok. Ia cukup terkenal di kampus karena kebaikan hatinya. Banyak gadis tertarik padanya, tetapi ia menanggapi mereka dengan biasa saja.

Ia punya dua orang sahabat. Rolf, dari angkatan kami. Dan satu lagi, seorang gadis yang sangat cantik, yang berkuliah di tempat lain. Aku selalu melihat mereka bertiga kemana-mana.

Apakah sudah terlalu banyak perubahan yang tidak kusadari selama ini? Aku terlalu sibuk dengan duniaku yang riuh oleh pertengkaran dan segala upaya untuk menyelamatkan Celia dari semua ini. Kurasa, kau benar, Elinor. Aku harus segera menyelesaikan urusan ini, dan bersama Celia menyusulmu segera ke kota yang pernah menjadi rumah keduaku―Würzburg.

Omong-omong, apakah kau masih belum bertemu lagi dengan Algernon? Kau tampak sangat mencemaskan lelaki itu. Perlukah ia kuhubungi lagi dan mendesaknya untuk setuju membantumu tanpa berbelit-belit?

Memang sangat disayangkan kalau ia tak bisa menjadi narasumbermu. Perjalanannya ke berbagai belahan dunia itu pastilah sangat menarik, karena yang kudengar dari beberapa teman, ia mengunjungi destinasi-destinasi yang berisiko dan berbahaya. Sudah gila dia rupanya.

Oh, ya. Apakah kau sudah bertemu lagi dengan mahasiswi dari Indonesia, yang kau bilang sangat manis dan ingin sekali kau jadikan adik itu? Selalu menyenangkan bertemu dengan saudara setanah air saat kita sedang berada di negeri yang asing dan sendirian. Temuilah gadis itu selagi aku masih belum datang. Aku yakin, ia bisa menjadi narasumbermu untuk artikel yang lain. Tentang kehidupan mahasiswa perantauan, misalnya. Kau kan, banyak ide.

Elinor, aku harus menjemput Celia di rumah ibuku. Aku sudah janji akan mengajaknya berjalan-jalan hari ini. Kuharap kau masih bersabar menunggu kedatanganku menyusulmu.
Dan, tentang Algernon Katz, aku akan mencoba mengiriminya e-mail untuk membujuknya buka mulut. Haha.

Selamat bersenang-senang di Negeri Dongeng, sahabatku sayang!

Xoxo,
Marie

Wednesday, July 17, 2019

Algernon Project: Toko Buku Berpintu Mahoni

Liebe Marie,

Tahukah kau, betapa senangnya hatiku kemarin? Aku menemukan sebuah toko buku kecil yang menarik.

Itu toko buku yang dari depannya saja sudah terlihat unik. Berjendela besar dengan lis-lis hitam, tetapi pintunya terbuat kayu kokoh sewarna mahoni. Ia seperti memanggil-manggilku untuk masuk ke dalamnya. Nama tokonya juga membuatku bertanya-tanya. Das Wunder.

Aku masuk, tentu saja. Bunyi lonceng di atas pintu mengiringi langkahku, dan memunculkan satu sosok lelaki setengah baya berkumis tebal dari balik meja kasir besar.

“Selamat datang!” Senyumnya lebar dan tulus di balik kumisnya. “Silakan melihat-lihat. Mungkin ada satu dua buku yang berjodoh dengan Anda, fräulein.”

Lelaki yang periang dan ramah. Orang Jerman paling periang dan ramah yang pernah kutemui sejauh ini, selain kau tentu saja.

Keramahannya itu membawa kami dalam sebuah percakapan. Ia sangat senang ketika tahu aku berasal dari Indonesia.

“Ah, salah satu pelanggan saya juga seorang gadis Indonesia!” serunya. “Ia sedang berkuliah di sini. Mungkin Anda kenal.”

“Mungkin juga tidak,” sahutku, tertawa. Aku baru beberapa hari di kota ini, dan tentu saja tak mungkin aku pernah bertemu semua orang Indonesia yang tinggal di Würzburg,  maupun yang sedang berwisata. Hanya satu orang setanah air yang pernah kutemui. Gadis yang bertabrakan denganku di jembatan Alte Mainbrücke.

Namun, tak kusangka, si pemilik toko menyebut namanya. “Ah, gadis itu namanya Demitria. Ia perempuan muda yang sangat menyenangkan. Nona agak sedikit mirip dengannya, kukira. Apakah semua gadis Indonesia bermata coklat dan murah senyum?”

Ia bergurau tentu saja. Sedang mencoba memujiku dengan cara Jermannya yang sedikit kaku. Seperti kau, Marie. Aku selalu mengejek humormu garing dan kurang lucu.

“Gadis Indonesia bernama Demitria yang Anda maksud itu, yang senang membaca buku-buku sastra klasik?”

Mata lelaki tua itu melebar. “Ya, dia. Nona mengenalnya rupanya!”

“Kami bertemu tak sengaja beberapa hari lalu, lalu mengobrol sebentar. Anda benar, gadis itu sangat menyenangkan. Saya berharap bisa bertemu lagi dengannya kapan-kapan selagi masih berada di kota ini.”

“Ia bekerja sambilan di sebuah restoran tak jauh dari Alte Mainbrücke, nona. Kalau Anda pergi ke sana, mungkin bisa bertemu dengannya jika sedang gilirannya bekerja. Saya merekomendasikan restoran itu. Namanya Alte Stauss. Pemiliknya salah satu teman karib saya. Tetapi, percayalah. Bukan karena hubungan pertemanan kami, saya memuji masakan di sana. Bagaimana pun, nona harus mencoba beberapa makanan lokal Franconia terenak mereka.”

Makanan! Aku selalu tertarik pada makanan enak. Tolong catatkan untukku, Marie. Siapa tahu aku lupa nama restoran itu. Jika aku tak sempat berkunjung ke sana segera, mungkin kita bisa pergi ke sana setelah kau tiba di sini.

Setelah itu, sikapnya kepadaku semakin ramah. Aku memberitahu namaku, dan ia memintaku memanggilnya Jurgen. Lalu, menuntunku ke rak-rak buku yang menyimpan koleksi terbaiknya. “Orang-orang mengira, merekalah yang memilih buku yang hendak mereka baca. Mereka keliru, Fräulein Elinor. Bukulah yang memilih pembacanya. Ketika kau memegang sebuah buku, ia akan memberikan padamu halaman-halaman yang kau butuhkan atau tidak kau butuhkan. Ketika buku itu diletakkan kembali, buku itu yang menyuruhmu pergi.”

Aku tidak terlalu mengerti apa yang ia katakan, Marie. Aku tidak pandai berfilsafat. Namun begitu, lelaki ini sangat baik hati. Ia bertanya padaku jenis buku kesukaanku. Ketika ia tahu aku tidak terlalu lancar berbahasa Jerman, ia menumpuk buku-buku berbahasa Inggris yang sekiranya sesuai dengan minatku.

“Datanglah ke sini kalau ingin membaca buku, selama dirimu sedang berada di Würzburg, fräulein,” ujarnya sambil meletakkan novel Othello-nya Shakespeare di tumpukan paling atas.

“Oh!” Aku meraih buku itu dan tersenyum lebar. Seorang sepupuku menyukai buku-buku Shakespeare. Suatu hari, Othello miliknya hilang entah dipinjam siapa, dan ia menangis kesal di depanku. Buku ini mungkin akan menjadi oleh-oleh yang membahagiakan untuknya. “Saya ambil yang ini.”

“Pilihan yang bagus,” komentarnya senang. Ia membungkuskan buku itu dengan beberapa buku lain yang kupilih sebelumnya.

“Bolehkah saya bertanya tentang nama toko buku ini? Mengapa namanya Das Wunder? Apa yang begitu ajaib dari tempat ini?” tanyaku di depan meja kasir saat hendak membayar.

“Nona yang baik,” ia tersenyum. “Sebuah buku adalah keajaiban. Di dalamnya tersimpan petualangan-petualangan yang bisa mengubah hidupmu.”

“Wah, tentang itu saya setuju.” Kukatakan itu sembari menyodorkan beberapa lembar uang untuk membayar. “Terima kasih, Jurgen. Menyenangkan mengobrol denganmu. Saya akan datang lagi kapan-kapan.”

“Senang bertemu denganmu juga, Fräulein Elinor. Kedatanganmu kembali saya nantikan. Anda adalah gadis Indonesia kedua yang saya kenal, dan sama menyenangkannya.”

Aku tersenyum dan melambaikan tangan sebelum berbalik dan keluar dari toko buku itu. Di sisi luar pintunya, angin musim gugur yang dingin menerpaku. Aku sangat nyaman berada di dalam sana, dan ingin lebih lama mengobrol dengan lelaki tua itu, jika saja tak punya janji untuk bertemu narasumber.

Si pemilik toko buku itu hangat dan baik hati, tetapi tampak agak kesepian. Apakah ia punya keluarga? Ia seperti seorang ayah atau paman yang penyayang. Aku tak berani menanyakannya, karena ini bukan di negaraku sendiri yang terbiasa dengan keingintahuan pribadi.

Marie, lekaslah kemari. Kurasa, banyak sekali hal yang bisa kuceritakan dan kutuliskan dari kota kecil yang cantik ini. Tidak hanya tentang lanskapnya, bangunan-bangunan kunonya, tetapi juga tentang beberapa orang yang kukenal baru-baru ini.

Sepertinya aku akan makan di Alte Stauss nanti malam. Siapa tahu bertemu Demitria lagi. Aku berharap urusanmu di Berlin segera tuntas. Lekas tendang lelaki itu dari hidupmu, Marie. Aku tak sanggup lagi melihatmu menerima kekejamannya.
Salam sayang dari kota negeri dongeng bernama Würzburg. Akan kusurati kau lagi dengan cerita baru nanti.

PS: Aku belum mendengar kabar apa pun dari teman kuliahmu. Algernon Katz menghilang bagai ditelan bumi, meskipun bukan salahnya juga tak segera mengabari. Kami memang tidak menyepakati tanggal pertemuan berikutnya. Aku harus menunggu. Namun, selagi menantikan kabar darinya, insting jurnalistikku menumbuhkan rasa penasaranku terhadapnya.

Liebe Gruβe,
Elinor

----------

Disclaimer

Hai teman-teman Blogger!
Tahukah kalian bahwa novel terbaru saya "A DAY TO REMEMBER" akan segera terbit?
Yes! Algernon Project mewujud novel dan segera bisa dibaca.

Pre Order-nya sudah dimulai dari 12-26 Juli 2019. Ada special offer lho. Buku bertanda tangan dan tas serut cantik.

Pemesanan bisa melalui saya atau toko buku-toko buku online yang terdaftar. Untuk list toko buku online-nya silakan meluncur ke web, facebook dan Instagram Penerbit KataDepan, ya.

Untuk PO melalui saya, ada HADIAH TAMBAHAN, yaituuu.. jeng jeng!
Satu set (berisi 3 lembar) POST CARD yang didesain khusus oleh Algernon dan Demitria untuk para pembaca tersayang.
Yang ingin mendapatkannya, bisa mengisi form pemesanan di link:
http://bit.ly/PreOrderADTR
Jumlahnya terbatas.

Yuk buruan PO sebelum kehabisan!

Regards,
Enno

Tuesday, September 25, 2018

Algernon Project: Meet Demitria

Liebe Marie,

Kemarin sungguh menyenangkan! Aku bertemu seorang gadis Indonesia saat sedang berjalan-jalan di jembatan tua di atas Main River. Kami berpapasan dari arah berlawanan. Ia hampir melewatiku ketika tiba-tiba setumpuk buku yang dibawanya berjatuhan. Ia berseru dalam bahasa Indonesia, “Aduh!” Dan, aku tanpa sadar berkata, “Ya ampun!”

Sesaat kami saling pandang, lalu sama-sama tertawa.

“Senang sekali bertemu saudara setanah air!” serunya.

Kami akhirnya duduk di teras sebuah kafe, tak jauh dari Alte Mainbrucke, jembatan tua yang cantik itu. Seperti biasa, aku memesan Espresso, sementara si gadis muda memesan Caramel Machiatto.

Marie, gadis ini manis sekali. Rambutnya lurus sepundak dan matanya bulat besar seperti beruang Teddy, di wajah yang mungil berbentuk daun sirih. Kulitnya agak pucat, tetapi itu tidak menghilangkan kesan dirinya yang berkilauan dalam bias cahaya matahari sore. Ada energi positif dalam dirinya yang membuatku merasa hangat.

“Saya Demitria. Panggil saja Demi.” Ia mengulurkan tangan kepadaku. “Sekarang sedang kuliah di Universitas Würzburg.”

“Hebat.” Aku menjabat tangannya. “Jurusan apa? Teknik?”

“Sayangnya, otak saya nggak cocok dengan jurusan itu, Mbak.” Ia menyengir ceria. “Saya ambil Manajemen Bisnis. Mbak sedang melancong di Würzburg, ya? Menyusuri Romantic Road yang terkenal?”

Romantic Road, Marie. Jangan lupa bahwa kau janji akan mengajakku menyusuri rute terkenal itu setelah urusan perceraianmu dengan suamimu yang berengsek itu beres. Kita akan memulainya dari kota kecil yang cantik ini.

“Maunya sih, begitu. Tapi, sekarang prioritas utamanya pekerjaan dulu. Saya wartawan, sedang mengumpulkan bahan tulisan dari beberapa narasumber di Jerman. Salah seorang dari mereka tinggal di kota ini.”

“Mbak wartawan? Wah, keren sekali!”

Lalu, Demi bercerita kepadaku bahwa ia pernah menjadi pengantar koran saat masih sekolah di Bandung.

“Saya selalu berpikir, wartawan-wartawan itu adalah orang-orang yang hebat, yang punya kekuatan untuk mempengaruhi dunia dengan tulisan-tulisannya.”

“Kalau begitu, kenapa kamu tidak jadi wartawan saja?”

Ia tergelak. “Saya tidak punya bakat menulis, Mbak. Sudah mencoba, tetapi rupanya memang bukan panggilan jiwa. Tetapi, saya tetap mengagumi pekerjaan para wartawan sampai sekarang.”

Marie, gadis ini sangat menyenangkan. Ia terbuka, dan punya banyak cerita. Terutama tentang buku-buku sastra klasik yang rupanya menjadi favoritnya.

“Apa sastra klasik kesukaanmu?” tanyaku iseng. Bukan berarti aku sangat paham dengan topik itu. Aku bukan penggila sastra klasik. Namun, aku punya beberapa buku favorit, terutama karya Edgar Allan Poe.

“The Sorrows of Young Werther.”

“Ah, Goethe!” seruku. Agak sedikit bangga pada diri sendiri, karena bisa mengenali salah satu karya penulis Jerman yang satu itu.

“Mbak juga pembaca sastra?” Ia tampak takjub.

“Tidak juga,” elakku sambil terkekeh. “Hanya kebetulan pernah membaca beberapa. Wartawan kan, harus membaca bermacam-macam buku.”

Kami mengobrol banyak sepanjang sore itu. Sembari menyesap isi cangkirnya dan makan Apfelkuchen, ia bertanya padaku, sampai kapan aku berada di Würzburg. Kubilang, aku sedang menunggu seorang teman yang akan menyusul dari Berlin (yaitu kau), sekaligus menunggu dengan penuh harap narasumberku di kota ini sudah siap bercerita dan segera menghubungiku. 

Kukatakan padanya, bahwa aku punya firasat buruk tentang narasumberku itu. Bahwa aku menyesal memintanya bercerita lebih dalam dari sekedar kisah-kisah petualangan yang biasa. Wajahnya yang tak terbaca itu masih membayang di mataku. Aku takut ia tak akan pernah menghubungiku lagi. Atau, yang lebih parah, aku mendengar kabar buruk tentang dirinya dari orang lain.

Ia tersenyum padaku. “Jangan khawatir, Mbak,” ujarnya. “Kalau dia tak ingin bercerita apapun, sudah sejak awal dia menolak bertemu Mbak. Mungkin dia cuma butuh waktu untuk berpikir. Memilah-milah cerita. Menimbang-nimbang yang paling menarik.”

Aku ingin berkata, bahwa bukan itu kesan yang kudapatkan saat pertemuan kami waktu itu. Namun, kulihat ketulusan di wajah gadis ini. Ia tampak yakin pada ucapannya. Lebih dari itu, ia tampak berharap aku tidak cemas lagi.

Sungguh, Marie, kalau kau bertemu dengan gadis ini, kau pasti akan langsung menyukainya seperti aku. Keberadaannya seperti lampu jalan yang terang dan hangat di tengah kegelapan. Aku menyukainya. Sangat menyukainya. Berharap memiliki adik seperti dirinya. Ah, kurasa ia tak keberatan jika aku memintanya.

Marie, aku menunggu kedatanganmu di Würzburg. Aku punya firasat, kita akan menemukan banyak keajaiban di sini.

Liebe Gruβe,
- E -

....

Catatan:

Demitria adalah tokoh utama dalam novel “A Day to Remember”, yang akan diterbitkan Penerbit KataDepan.

Penggalan adegan dalam post Meet Algernon dan Meet Demitria bukanlah penggalan adegan di dalam novel tersebut, melainkan fragmen untuk mengenalkan mereka berdua kepada pembaca.

Next time, saya akan bercerita lagi tentang novel “A Day to Remember”. Tunggu, ya!

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...