tag:blogger.com,1999:blog-286425182024-03-07T10:44:16.936+07:00My Life, Love & Bad Hair DaysEnnohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.comBlogger898125tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-79578892684493247782019-09-27T16:26:00.001+07:002019-09-27T16:34:03.969+07:00Author Life: Playlist Para Penulis<p dir="ltr">Setiap kali melihat seseorang sibuk bekerja di depan laptopnya di tempat publik, entah itu kafe, taman, atau perpustakaan umum, saya kagum. Soalnya, saya hanya bisa menulis dalam suasana sepi. Saya menulis di kamar, dengan pintu tertutup dan tanpa suara.</p>
<p dir="ltr">Namun, ada waktu di mana otak saya mendadak mampet karena adegan yang sulit, atau dialog yang nggak kunjung pas. Barulah saya berhenti sejenak dan memutar lagu. Ada sejumlah lagu dalam <i>playlist</i> ‘Kram Otak’ di laptop saya, yang bertahun-tahun tidak pernah saya ganti. Isinya juga cuma 10 lagu. </p>
<p dir="ltr"><i>Playlist</i> ini sudah jadi <i>playlist</i> kebangsaan sejak saya masih jadi jurnalis majalah. Menemani saya mengedit tulisan para reporter, menulis beragam artikel berita, dan melewati <i>deadline</i> yang terkadang sampai pagi. </p>
<p dir="ltr">Lalu, mari kita sebut satu lagu andalan dari semuanya itu. Yang judulnya <i>“HOW TO SAVE A LIFE”,</i> dinyanyikan grup musik The Fray. Lagu ini adalah lagu yang menemani saya di masa-masa terendah dalam hidup saya. Menjadi pagar ketika pikiran-pikiran buruk berdatangan. Bagi saya, lirik lagu ini seperti rintihan penyesalan seorang sahabat atau saudara terdekat yang menyesali kematian orang yang disayanginya karena <i>drugs</i> atau bunuh diri.</p>
<p dir="ltr">Terus nih, tiba-tiba saya jadi  kepo dong, sama <i>playlist</i> dua sohib saya yang juga penulis. <b>Devania Annesya </b>dan <b>Helga Rif</b>, saya colek di <i>chat room </i>untuk ditanya-tanya (maklum ya, mantan jurnalis). Dua-duanya penulis novel yang produktif. Karya-karya mereka malah lebih banyak dari saya. Huwow!</p>
<p dir="ltr">Ternyata Helga sama lho, dengan saya. Helga cuma punya satu <i>playlist</i> yang lagunya nggak pernah diganti-ganti. Sesekali bertambah kalau ada lagu baru yang enak, tapi yang jelas isi <i>playlist</i> lama nggak akan disingkirkan. Kata Helga, menulis sambil mendengarkan lagu-lagu yang sudah dia tahu dan hapal itu bikin nyaman. </p>
<p dir="ltr">Tahu nggak, isi <i>playlist</i> tetapnya itu lagu-lagunya Keris Patih semua. Pokoknya, kata Helga, lagu-lagu di <i>playlist</i>-nya <i>mellow</i> semua, yang bikin dia terhanyut waktu menulis. </p>
<p dir="ltr">Jadi, berlawanan sama saya―yang lebih suka senyap, mendengarkan lagu sambil nulis itu buat dia penting dan membantunya supaya fokus. Lagu favorit Helga di <i>playlist</i>-nya itu yang judulnya “DAN TERNYATA”. Ada yang tahu juga lagu ini? Saya lupa. Nanti cari di Youtube, ah. Hehe.</p>
<p dir="ltr">Nah, Anes modelnya beda lagi. Dia nggak punya <i>playlist</i> permanen kayak saya dan Helga. Untuk setiap novel yang sedang dia tulis, dia bikin <i>playlist</i> sesuai tema novelnya. Satu <i>playlist</i> isinya bisa sampai 25 lagu. Ckckck. Rajin banget ni anak. </p>
<p dir="ltr">Dia bilang gini, “Untuk tema pelakor, lagunya juga tentang pelakor.” Dan, saya kebayang muka dia yang lagi <i>riweuh</i> memilih puluhan lagu tentang pelakor. Hahahahahaha. </p>
<p dir="ltr"><i>By the way</i>, saya kadang-kadang juga bikin <i>playlist</i> sesuai tema novel yang lagi ditulis, sih. Ya, tetep aja nggak terlalu banyak berguna karena nulisnya harus sepi. Didengarnya kalau mau tidur biasanya, untuk jaga <i>mood</i> aja.</p>
<p dir="ltr">Kalau buat Anes, bikin <i>playlist</i> untuk setiap novel itu penting. Berguna untuk semacam <i>backsound</i> adegan. Hmm. <i>Backsound</i> adegan saya hanyalah kehampaan semata, <i>guys</i>. </p>
<p dir="ltr">Oh iya, dari puluhan lagu yang jadi playlist-nya, tetep dong Jeng Nenes punya lagu favorit. Itu adalah lagunya Coldplay, <i>“FIX YOU”</i>. Alasannya, mirip sama alasan saya suka lagu <i>How to Save A Life</i>. Liriknya itu kayak seseorang yang lagi memberi semangat untuk orang-orang yang sedang ada di titik terendah hidupnya. Lagu favorit ini nggak selalu masuk ke <i>playlist</i> novel kalau nggak cocok sama tema. </p>
<p dir="ltr">Baiklah. Sampai pada kesimpulan, <i>guys</i>. Jadi, seberapa penting <i>playlist</i> buat penulis? Kalau buat saya dan dua teman saya ini sih lumayan penting, ya. Bahkan untuk saya yang lebih suka menulis dalam sepi, penting juga kok. </p>
<p dir="ltr">Setahu saya, beberapa teman penulis yang lain juga ada yang suka bikin <i>playlist</i> buat nulis, atau punya <i>playlist</i> andalan yang permanen. Eh, para editor juga punya kok. Itu kemarin, Pemred <i>KataDepan</i>, Gita Romadhona, tiba-tiba pengin sharing <i>playlist</i>-nya juga katanya. Hihihi.</p>
<p dir="ltr">Semoga postingan saya ini berfaedah ya, buat orang-orang yang pengin tahu kebiasaan seorang penulis yang sedang berkarya itu bagaimana. Ya bikin <i>playlist</i> untuk menulis salah satunya. Semoga bisa jadi inspirasi juga buat yang teman-teman sedang  belajar menulis, bahwa mendengarkan musik juga bisa jadi obat untuk melancarkan imajinasi kamu sampai ending, lho.<br></p>
<p dir="ltr"><i><b>Ciao!</b></i></p>
<p dir="ltr">------------------------------</p>
<p dir="ltr"><b>Nara sumber</b></p>
<p dir="ltr"><b>Devania Annesya</b>, berdomisili di Pemalang, adalah penulis 9 novel: <br>
<i>Ubur-Ubur Kabur, Elipsis, Muara Rasa, X: Kenangan yang Berpulang, Queen: Ingin Sekali Aku Berkata Tidak, Maya Maia, Februari: Ecstasy, Love You More, Muse.</i></p>
<p dir="ltr"><b>Helga Rif</b>, berdomisili di Denpasar, adalah penulis 8 novel: <br>
<i>Gara-gara Irana jadi Arini, Menemukanmu-dalam Sebuah Kisah Cinta, Kepingan Cinta Lalu, Melepaskanmu, First Love, Di Bawah Langit yang Sama, Let Me Love You, Rahasia Duma.</i></p>
<p dir="ltr"><b>Playlist tetap saya:</b></p>
<p dir="ltr">-<i>How to Save A Life</i> – The Fray<br>
-<i>Look After You</i> – The Fray<br>
-<i>Iris</i> – Go Go Dolls<br>
-<i>Run</i> – Snow Patrol<br>
-<i>With You</i> – Chris Brown<br>
-<i>Boulevard of Broken Dreams </i>– Green Day<br>
-<i>Wake Me Up When September Ends</i> – Green Day<br>
-<i>Demons</i> – Imagine Dragon <br>
-<i>Here Without You</i> – 3 Doors Down<br>
- <i>Apologize</i> - One Republic</p>
Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-58337922936806056472019-08-02T12:58:00.001+07:002019-08-02T12:58:56.644+07:00Algernon Project: Marie's Letter<p dir="ltr"><i>Liebe</i> Elinor,</p>
<p dir="ltr">Aku sudah membaca surat-suratmu, dan maafkanlah baru bisa membalas dengan surat lagi saat ini. Meskipun sudah kuberikan beberapa tanggapanku mengenai cerita-ceritamu selama di Würzburg melalui Whatsapp. </p>
<p dir="ltr">Kau tahu, masalah perceraianku sangat rumit karena jumlah pemberian tunjangan yang masih belum menemukan kata sepakat. Si berengsek itu sama sekali tidak mau memberikan jumlah yang kuminta untuk Celia, dengan alasan aku yang minta bercerai. Ayah macam apa yang begitu pelit kepada anaknya?</p>
<p dir="ltr">Dengan segala keruwetan hidupku akhir-akhir ini, aku menjadi sangat merindukan Würzburg. Aku teringat bangunan kokoh kampusku, Julius-Maximilian Universität, yang mirip istana. Lorong-lorongnya yang berangin, suara langkah yang menggema berirama, dan kelas-kelas yang penuh diskusi-diskusi menarik. </p>
<p dir="ltr">Aku teringat malam-malam musim panas yang diisi dengan gelak tawa teman-temanku dan bergelas-gelas bir. Matahari terbenam di cakrawala yang kulihat dari atas benteng Marienberg, dan pemandangan jembatan tua di atas Sungai Main, yang kau bilang kau sukai itu. </p>
<p dir="ltr">Aku yakin kau sudah mengunjungi Würzurg Residenz. Istana itu sangat luar biasa, bukan? Pertama kali aku datang ke sana, aku hampir terjengkang kaget karena keindahan aula-aulanya. Aula dengan lukisan dinding yang sangat besar karya Tiepolo itu, bagaimana pendapatmu? Mulutmu ternganga lebar saat melihatnya, tidak? </p>
<p dir="ltr">Sayang sekali, kau datang setelah Mozartfest sudah berakhir. Itu festival musik klasik tahunan yang seluruhnya memainkan musik-musik gubahan Mozart. Katanya sih, dulu Mozart pernah beberapa kali mengadakan konser pianonya di Würzburg. Ia dan istrinya sangat menyukai kota itu. </p>
<p dir="ltr">Nanti, aku akan mengajakmu juga ke Sommerhausen, sebuah desa kuno yang dikelilingi perkebunan anggur. Kita bisa mencicipi <i>silver wine</i> khas Franconia yang sangat terkenal itu. Mengunjungi beberapa perkebunan anggur dan mencoba untuk belajar memanen anggur di sana. Seru, kan? </p>
<p dir="ltr">Di dekat sana juga ada hutan. Musim gugur di pedesaan Jerman selalu ditandai dengan masakan-masakan berbahan jamur hutan, juga kue-kue labu yang lezat. Kurasa berat badanmu akan bertambah beberapa kilo sepulang dari Sommerhausen, Elie. </p>
<p dir="ltr">Tidak, jangan salahkan aku. Kaulah yang selalu tak bisa menahan diri dari godaan makanan enak.</p>
<p dir="ltr">Sungguh, deh. Aku juga rindu sekali toko-toko tua di Altstadt dan membeli pernak-pernik untuk suvenir. Dan, tentang toko buku bernama Das Wunder yang kau sebutkan di suratmu yang terakhir itu? Hei, aku tahu toko itu, dan kau akan terkejut kalau kuberitahu siapa lelaki tua pemiliknya yang bernama Jurgen. Ah, tidak. </p>
<p dir="ltr">Aku tidak akan memberitahumu melalui surat. Jadi, selamat penasaran! </p>
<p dir="ltr">Namun, ada satu hal yang paling menggelitik perasaanku, Elinor. Jujur saja, aku sangat terkejut ketika kau bercerita tentang mantan teman kuliahku, Algernon Katz. Aku merasa kau menceritakan seseorang yang asing, yang tak pernah kukenal. Bukan temanku Si Jenius Gerry. Apakah ia memang sudah berubah sebanyak itu? </p>
<p dir="ltr">Apa yang kau bilang tentang sikap yang menjaga jarak itu membuatku terheran-heran. Apakah kau salah orang? Namun, kurasa tidak. Sangat jarang orang Jerman bernama Algernon di kota kecil semacam Würzburg. Itu bukan nama Jerman. Tidak, tidak. Aku pasti tidak salah memberi petunjuk.</p>
<p dir="ltr">Algernon Katz yang kukenal adalah seseorang yang hangat dan menyenangkan. Ia pandai berkelakar dan sedikit jail. Cita-citanya waktu kami masih kuliah adalah membangun gedung-gedung moderen di seantero Jerman. Dan, itu sudah terwujud, kurasa. </p>
<p dir="ltr">Ia terkesan sombong dan ambisius, tetapi  bisa dimaklumi karena ia memang berotak cemerlang. Tentu saja, sebagai temannya, aku akan menyangkal bahwa ia sombong hanya karena sebuah sesumbar. Tidak, kok. Ia cukup terkenal di kampus karena kebaikan hatinya. Banyak gadis tertarik padanya, tetapi ia menanggapi mereka dengan biasa saja. </p>
<p dir="ltr">Ia punya dua orang sahabat. Rolf, dari angkatan kami. Dan satu lagi, seorang gadis yang sangat cantik, yang berkuliah di tempat lain. Aku selalu melihat mereka bertiga kemana-mana.</p>
<p dir="ltr">Apakah sudah terlalu banyak perubahan yang tidak kusadari selama ini? Aku terlalu sibuk dengan duniaku yang riuh oleh pertengkaran dan segala upaya untuk menyelamatkan Celia dari semua ini. Kurasa, kau benar, Elinor. Aku harus segera menyelesaikan urusan ini, dan bersama Celia menyusulmu segera ke kota yang pernah menjadi rumah keduaku―Würzburg. </p>
<p dir="ltr">Omong-omong, apakah kau masih belum bertemu lagi dengan Algernon? Kau tampak sangat mencemaskan lelaki itu. Perlukah ia kuhubungi lagi dan mendesaknya untuk setuju membantumu tanpa berbelit-belit? </p>
<p dir="ltr">Memang sangat disayangkan kalau ia tak bisa menjadi narasumbermu. Perjalanannya ke berbagai belahan dunia itu pastilah sangat menarik, karena yang kudengar dari beberapa teman, ia mengunjungi destinasi-destinasi yang berisiko dan berbahaya. Sudah gila dia rupanya.</p>
<p dir="ltr">Oh, ya. Apakah kau sudah bertemu lagi dengan mahasiswi dari Indonesia, yang kau bilang sangat manis dan ingin sekali kau jadikan adik itu? Selalu menyenangkan bertemu dengan saudara setanah air saat kita sedang berada di negeri yang asing dan sendirian. Temuilah gadis itu selagi aku masih belum datang. Aku yakin, ia bisa menjadi narasumbermu untuk artikel yang lain. Tentang kehidupan mahasiswa perantauan, misalnya. Kau kan, banyak ide.</p>
<p dir="ltr">Elinor, aku harus menjemput Celia di rumah ibuku. Aku sudah janji akan mengajaknya berjalan-jalan hari ini. Kuharap kau masih bersabar menunggu kedatanganku menyusulmu. <br>
Dan, tentang Algernon Katz, aku akan mencoba mengiriminya <i>e-mail</i> untuk membujuknya buka mulut. Haha.</p>
<p dir="ltr">Selamat bersenang-senang di Negeri Dongeng, sahabatku sayang!</p>
<p dir="ltr">Xoxo,<br>
Marie</p>
Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-35652599369437841152019-07-17T12:14:00.001+07:002019-07-17T12:14:09.965+07:00Algernon Project: Toko Buku Berpintu Mahoni<p dir="ltr"><i>Liebe</i> Marie,</p>
<p dir="ltr">Tahukah kau, betapa senangnya hatiku kemarin? Aku menemukan sebuah toko buku kecil yang menarik. </p>
<p dir="ltr">Itu toko buku yang dari depannya saja sudah terlihat unik. Berjendela besar dengan lis-lis hitam, tetapi pintunya terbuat kayu kokoh sewarna mahoni. Ia seperti memanggil-manggilku untuk masuk ke dalamnya. Nama tokonya juga membuatku bertanya-tanya. <i>Das</i> <i>Wunder</i>.</p>
<p dir="ltr">Aku masuk, tentu saja. Bunyi lonceng di atas pintu mengiringi langkahku, dan memunculkan satu sosok lelaki setengah baya berkumis tebal dari balik meja kasir besar.</p>
<p dir="ltr">“Selamat datang!” Senyumnya lebar dan tulus di balik kumisnya. “Silakan melihat-lihat. Mungkin ada satu dua buku yang berjodoh dengan Anda, <i>fräulein</i>.”</p>
<p dir="ltr">Lelaki yang periang dan ramah. Orang Jerman paling periang dan ramah yang pernah kutemui sejauh ini, selain kau tentu saja.</p>
<p dir="ltr">Keramahannya itu membawa kami dalam sebuah percakapan. Ia sangat senang ketika tahu aku berasal dari Indonesia.</p>
<p dir="ltr">“Ah, salah satu pelanggan saya juga seorang gadis Indonesia!” serunya. “Ia sedang berkuliah di sini. Mungkin Anda kenal.”</p>
<p dir="ltr">“Mungkin juga tidak,” sahutku, tertawa. Aku baru beberapa hari di kota ini, dan tentu saja tak mungkin aku pernah bertemu semua orang Indonesia yang tinggal di Würzburg,  maupun yang sedang berwisata. Hanya satu orang setanah air yang pernah kutemui. Gadis yang bertabrakan denganku di jembatan Alte Mainbrücke. </p>
<p dir="ltr">Namun, tak kusangka, si pemilik toko menyebut namanya. “Ah, gadis itu namanya Demitria. Ia perempuan muda yang sangat menyenangkan. Nona agak sedikit mirip dengannya, kukira. Apakah semua gadis Indonesia bermata coklat dan murah senyum?”</p>
<p dir="ltr">Ia bergurau tentu saja. Sedang mencoba memujiku dengan cara Jermannya yang sedikit kaku. Seperti kau, Marie. Aku selalu mengejek humormu garing dan kurang lucu. </p>
<p dir="ltr">“Gadis Indonesia bernama Demitria yang Anda maksud itu, yang senang membaca buku-buku sastra klasik?”</p>
<p dir="ltr">Mata lelaki tua itu melebar. “Ya, dia. Nona mengenalnya rupanya!”</p>
<p dir="ltr">“Kami bertemu tak sengaja beberapa hari lalu, lalu mengobrol sebentar. Anda benar, gadis itu sangat menyenangkan. Saya berharap bisa bertemu lagi dengannya kapan-kapan selagi masih berada di kota ini.”</p>
<p dir="ltr">“Ia bekerja sambilan di sebuah restoran tak jauh dari Alte Mainbrücke, nona. Kalau Anda pergi ke sana, mungkin bisa bertemu dengannya jika sedang gilirannya bekerja. Saya merekomendasikan restoran itu. Namanya Alte Stauss. Pemiliknya salah satu teman karib saya. Tetapi, percayalah. Bukan karena hubungan pertemanan kami, saya memuji masakan di sana. Bagaimana pun, nona harus mencoba beberapa makanan lokal Franconia terenak mereka.”</p>
<p dir="ltr">Makanan! Aku selalu tertarik pada makanan enak. Tolong catatkan untukku, Marie. Siapa tahu aku lupa nama restoran itu. Jika aku tak sempat berkunjung ke sana segera, mungkin kita bisa pergi ke sana setelah kau tiba di sini.</p>
<p dir="ltr">Setelah itu, sikapnya kepadaku semakin ramah. Aku memberitahu namaku, dan ia memintaku memanggilnya Jurgen. Lalu, menuntunku ke rak-rak buku yang menyimpan koleksi terbaiknya. “Orang-orang mengira, merekalah yang memilih buku yang hendak mereka baca. Mereka keliru, Fräulein Elinor. Bukulah yang memilih pembacanya. Ketika kau memegang sebuah buku, ia akan memberikan padamu halaman-halaman yang kau butuhkan atau tidak kau butuhkan. Ketika buku itu diletakkan kembali, buku itu yang menyuruhmu pergi.”</p>
<p dir="ltr">Aku tidak terlalu mengerti apa yang ia katakan, Marie. Aku tidak pandai berfilsafat. Namun begitu, lelaki ini sangat baik hati. Ia bertanya padaku jenis buku kesukaanku. Ketika ia tahu aku tidak terlalu lancar berbahasa Jerman, ia menumpuk buku-buku berbahasa Inggris yang sekiranya sesuai dengan minatku.</p>
<p dir="ltr">“Datanglah ke sini kalau ingin membaca buku, selama dirimu sedang berada di Würzburg, <i>fräulein</i>,” ujarnya sambil meletakkan novel <i>Othello</i>-nya Shakespeare di tumpukan paling atas. </p>
<p dir="ltr">“Oh!” Aku meraih buku itu dan tersenyum lebar. Seorang sepupuku menyukai buku-buku Shakespeare. Suatu hari, <i>Othello</i> miliknya hilang entah dipinjam siapa, dan ia menangis kesal di depanku. Buku ini mungkin akan menjadi oleh-oleh yang membahagiakan untuknya. “Saya ambil yang ini.”</p>
<p dir="ltr">“Pilihan yang bagus,” komentarnya senang. Ia membungkuskan buku itu dengan beberapa buku lain yang kupilih sebelumnya. </p>
<p dir="ltr">“Bolehkah saya bertanya tentang nama toko buku ini? Mengapa namanya Das Wunder? Apa yang begitu ajaib dari tempat ini?” tanyaku di depan meja kasir saat hendak membayar.</p>
<p dir="ltr">“Nona yang baik,” ia tersenyum. “Sebuah buku adalah keajaiban. Di dalamnya tersimpan petualangan-petualangan yang bisa mengubah hidupmu.”</p>
<p dir="ltr">“Wah, tentang itu saya setuju.” Kukatakan itu sembari menyodorkan beberapa lembar uang untuk membayar. “Terima kasih, Jurgen. Menyenangkan mengobrol denganmu. Saya akan datang lagi kapan-kapan.”</p>
<p dir="ltr">“Senang bertemu denganmu juga, Fräulein Elinor. Kedatanganmu kembali saya nantikan. Anda adalah gadis Indonesia kedua yang saya kenal, dan sama menyenangkannya.”</p>
<p dir="ltr">Aku tersenyum dan melambaikan tangan sebelum berbalik dan keluar dari toko buku itu. Di sisi luar pintunya, angin musim gugur yang dingin menerpaku. Aku sangat nyaman berada di dalam sana, dan ingin lebih lama mengobrol dengan lelaki tua itu, jika saja tak punya janji untuk bertemu narasumber. </p>
<p dir="ltr">Si pemilik toko buku itu hangat dan baik hati, tetapi tampak agak kesepian. Apakah ia punya keluarga? Ia seperti seorang ayah atau paman yang penyayang. Aku tak berani menanyakannya, karena ini bukan di negaraku sendiri yang terbiasa dengan keingintahuan pribadi.</p>
<p dir="ltr">Marie, lekaslah kemari. Kurasa, banyak sekali hal yang bisa kuceritakan dan kutuliskan dari kota kecil yang cantik ini. Tidak hanya tentang lanskapnya, bangunan-bangunan kunonya, tetapi juga tentang beberapa orang yang kukenal baru-baru ini.</p>
<p dir="ltr">Sepertinya aku akan makan di Alte Stauss nanti malam. Siapa tahu bertemu Demitria lagi. Aku berharap urusanmu di Berlin segera tuntas. Lekas tendang lelaki itu dari hidupmu, Marie. Aku tak sanggup lagi melihatmu menerima kekejamannya.<br>
Salam sayang dari kota negeri dongeng bernama Würzburg. Akan kusurati kau lagi dengan cerita baru nanti.</p>
<p dir="ltr">PS: Aku belum mendengar kabar apa pun dari teman kuliahmu. Algernon Katz menghilang bagai ditelan bumi, meskipun bukan salahnya juga tak segera mengabari. Kami memang tidak menyepakati tanggal pertemuan berikutnya. Aku harus menunggu. Namun, selagi menantikan kabar darinya, insting jurnalistikku menumbuhkan rasa penasaranku terhadapnya.</p>
<p dir="ltr">Liebe Gruβe,<br>
Elinor</p>
<p dir="ltr">----------</p>
<p dir="ltr">Disclaimer</p>
<p dir="ltr">Hai teman-teman Blogger!<br>
Tahukah kalian bahwa novel terbaru saya "A DAY TO REMEMBER" akan segera terbit?<br>
Yes! Algernon Project mewujud novel dan segera bisa dibaca.</p>
<p dir="ltr">Pre Order-nya sudah dimulai dari 12-26 Juli 2019. Ada special offer lho. Buku bertanda tangan dan tas serut cantik.</p>
<p dir="ltr">Pemesanan bisa melalui saya atau toko buku-toko buku online yang terdaftar. Untuk list toko buku online-nya silakan meluncur ke web, facebook dan Instagram Penerbit KataDepan, ya.</p>
<p dir="ltr">Untuk PO melalui saya, ada HADIAH TAMBAHAN, yaituuu.. jeng jeng!<br>
Satu set (berisi 3 lembar) POST CARD yang didesain khusus oleh Algernon dan Demitria untuk para pembaca tersayang.<br>
Yang ingin mendapatkannya, bisa mengisi form pemesanan di link: <br>
http://bit.ly/PreOrderADTR<br>
Jumlahnya terbatas.</p>
<p dir="ltr">Yuk buruan PO sebelum kehabisan! </p>
<p dir="ltr">Regards,<br>
Enno</p>
Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-41584009569672788872018-09-25T14:46:00.001+07:002018-09-25T14:46:28.582+07:00Algernon Project: Meet Demitria
<p dir="ltr"><i>Liebe</i> Marie,</p>
<p dir="ltr">Kemarin sungguh menyenangkan! Aku bertemu seorang gadis Indonesia saat sedang berjalan-jalan di jembatan tua di atas Main River. Kami berpapasan dari arah berlawanan. Ia hampir melewatiku ketika tiba-tiba setumpuk buku yang dibawanya berjatuhan. Ia berseru dalam bahasa Indonesia, “Aduh!” Dan, aku tanpa sadar berkata, “Ya ampun!”</p>
<p dir="ltr">Sesaat kami saling pandang, lalu sama-sama tertawa.</p>
<p dir="ltr">“Senang sekali bertemu saudara setanah air!” serunya.</p>
<p dir="ltr">Kami akhirnya duduk di teras sebuah kafe, tak jauh dari Alte Mainbrucke, jembatan tua yang cantik itu. Seperti biasa, aku memesan Espresso, sementara si gadis muda memesan Caramel Machiatto.</p>
<p dir="ltr">Marie, gadis ini manis sekali. Rambutnya lurus sepundak dan matanya bulat besar seperti beruang Teddy, di wajah yang mungil berbentuk daun sirih. Kulitnya agak pucat, tetapi itu tidak menghilangkan kesan dirinya yang berkilauan dalam bias cahaya matahari sore. Ada energi positif dalam dirinya yang membuatku merasa hangat.</p>
<p dir="ltr">“Saya Demitria. Panggil saja Demi.” Ia mengulurkan tangan kepadaku. “Sekarang sedang kuliah di Universitas Würzburg.”</p>
<p dir="ltr">“Hebat.” Aku menjabat tangannya. “Jurusan apa? Teknik?”</p>
<p dir="ltr">“Sayangnya, otak saya nggak cocok dengan jurusan itu, Mbak.” Ia menyengir ceria. “Saya ambil Manajemen Bisnis. Mbak sedang melancong di Würzburg, ya? Menyusuri Romantic Road yang terkenal?”</p>
<p dir="ltr">Romantic Road, Marie. Jangan lupa bahwa kau janji akan mengajakku menyusuri rute terkenal itu setelah urusan perceraianmu dengan suamimu yang berengsek itu beres. Kita akan memulainya dari kota kecil yang cantik ini.</p>
<p dir="ltr">“Maunya sih, begitu. Tapi, sekarang prioritas utamanya pekerjaan dulu. Saya wartawan, sedang mengumpulkan bahan tulisan dari beberapa narasumber di Jerman. Salah seorang dari mereka tinggal di kota ini.”</p>
<p dir="ltr">“Mbak wartawan? Wah, keren sekali!”</p>
<p dir="ltr">Lalu, Demi bercerita kepadaku bahwa ia pernah menjadi pengantar koran saat masih sekolah di Bandung. </p>
<p dir="ltr">“Saya selalu berpikir, wartawan-wartawan itu adalah orang-orang yang hebat, yang punya kekuatan untuk mempengaruhi dunia dengan tulisan-tulisannya.”</p>
<p dir="ltr">“Kalau begitu, kenapa kamu tidak jadi wartawan saja?”</p>
<p dir="ltr">Ia tergelak. “Saya tidak punya bakat menulis, Mbak. Sudah mencoba, tetapi rupanya memang bukan panggilan jiwa. Tetapi, saya tetap mengagumi pekerjaan para wartawan sampai sekarang.”</p>
<p dir="ltr">Marie, gadis ini sangat menyenangkan. Ia terbuka, dan punya banyak cerita. Terutama tentang buku-buku sastra klasik yang rupanya menjadi favoritnya.</p>
<p dir="ltr">“Apa sastra klasik kesukaanmu?” tanyaku iseng. Bukan berarti aku sangat paham dengan topik itu. Aku bukan penggila sastra klasik. Namun, aku punya beberapa buku favorit, terutama karya Edgar Allan Poe.</p>
<p dir="ltr">“The Sorrows of Young Werther.”</p>
<p dir="ltr">“Ah, Goethe!” seruku. Agak sedikit bangga pada diri sendiri, karena bisa mengenali salah satu karya penulis Jerman yang satu itu. </p>
<p dir="ltr">“Mbak juga pembaca sastra?” Ia tampak takjub. </p>
<p dir="ltr">“Tidak juga,” elakku sambil terkekeh. “Hanya kebetulan pernah membaca beberapa. Wartawan kan, harus membaca bermacam-macam buku.”</p>
<p dir="ltr">Kami mengobrol banyak sepanjang sore itu. Sembari menyesap isi cangkirnya dan makan Apfelkuchen, ia bertanya padaku, sampai kapan aku berada di Würzburg. Kubilang, aku sedang menunggu seorang teman yang akan menyusul dari Berlin (yaitu kau), sekaligus menunggu dengan penuh harap narasumberku di kota ini sudah siap bercerita dan segera menghubungiku.  </p>
<p dir="ltr">Kukatakan padanya, bahwa aku punya firasat buruk tentang narasumberku itu. Bahwa aku menyesal memintanya bercerita lebih dalam dari sekedar kisah-kisah petualangan yang biasa. Wajahnya yang tak terbaca itu masih membayang di mataku. Aku takut ia tak akan pernah menghubungiku lagi. Atau, yang lebih parah, aku mendengar kabar buruk tentang dirinya dari orang lain. </p>
<p dir="ltr">Ia tersenyum padaku. “Jangan khawatir, Mbak,” ujarnya. “Kalau dia tak ingin bercerita apapun, sudah sejak awal dia menolak bertemu Mbak. Mungkin dia cuma butuh waktu untuk berpikir. Memilah-milah cerita. Menimbang-nimbang yang paling menarik.”</p>
<p dir="ltr">Aku ingin berkata, bahwa bukan itu kesan yang kudapatkan saat pertemuan kami waktu itu. Namun, kulihat ketulusan di wajah gadis ini. Ia tampak yakin pada ucapannya. Lebih dari itu, ia tampak berharap aku tidak cemas lagi.</p>
<p dir="ltr">Sungguh, Marie, kalau kau bertemu dengan gadis ini, kau pasti akan langsung menyukainya seperti aku. Keberadaannya seperti lampu jalan yang terang dan hangat di tengah kegelapan. Aku menyukainya. Sangat menyukainya. Berharap memiliki adik seperti dirinya. Ah, kurasa ia tak keberatan jika aku memintanya.</p>
<p dir="ltr">Marie, aku menunggu kedatanganmu di Würzburg. Aku punya firasat, kita akan menemukan banyak keajaiban di sini.</p>
<p dir="ltr"><i>Liebe</i> <i>Gruβe</i>,<br>
- E -</p>
<p dir="ltr">....</p>
<p dir="ltr"><b>Catatan:</b></p>
<p dir="ltr">Demitria adalah tokoh utama dalam novel “<i>A Day to Remember</i>”, yang akan diterbitkan Penerbit <i>KataDepan</i>.</p>
<p dir="ltr">Penggalan adegan dalam post <b>Meet</b> <b>Algernon</b> dan <b>Meet</b> <b>Demitria</b> bukanlah penggalan adegan di dalam novel tersebut, melainkan fragmen untuk mengenalkan mereka berdua kepada pembaca.</p>
<p dir="ltr"><i>Next</i> <i>time</i>, saya akan bercerita lagi tentang novel “<i>A</i> <i>Day</i> <i>to</i> <i>Remember</i>”. Tunggu, ya!</p>
Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-45940721576280698442018-09-23T21:15:00.001+07:002018-09-23T21:49:28.417+07:00Algernon Project: Meet Algernon<p dir="ltr"><i>Liebe</i> Marie,</p>
<p dir="ltr">Aku sudah bertemu dengan lelaki yang kau rekomendasikan itu di sebuah kafe di Altstadt―kawasan kota paling tua di Würzburg. Aku datang sepuluh menit lebih awal dari waktu janjian. Karena, yah, kalian orang Jerman kan punya <i>punktlichkeit</i> alias budaya tepat waktu. Aku tidak mau mencoreng nama bangsa dan negaraku di mata lelaki ini, kalau aku sampai datang terlambat. Jangan sampai ia mengira bangsa Indonesia adalah bangsa yang tidak menghargai waktu (walaupun kadang-kadang, kupikir itu ada benarnya juga).</p>
<p dir="ltr">Pokoknya, kemarin itu akhirnya aku datang ke kafe itu. Mencari-cari sosoknya. </p>
<p dir="ltr">Kau bilang padaku, ia jangkung dan tampan. Ketampanan yang menyolok mata (yang membuatku pura-pura muntah saat kau mengatakannya dengan lebay). Aku berdiri dekat meja bar, menjulurkan leher panjang-panjang ke seantero ruangan (yang untungnya tidak terlalu ramai), sampai seseorang yang duduk di kursi bar, tak jauh dari posisiku berdiri menyapaku dalam bahasa Inggris.</p>
<p dir="ltr">“<i>Are you the Indonesian journalist?</i>”</p>
<p dir="ltr">Aku menoleh, mendapati seseorang lelaki tengah menatapku seraya beranjak dari kursinya. Kakinya begitu panjang dan ketampanannya menyolok mata. Oh, sial, Marie! Kenapa kau tidak bilang dia lebih mirip orang Asia? Matanya sipit dengan alis seperti golok, kulitnya putih tapi tidak pucat kemerahan. Rambutnya hitam seperti bulu gagak.  Sementara, sejak awal, aku mencari-cari sosok lelaki bule.</p>
<p dir="ltr">“<i>Ja bin ich. Bist du Algernon Katz?</i>” Aku harus tengadah saat bicara dengannya. Badan pendek menyebalkan!</p>
<p dir="ltr">Sebelah alisnya terangkat, seolah tak mengira aku menyahut dalam bahasa Jerman. Kemudian, ia mengangguk, dan memberi isyarat agar mengikutinya ke sebuah meja yang jauh dari keriuhan. “Kita bisa bicara di sini. Tidak keberatan, kan? Oh, dan panggil aku Algernon. Tidak perlu bersikap formal.”</p>
<p dir="ltr">Dia sopan sekali, Marie. Soal yang ini kau juga tidak bilang padaku. Kami berdua memesan Espresso. Lalu kukatakan padanya, bahwa sebaiknya aku menjelaskan maksudku menemuinya.</p>
<p dir="ltr">“<i>Ich weiβ das</i>. Marie Schneider sudah bilang padaku di telepon. Katanya, kau sedang mengumpulkan cerita-cerita perjalanan yang menarik dari seluruh dunia untuk bahan tulisanmu.”</p>
<p dir="ltr">“<i>Das stimmt</i>.” Aku mengangguk. “Marie bilang, selama bertahun-tahun kau berkeliling ke banyak negara dan membaur dengan orang-orang lokal. Kau menantang maut dengan mencoba berbagai hal ekstrim di negara-negara itu. Menurutku, itu keren sekali.”</p>
<p dir="ltr">Espresso kami sudah datang. Ia tidak segera menjawab, melainkan memperhatikan isi cangkirnya, Marie. Wajahnya adalah wajah paling tak terbaca yang pernah kulihat, dari begitu banyak orang yang kutemui sepanjang karirku sebagai wartawan. Sekilas aku melihat sudut-sudut bibirnya melengkung ke bawah. Entah kenapa, ada aura kesedihan yang kurasakan dari dirinya.</p>
<p dir="ltr">“Itu sama sekali tidak keren.” Akhirnya dia menjawab. Mengalihkan tatapannya dari cangkir pada entah apa di belakang punggungku. Lalu, aku menyadari sesuatu. Matanya. Mata hitamnya yang menerawang itu, seperti tak memiliki cahaya. Semakin lama aku menatapnya, aku seperti terisap ke dalam terowongan gelap dan sunyi. Megap-megap kehabisan udara. Sihir apa ini?</p>
<p dir="ltr">Oh, hentikan! Aku memarahi benakku yang terlalu tinggi berimajinasi. Jangan menganggap pria menarik ini seperti penyihir!</p>
<p dir="ltr">“Kalau boleh jujur, aku sebenarnya enggan menjadi narasumber. Aku tidak terlalu pandai bercerita tentang diri sendiri, asal kau tahu. Marie berhasil membujukku. Itu memang keahliannya sejak dulu. Ia bilang, kau wartawan yang sudah sangat berpengalaman dan penulis yang handal. Aku mempercayai pendapat Marie. Karena itu, aku setuju untuk bertemu denganmu.”</p>
<p dir="ltr">“<i>Danke</i>,” sahutku. “Semoga tulisanku kelak tidak akan mengecewakanmu. Ceritakan saja padaku perjalanan yang menurutmu paling menarik.” </p>
<p dir="ltr">“Entahlah. Aku sudah pergi ke banyak tempat. Yang terakhir adalah tinggal di Afrika selama enam bulan. Aku tidak tahu apakah itu akan menarik buat orang lain.”</p>
<p dir="ltr">Entah bagaimana, suatu pikiran terlintas begitu saja setelah aku bersamanya selama beberapa menit yang berjalan. Tidak, Marie. Aku tidak ingin cerita-cerita petualangannya. Itu bisa kudapatkan nanti dari narasumber-narasumberku yang lain. Dari lelaki ini, yang dirinya tampak begitu kompleks, aku ingin cerita yang lain. <i>The story behind the adventures. </i></p>
<p dir="ltr">Ketika itu kukatakan padanya, ia menatapku lama sekali. Kupikir ia akan marah, karena tiba-tiba saja terowongan di matanya menjadi kumparan. Mengirimkan gelombang rasa sakit yang membuatku menggigil. Aku ingin berkata padanya, ‘hentikan!’ Namun, mulutku seperti terkunci. Kau yakin, mantan teman kuliahmu ini bukan dukun atau penyihir, Marie? Kenapa aku tiba-tiba merasa sangat depresi saat bersamanya?</p>
<p dir="ltr">Lalu ia berkata, “Kurasa, kalau kau ingin cerita semacam itu dariku, kau harus menunggu. Kau ingin tahu kenapa aku melakukan perjalanan-perjalanan berbahaya? Kau akan mengetahuinya, kalau kau sedikit bersabar.”</p>
<p dir="ltr">“Kenapa aku harus menunggu? Kenapa tidak sekarang saja kau ceritakan padaku, Algernon?”</p>
<p dir="ltr">“Kalau tidak begitu, di mana letak keseruannya? Bukankah lebih hebat jika ada unsur <i>suspense</i> di dalamnya? Orang-orang menyukai <i>twist ending</i>, bukan?”</p>
<p dir="ltr">“Aku tidak mengerti apa maksudmu. Berapa lama aku harus menunggu?” </p>
<p dir="ltr">Ia tersenyum. Senyum yang begitu sendu.</p>
<p dir="ltr">Oh, Marie! Tiba-tiba aku mendengar tanda bahaya berdering di benakku. Aku seperti punya firasat buruk saat melihat senyum itu! <i>Suspense</i> apa? <i>Twist ending</i> apa?</p>
<p dir="ltr">Kuharap, tak akan terjadi apa-apa. Kuharap, ketakutanku tak beralasan, karena aku hanya sangat terpesona padanya sampai berhalusinasi. Kuharap, aku tak harus menunggu kabar darinya terlalu lama, untuk mengetahui segala alasan yang ia simpan. <i>Bitte, Gott</i>.</p>
<p dir="ltr"><i>Liebe Gruβe,</i><br>
- E -</p>
<p dir="ltr">**<b>Catatan Penulis</b></p>
<p dir="ltr">Algernon adalah tokoh utama pria di dalam novel terbaru saya “<i>A Day to Remember</i>”, yang akan diterbitkan Penerbit <i>KataDepan</i>.</p>
<p dir="ltr">Sungguh menyenangkan, akhirnya mendapatkan judul yang final, setelah selama ini hanya sebagai Algernon Project saja.</p>
<p dir="ltr">Nantikan, tinjauan-tinjauan lainnya tentang <i>A Day to Remember</i> di blog ini. Terima kasih.</p>
<p dir="ltr"><b>Bahasa</b>:<br>
*<i>Ja bin ich. Bist du Algernon Katz</i>? = Ya, saya. Apakah kamu Algernon Katz?<br>
*<i>Ich weiβ das</i> = Aku tahu itu<br>
*<i>Stimmt</i> = benar<br>
* <i>Liebe Gruβe</i> = salam sayang<br>
*<i>Bitte, Gott</i> = Tolong, Tuhan</p>
Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-43747760696582204822017-10-04T20:11:00.000+07:002017-10-04T20:39:53.299+07:00[Allure] Lelaki yang Entah Datang dari Mana<div dir="ltr">
Aku memandangi meja di sudut dekat jendela besar yang menghadap ke jalan raya. Ada seseorang duduk di sana, sendirian saja. Cangkir kopi di atas mejanya masih mengepul, baru saja diantar pramusaji. Itu cangkir kopinya yang ketiga.</div>
<div dir="ltr">
<br />
Kau tahu, aku bukan orang yang suka memata-matai orang lain dan ikut campur urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengan diriku, kan? Aku biasanya duduk diam di meja favoritku, di sebuah sudut yang lain yang berseberangan dengan sudut di sana itu. Aku biasa mengabaikan sekelilingku dan menulis kata demi kata di laptop merah kesayanganku.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Namun, sudah seminggu ini, aku tak bisa menghindari pemandangan di sebelah sana itu. Seorang lelaki, yang telah menjadikan meja itu sebagai meja favoritnya di kafe itu, sebagaimana kutasbihkan meja ini sebagai favoritku. Tujuh hari yang panjang, dan ia hanya duduk di sana tanpa orang lain menghampirinya. Yang dilakukannya selain meneguk bercangkir-cangkir kopi adalah mencoret-coret lembaran-lembaran tisue.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Ia akan pergi menjelang senja. Bangkit perlahan dari kursinya, menepuk-nepuk celana jinsnya dan tercenung sejenak sambil menatap ke luar jendela. Bisa kulihat gerak pelan bahunya, seolah-olah ia menghela napas dan menghembuskannya kuat-kuat. Lalu, ia akan menghampiri meja bar dan bertanya apakah ia bisa membeli secangkir kopi dan beberapa muffin untuk dibawa pulang.</div>
<div dir="ltr">
Dalam rutenya ke pintu keluar, ia akan melewati mejaku. Mengangguk sedikit kepadaku--karena lagi-lagi aku terlambat mengalihkan tatapanku dari sosoknya. Ia tahu aku memandanginya, dan itu membuatku mengumpati diri sendiri.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Awalnya, aku tak tahu siapa dirinya. Di hari pertama itu, kulihat beberapa pengunjung kafe diam-diam menoleh padanya dan mulai berbisik-bisik satu sama lain. Wajah-wajah penasaran bercampur dengan wajah-wajah kesal dan tak suka. Sungguh membuatku heran.</div>
<div dir="ltr">
Memangnya siapa dia? Kenapa orang-orang tampak begitu kesal melihatnya? Beberapa bahkan diam-diam mengacungkan jari tengah ke arah lelaki itu. Aku mengerutkan kening. Dosa apa yang dilakukan lelaki itu sampai harus diperlakukan begitu?</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Di hari kedua, aku mendapatkan jawabannya dari beberapa pramusajiku.<br />
"Oh, masa Kakak tidak tahu?" seru mereka. "Namanya menghiasi berita selama dua bulan belakangan ini." Seorang dari mereka menunjukkan laman sebuah situs berita dari <i>smartphone</i>-nya.<br />
"Oh." Cuma itu komentarku setelah membaca isi berita dan mengetahui siapa lelaki itu.<br />
"Seharusnya, dia kita larang datang ke kafe ini. Pengunjung lain jadi nggak nyaman, Kak."</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Kau tahu, aku membenci segala bentuk tindakan diskriminasi, kan? Makanya, kubiarkan saja lelaki itu menghabiskan waktunya di kafeku. Aku tidak berhak melarang-larang orang lain menikmati kebahagiaannya, sesepele apa pun itu. Aku memang pemilik kafe ini, kusediakan kafe ini bagi orang-orang yang membutuhkan tempat berlindung dari kejamnya hidup sehari-hari. Kusiapkan apa yang membuat mereka nyaman dan senang. Lantas, jika lelaki itu menemukan kenyamanan dan kesenangannya dengan duduk di sudut sana sambil meneguk bercangkir-cangkir kopi, apakah aku berhak melarangnya? Tentu tidak, bukan? Jadi, kubiarkan saja ia di sana. Pengunjung-pengunjung picik yang merasa terusik boleh mencari kafe lain.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Kau akan merasa keheranan setengah mati, kalau tahu siapa lelaki itu, dan kenyataan bahwa aku malah bersikap lunak kepadanya.<br />
Namun, aku tidak akan memberitahukannya kepadamu. Tidak sekarang. Jangan. Belum waktunya. Aku punya firasat, ia tidak seburuk yang dikatakan orang.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
"Permisi," sebuah suara membuyarkan pikiranku. Aku mendongak dari <i>keyboard</i> laptopku. Sepasang mata coklat gelap menatap sejajar dengan mataku. </div>
<div dir="ltr">
Lelaki di sudut seberang itu tengah membungkuk dan mengambil sesuatu di dekat kakiku. Diletakkannya benda itu di mejaku. </div>
<div dir="ltr">
"Pulpenmu jatuh."<br />
Aku tertegun sejenak, lalu hanya bisa menjawab, "Oh." Reaksi tolol, yang sedetik kemudian kusesali.<br />
Lelaki itu sudah beranjak, berjalan menuju pintu. Aku tersadar dan memanggilnya.<br />
"Tunggu!"<br />
Ia menoleh.<br />
"Anu..., terima kasih."Aku menelan kegugupanku. Lalu, melambaikan tangan ke arah jendela, yang menyuguhkan pemandangan hujan sore yang berkilau dalam sorot lampu jalan. "Di luar hujan. Kami meminjamkan payung untuk pelanggan setia kafe."</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Ia mengerutkan kening. Sepertinya, belum menyadari bahwa aku pemilik kafe ini. Kemudian, ia mengangguk. "Terima kasih tawarannya. Tapi saya suka hujan." Ia meneruskan langkahnya menuju pintu keluar, lalu menghilang ke dalam senja yang berhujan.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Lelaki itu, entah dari mana datangnya dan kemana ia pulang. Semoga ia tidak kena flu. Aku ingin melihatnya lagi besok, duduk di sudut dekat jendela itu.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img border="0" height="265" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjpmOHS6xELuda47hyphenhyphenh2DiGDBry_AwN45P6hhrmCGlx8w0V8oKyt83uWiHXqQpzGUZjpT5tDx-UjjDreWYSR9rqRerepPdsyEetvsyUTqqyjZLuZqe3uUN92Mp2RcXLcKNyL1-qhA/s400/download+%25281%2529.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" width="400" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">pic from <a href="http://insightandinspiration.net/">here</a></td></tr>
</tbody></table>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjpmOHS6xELuda47hyphenhyphenh2DiGDBry_AwN45P6hhrmCGlx8w0V8oKyt83uWiHXqQpzGUZjpT5tDx-UjjDreWYSR9rqRerepPdsyEetvsyUTqqyjZLuZqe3uUN92Mp2RcXLcKNyL1-qhA/s1600/download+%25281%2529.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"> </a> </div>
Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-48693760811623551342017-04-05T20:47:00.001+07:002017-04-05T21:05:12.786+07:00Algernon Project: About Their Names<p dir="ltr">Sebenarnya, pemicu terbesar yang menggerakkan saya langsung menulis tanpa pikir panjang, adalah dua nama yang melekat di otak saya sejak masih kecil.</p>
<p dir="ltr">ALGERNON dan DEMITRIA.</p>
<p dir="ltr">Saya sangat menyukai dua nama itu, terutama Algernon. Itu adalah nama yang unik dan antik. Berasal dari bahasa-bahasa kuno.</p>
<p dir="ltr">Algernon berasal dari bahasa Normandy France, yang artinya 'with beard'. <br>
Meski tak pernah saya membayangkan seorang pria berjanggut saat menyebut nama itu. Yang saya bayangkan, justru remaja cerdas, tinggi besar agak gendut bernama Frederick Algernon Trotteville, yang dijuluki Fatty oleh teman-temannya.</p>
<p dir="ltr">Yes, pertama kalinya saya tahu nama Algernon dari serial Pasukan Mau Tahu-nya Enid Blyton, penulis favorit yang buku-bukunya menemani saya bertumbuh. Dari seorang anak kecil pengkhayal menjadi cewek remaja tomboy yang doyan keluyuran, lalu orang dewasa yang keras kepala, yang masih tetap pengkhayal dan doyan keluyuran.</p>
<p dir="ltr">Nama Algernon itu klasik, meskipun tidak praktis dilafalkan. Baru saya sadari kemudian, ternyata sejak kecil saya sudah suka dengan segala hal berbau jadul, vintage dan antik. Haha.</p>
<p dir="ltr">Lalu gimana dengan Demitria?</p>
<p dir="ltr">Saya tidak ingat kapan tepatnya saya mendengar nama itu dan langsung menyukainya. Tapi sekitar 10 tahun yang lalu, barangkali lebih, saya membuat blog terkunci yang isinya adalah bab-bab awal novel dengan tokoh bernama Demitria. Novel itu tidak terselesaikan, karena saya tak bikin outline sama sekali. Terlupakan, tetapi nama tokohnya tetap saya sukai.</p>
<p dir="ltr">Dalam draft Algernon Project juga ada nama Pip. Itu nama yang saya sukai juga. Setiap pembaca setia buku-buku Ibu Guru Blyton pasti tahu siapakah Pip itu.<br>
Kuncinya masih di serial Pasukan Mau Tahu.</p>
<p dir="ltr">Demikianlah, suatu pagi yang dingin berkabut di sebuah kampung (yang bagi saya adalah tempat yang sangat menyebalkan), di sudut Jawa Barat, dua nama yang puluhan tahun mengendap di dalam benak saya itu mengetuk-ngetuk minta keluar. <br>
Seperti saya, mereka sepertinya jatuh cinta pada Würzburg, yang saya baca di internet beberapa hari sebelumnya.</p>
<p dir="ltr">Maka, saya menciptakan takdir untuk pertemuan mereka di sana.<br>
Algernon yang memandang hidup dengan pahit dan Demitria yang selalu optimis.</p>
<p dir="ltr">Sesungguhnya, proses mewujudkan mereka adalah pembelajaran baru lagi bagi saya.</p>
<p dir="ltr">Pertama, saya menulis tanpa outline (dan saya jadi tahu bahwa saya lebih cocok dengan sistem kerja pakai outline).</p>
<p dir="ltr">Kedua, tadinya saya terbiasa menulis berdasarkan mood. Draft ini membuat saya ketat sekali dengan waktu. Menulis tiap hari tanpa menunggu mood. Memaksa memikirkan dialog dan adegan sepanjang hari 24 jam. Dan saya jadi bisa menyelesaikanya 2 bulan lebih cepat dari tempo normal saya.</p>
<p dir="ltr">Ketiga, ternyata inspirasi memang datang tidak terduga. Hanya dari nama, sebuah kisah bisa tercipta.</p>
<p dir="ltr">Tunggu tinjauan berikutnya dari Algernon Project, ya! </p>
<p dir="ltr"><i>Pfiaddi!</i></p><p dir="ltr"><i><br></i></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghfBZUDacQ533hap5NJv2q1Y8X17egLfeoLmFjSCbcWBdkH4MXxpS1oNOXrm70c8icHLJM0WcYst6Mk5F61A2n2U7BMFsq6lbqoR9hT6zcqF7m5cGBU4NDqKgM1BHH2Qe0nIFzvw/s1600/45b59c8a4c0207a7a6c3c2f3bb30de44.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"> <img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghfBZUDacQ533hap5NJv2q1Y8X17egLfeoLmFjSCbcWBdkH4MXxpS1oNOXrm70c8icHLJM0WcYst6Mk5F61A2n2U7BMFsq6lbqoR9hT6zcqF7m5cGBU4NDqKgM1BHH2Qe0nIFzvw/s640/45b59c8a4c0207a7a6c3c2f3bb30de44.jpg"> </a> </div>Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-84182483287226790372017-03-28T18:09:00.001+07:002017-03-28T18:09:55.049+07:00Algernon Project: A Prolog<p dir="ltr"><i>I see you,</i><br>
<i>When on the distant road</i><br>
<i>The dust rises,</i><br>
<i>In deep night,</i><br>
<i>When on the narrow bridge</i></p>
<p dir="ltr"><i>- Wolfgang von Goethe, "I Think of You"</i><br><br><br></p>
<p dir="ltr">Apa yang ingin saya ceritakan tentang draft ini, adalah tentang betapa saya mencintai proyek naskah yang satu ini.</p>
<p dir="ltr">Suatu dorongan hati, menggerakkan saya untuk membuka laptop dan menulis di suatu pagi. Tentang sepasang anak muda yang bertemu di sebuah kota, di bagian selatan Jerman.</p>
<p dir="ltr">Dan saya menulis, mula-mula tanpa outline.</p>
<p dir="ltr">Saya menulis sampai malam, hari itu. Di benak saya tergambar jelas sosok kedua tokoh saya. Algernon yang kepengin mati, dan Demitria yang mencintai hidup. <br>
Saya larut dalam dunia mereka. Dunia yang sebenarnya saya ciptakan sendiri.</p>
<p dir="ltr">Selama menuliskan kisah mereka, saya terbenam dalam karakter Algernon yang depresi. Tingkah laku saya sehari-hari jadi sedikit aneh, dan itu saya sadari.</p>
<p dir="ltr">Kenapa saya sangat mencintai proyek ini? Entahlah.<br>
Mungkin karena secara tidak terlalu sadar, saya menuangkan hal-hal pribadi yang merupakan bagian dari diri saya.</p>
<p dir="ltr">Bahwa saya kadang-kadang membenci hidup, sekaligus ingin hidup seribu tahun. Saya menyukai bangunan-bangunan dan kota-kota lama, seperti Würzburg yang menjadi lokasi kisah ini. Saya menyukai warna oranye, merah dan kuning, dan menyukai kabut. Seperti karakteristik musim gugur, musim yang mempertemukan Algernon dan Demitria.<br>
Saya juga menyukai buku-buku dan sastra klasik, yang menjadi benang merah kedua tokohnya. Dan saya, adalah orang yang tidak pernah kehilangan harapan, seperti pesan moral yang disiratkan kedua tokohnya.</p>
<p dir="ltr">Dalam satu bulan, saya merampungkan kisah ini. Benar-benar sebuah rekor, karena biasanya saya butuh waktu paling cepat 3 bulan untuk menyelesaikan sebuah naskah.</p>
<p dir="ltr">Ketika selesai, ada kebanggaan tersendiri dalam hati. Bukan karena, memecahkan rekor selesai 1 bulan. <br>
Ini semacam kebanggaan kepada anggota keluarga.<br>
Dalam hal ini, saya bangga pada Algernon dan Demitria.</p>
<p dir="ltr">Sungguhan, nulis tanpa outline? Tanya seorang teman penulis.<br>
Ya. Saya melaju tanpa outline kali ini. Hanya coretan-coretan dialog atau adegan-ditulis tergesa-gesa di sembarang kertas, yang tiba-tiba <i>pop up</i> di kepala saat sedang tidak bisa membuka laptop.</p>
<p dir="ltr">Bukan berarti saya menyarankan untuk tidak membuat outline saat hendak menulis, lho. Bagaimana pun, outline itu penting.<br>
Dalam proyek ini, saya hanya sedang menantang diri sendiri. Bisakah saya menulis tanpa outline, hanya berdasarkan ide segar, yang langsung ditempatkan di naskah? Ibaratnya ini permainan <i>puzzle.</i></p>
<p dir="ltr">Ribet? Iya. Pusing? Iya. Bingung? Iya.<br>
Tapi akhirnya saya melewati itu semua. Dan naskah Algernon Project akan segera diterbitkan dan bisa dibaca.</p>
<p dir="ltr">Penasaran?<br>
Sabar.<br>
Sementara sedang diperiksa editor, saya akan bercerita lagi tentang draft ini nanti. <br><br></p>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVzTEA33MjtcDD4Ug_4GksJP1zsNjDdltD2ykT4NVoEzACpojDgBy6LHw47FEUmG6E9PzHRYhAeeiiKTHaYX60lASwXSQFfKe0RoHURg9IRk57EEZJo2UJlZCo6OVsvDnv9OqDVA/s1600/51e13cf014ffaddfaee12ff0d0da7ad6.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"> <img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVzTEA33MjtcDD4Ug_4GksJP1zsNjDdltD2ykT4NVoEzACpojDgBy6LHw47FEUmG6E9PzHRYhAeeiiKTHaYX60lASwXSQFfKe0RoHURg9IRk57EEZJo2UJlZCo6OVsvDnv9OqDVA/s640/51e13cf014ffaddfaee12ff0d0da7ad6.jpg"> </a> </div>Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-48744681900850211782016-12-24T10:18:00.000+07:002016-12-29T18:56:19.281+07:00What I Learn from Pinky Promise<i>Uhm, well, hello...</i><br />
<i>Here I am, the owner of this blog. How are you?</i><br />
<i><br /></i>
Sudah beberapa lama ingin mulai menulis lagi di sini. Terutama mengenai novel terbaru saya, <i>Pinky Promise. </i>Tetapi, selalu saja ada hal-hal lain yang bikin saya menunda-nunda.<br />
<br />
Hari ini. tetiba ada sedikit waktu. Kebetulan juga baru isi kuota hehe...<br />
<br />
Jadi ceritanya, novel terbaru saya yang judulnya <i>Pinky Promise</i> sudah terbit sejak bulan Oktober lalu. Novel itu diadaptasi dari skenario film berjudul sama, yang ditulis Gina S. Noer. Pernah dengar namanya, kan? Dia bukan penulis skenario sembarangan. Sering mendapat penghargaan perfilman. Selain itu. salah satu filmnya, <i>Perempuan Berkalung Sorban</i>, adalah film favorit mendiang ibu saya.<br />
Omong-omong, film<i> Pinky Promise</i> pun sudah ditayangkan di bulan Oktober.<br />
<br />
Trus, kenapa tiba-tiba saya kepengin nulis tentang novel ini, padahal dua bulan sudah berlalu?<br />
Pertama, karena saya belum dengan resmi pengumuman di blog ini, bahwa novelnya sudah cetak dan beredar di toko-toko buku.<br />
Yang kedua, malam ini nggak sengaja saya lihat foto-foto Ria Irawan dan Julia Perez di internet. Mereka sedang menjalani kemo, untuk melawan kanker yang menggerogoti tubuh mereka. Saya jadi ingat malam-malam yang terasa sedih dan mencekam, saat saya menulis <i>Pinky Promise</i> sebagai draft utuh, yang dikembangkan dari dialog-dialog di skenario Gina<br />
<br />
Mudah?<br />
Tidak.<br />
Bisa dibilang, ini adalah pengalaman saya menulis novel yang paling menguras tenaga dan pikiran . Tidak hanya secara teknis. tetapi juga secara psikologis.<br />
<br />
Mengadaptasi sebuah skenario menjadi novel ternyata nggak segampang yang saya bayangkan.Terutama, jika kamu dituntut untuk mengembangkan plotnya secara utuh. Skenario cuma berisi adegan dan dialog-dialog untuk kebutuhan visual. Jauh bedanya dengan sebuah novel, yang harus bisa membuat pembaca memahami sekaligus bisa mengimajinasikannya.<br />
<br />
Saya harus membentuk lagi karakter-karakter setiap tokoh, memberi mereka sejarah dan latar belakang, menciptakan plot-plot penunjang, dialog-dialog tambahan. Sementara itu, kisahnya sendiri menguras emosi kesedihan dalam diri saya.<br />
<br />
Tahu nggak, kenapa?<br />
<br />
<i>Pinky Promise</i> adalah kisah tentang orang-orang yang berjuang melawan kanker payudara di tubuh mereka. Mereka berjuang untuk tetap hidup. Dan saya, punya seorang sepupu, yang tahun ini meninggal karena penyakit yang sama. Sepupu yang dulu teman bermain saya saat kami masih kecil. Meski, tahun-tahun belakangan hubungan kami menjadi renggang, ketika ia meninggal, saya menangis berjam-jam di kamar. Ia meninggalkan tiga orang anak. Saya mencemaskan mereka.<br />
<br />
Perasaan duka itu terungkit lagi ketika saya mengerjakan draft <i>Pinky Promise</i>. Berkali-kali, saya menulis sambil bercucuran air mata. Terlebih karena memang dalam skenario itu, ada dialog-dialog yang menyentuh hati, yang kemudian harus saya jelmakan menjadi plot yang utuh. Membikin saya memahami, mungkin apa yang dirasakan para pejuang kanker dalam kisah ini (Gina melakukan riset dan wawancara dengan para pejuang kanker sungguhan sebelum menulis) seperti itu pula dulu yang dirasakan mendiang sepupu saya. <br />
<br />
Saya pun melakukan riset saya sendiri. Mencoba memahami situasi yang dirasakan seorang pejuang kanker. Saya menemukan beberapa blog para pejuang kanker. Favorit saya adalah blog mendiang <a href="http://ayomari.blogspot.co.id/"><span style="color: magenta;">Sima Gunawan.</span></a> Mbak Sima almarhum adalah orang yang sangat optimis dan tegar menghadapi kankernya yang sudah stadium 4. Ia sangat mirip dengan karakter Anind yang ceria, dalam novel <i>Pinky Promise</i>. Berkunjung deh, ke blognya. Meskipun Mbak Sima sudah tiada sejak awal tahun 2012 lalu, blognya masih menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi para pejuang kanker lainnya sampai sekarang.<br />
<br />
<i>Thank you for inspiring us, Mbak Sima.</i><br />
<i>May you r</i><i>est in peace in Heaven.</i><br />
<i><br /></i>
Sebenarnya, yang mau saya bilang saat memutuskan menulis di sini hari ini adalah, bahwa menulis <i>Pinky Promise</i> memberi saya banyak pelajaran. Pertama, tentu saja teknik mengadaptasi skenario menjadi novel. Saya beruntung, editor saya, Iwied, sabar banget membantu mengoreksi dan memberi masukan-masukan dalam diskusi <i>online </i>kami. Selain Iwied, tim penulis skenario dan <i>production house</i> juga ikut memberi masukan. Kalau boleh jujur, mengakomodir sekian banyak masukan dari banyak kepala itu agak gimanaaa gitu. Hehe. Bikin panik dan bingung mesti gimana menerapkannya. Lagi-lagi, Iwied mengajak saya mendiskusikannya, dan akhirnya saya bisa mengakomodir semua masukan. Selain itu, masukan dari Gina adalah yang saya jadikan <i>summary </i>dari semua masukan lainnya.<br />
Mungkin, karena Gina sendiri adalah penulis, ia mengurutkan kritik dan sarannya<i> step by step</i> dan terstruktur. <i>Thanks, Iwied dan Gina!</i><br />
<br />
Dan memanglah, semua masukan itu jadi membuat novel <i>Pinky Promise</i> ini utuh dan lengkap.<br />
<br />
Novel ini juga mengubah <i>mindset </i>saya soal menghadapi musibah. Kita nggak bisa menjauhi dunia ketika hidup sedang kedatangan masalah. Nggak bisa sembunyi atau pura-pura nggak terjadi apa-apa dalam hidup kita. Kadang-kadang, beban itu harus dibagi dengan orang-orang yang peduli dan kita percayai.<br />
Seperti mendiang Mbak Sima. Ia membagi bebannya dengan menulis di blog. Menceritakan penyakitnya, perjuangannya, dan memberi semangat buat orang-orang yang senasib dengannya. Dari blog itu, dia jadi punya banyak teman. Mereka saling berceloteh riang di kolom komentar, mungkin juga ada yang kopi darat dan menjadi teman di dunia nyata.<br />
<br />
Berbagi beban bagi para pejuang kanker itu tidak selalu tentang minta dikasihani. Salah banget kalau ada yang mengira begitu. Sejauh riset saya dan selama saya menulis novel ini, saya kemudian paham, bahwa mereka cuma ingin kehidupan mereka berjalan normal seperti biasa. Mereka kepengin didukung supaya kuat dan menularkan kekuatan itu kepada orang lain.<br />
<br />
Saya, secara pribadi, sukaaa sekali tokoh Anind dalam novel itu. Tokoh favorit saya. Dan betapa diri saya menginginkan kepribadian seperti dia.<br />
<br />
Dan ternyata, saya berjumpa dengan banyak orang seperti dia, saat premier film Pinky Promise.<br />
<br />
Saya berjumpa dengan pejuang-pejuang kanker dari <a href="http://www.lovepinkindonesia.org/"><span style="color: magenta;">Yayasan LovePink Indonesia</span></a> yang juga diundang untuk menonton tayangan perdana film Pinky Promise. Saya melihat wajah-wajah mereka yang sumringah, dengan senyum dan tawa, dan kegembiraan yang murni. Berkelompok dengan pakaian-pakaian berwarna pink, beberapa menutup kepalanya dengan kerudung atau turban, yang menurut dugaan saya mungkin mengalami efek kemo yang biasa terjadi pada kulit dan rambut.<br />
Ada juga yang didorong dengan kursi roda, atau dipapah dengan tongkat. Wajahnya? Sama saja. Tegar dan berseri-seri.<br />
<br />
Melihat perempuan-perempuan yang memancarkan aura ketabahan dan kekuatan sebesar itu, saat itulah saya bersyukur menjadi penulis novel <i>Pinky Promise</i>. Bersyukur diberi kesempatan ikut menginspirasikan kekuatan untuk terus berjuang bagi siapa saja yang sedang terpuruk, apa pun masalahnya, bukan hanya penderita kanker payudara.<br />
<br />
Saya belajar dari para pejuang kanker, bahwa sekecil apa pun kesempatan, hidup harus diperjuangkan.<br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHqMYHymKumLIdRmh5KbRdz6D94H0xSs8xTb6WTGVeTPiEkQZQ2-6TtlajOu_B1ify11ZtpzKuV9v1g1Nnqje7CGWWkBCFHdi54CTRx6YvsMWc1Wd8ud-2vURZjNnEeZkM0BAvSQ/s1600/CukY8aqVMAAc4lb.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHqMYHymKumLIdRmh5KbRdz6D94H0xSs8xTb6WTGVeTPiEkQZQ2-6TtlajOu_B1ify11ZtpzKuV9v1g1Nnqje7CGWWkBCFHdi54CTRx6YvsMWc1Wd8ud-2vURZjNnEeZkM0BAvSQ/s320/CukY8aqVMAAc4lb.jpg" width="320" /></a></div>
<br />
<br />
<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZpmla0nWlSWfmUoUP2IyjbD3OZxHirKRVmEfzoydAjj7nElWLQZX0ldDFkraUnQp8sBmIud_y-qPqyvcX4VBfIi8s9IUS1cQiDahSZcl8ROeCJdf7hJs_WKFp58PDyEnOVheIOg/s1600/CtzUiRnVMAABz1I.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="179" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZpmla0nWlSWfmUoUP2IyjbD3OZxHirKRVmEfzoydAjj7nElWLQZX0ldDFkraUnQp8sBmIud_y-qPqyvcX4VBfIi8s9IUS1cQiDahSZcl8ROeCJdf7hJs_WKFp58PDyEnOVheIOg/s320/CtzUiRnVMAABz1I.jpg" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Launching novel Pinky Promise <br />
bersama beberapa pemeran utama film Pinky Promise</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
<br />
<br />Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-41418406904238732912016-07-03T14:41:00.001+07:002016-07-03T19:54:22.193+07:00Pinky Promise: The Ladies and The Monster<p dir="ltr"><b>Miss A.</b></p>
<p dir="ltr">Aku sudah jatuh cinta padanya sejak ia masih bayi berkulit keriput dan merah jambu. Ia menatapku dari gendongan ibunya dengan matanya yang kata orang serupa mataku. Ketika kusodorkan telunjukku, jemarinya yang mungil dan rapuh menggenggamnya erat-erat.</p>
<p dir="ltr">Ada binar di wajahnya, bibirnya terbuka, seolah-olah berusaha tersenyum padaku. <br>
Sejak itu, aku berjanji akan membimbingnya menjadi perempuan yang tangguh. Perempuan yang menjalani hidupnya dengan bahagia atas usahanya sendiri.</p>
<p dir="ltr">Dan aku sudah melakukannya. Sampai ia dewasa. Berdiri di hadapanku sebagai perempuan muda yang cantik, pandai dan mandiri.<br>
Tapi tugasku masih belum selesai. Ia masih belum bisa menaklukkan ketakutannya sendiri.</p>
<p dir="ltr">Ah, aku sungguh kesal dengan caranya bersembunyi. Jangan diam saja, Sayang. Aku dikejar waktu. Monster itu sudah lama mengincarku.</p>
<p dir="ltr"><b>Miss T.</b></p>
<p dir="ltr">Bisakah kita tidak membicarakan semua kesialan hidupku? Aku tidak mau orang-orang tahu bahwa aku, yang mereka kenal sebagai perempuan hebat yang sukses dan meraih cita-cita dengan perjuangan sendiri, pada akhirnya harus kalah juga.</p>
<p dir="ltr">Kalian tidak tahu apa yang kurasakan. Apa yang kukorbankan. Dua belas tahun kebersamaan akhirnya menjadi sia-sia. <br>
Kalau begitu, untuk apa aku melakukan semuanya? Untuk apa aku bersusah payah dari nol, jika pada akhirnya aku ditinggalkan dengan rasa sakit yang harus kutanggung sendirian?</p>
<p dir="ltr">Tidak. Aku tidak akan percaya lagi pada apa pun tentang cinta, persaudaraan, persahabatan. Membahagiakan orang lain? Hah. Mana ada ketulusan di muka bumi ini. Aku cuma percaya satu orang saja. Perempuan yang sejak aku lahir menjadi ibu periku.<br>
Kalian selebihnya mungkin hanya manipulator.</p>
<p dir="ltr"><b>Miss</b> <b>K</b>.</p>
<p dir="ltr">Aku sudah melakukan semuanya yang kalian inginkan, ya kan? Aku tidak pernah membantah, meski tak menyukainya.<br>
Aku ingin kalian bahagia, dan semuanya baik-baik saja.</p>
<p dir="ltr">Tapi, tolonglah sekali ini saja. Dengarkan keinginanku. <br>
Aku ingin hidup dengan caraku sendiri. Yang kupilih, meski menyakitkan.</p>
<p dir="ltr">Sudah terlalu banyak yang kusimpan dalam diam. Tidak bolehkah sekarang aku bicara?</p>
<p dir="ltr">Aku melawan monster, dan tak tahu apa yang akan terjadi. Tapi aku berharap, dalam prosesnya aku tumbuh menjadi orang yang benar-benar berarti bagi orang lain. Terutama kalian.</p>
<p dir="ltr">Tidakkah kalian ingin aku hidup? Lalu kenapa kalian menekanku, sampai aku sesak? </p>
<p dir="ltr">Dan kau, Tuan Mata Teduh. Bisakah kau buka mata sedikit saja? Tidakkah kau lihat aku putus asa terus berpura-pura?<br>
Tolong jangan melihat ke luar sana. Lihatlah ke dalam hatiku saja.</p>
<p dir="ltr"><b>Miss </b><b>B.</b></p>
<p dir="ltr">Kecantikan dan ketenaran akhirnya harus kalah oleh si brengsek satu ini.<br>
Bukan saja waktu yang mengkhianatiku, tetapi sesuatu yang tumbuh dalam diriku. Merajang diriku pelan-pelan menjadi serpihan-serpihan yang dulu dikagumi banyak pria.</p>
<p dir="ltr">Monster itu mengacaukan hidupku. Aku harus menstel ulang dari nol lagi.</p>
<p dir="ltr">Lalu, apa artinya keberadaanku di dunia selama ini, jika akhirnya harus berakhir begini ironis?<br>
Apa yang sudah kuperoleh selama ini oleh kecantikan dan ketenaran?<br>
Kaum pria yang mengantri itu? Atau uang yang bisa kubelikan apa saja?<br>
Nyatanya, semua itu sekejap datang seperti mimpi.</p>
<p dir="ltr">Pada akhirnya, aku hanya seonggok daging yang tak lagi dilabeli harga. <br>
Tapi tak mengapa. Karena pada akhirnya, aku mengerti apa itu cinta. <br>
Hidup membawaku pada sekumpulan orang yang melihatku sebagai manusia.<br>
Yang punya hati, bukan sekedar tubuh sexy.</p>
<p dir="ltr">Monster itu datang lagi. Mereka melindungiku. <br>
Tak apa, kataku pada mereka. Tak apa. Ia sudah tak membuatku takut lagi.</p>
<p dir="ltr"><b>Mrs. </b><b>V</b></p>
<p dir="ltr">Dear Suami,<br>
Aku ingin mengatakan banyak hal padamu. Yang selama ini tak sempat terucapkan karena kita sama-sama sibuk bertahan hidup.</p>
<p dir="ltr">Saat kau menatapku, aku tahu isi hatimu.<br>
Kau mencemaskan aku, begitu jelas terbaca di matamu. Kau berharap bertukar posisi denganku, agar aku tak harus menanggung beban melawan monster yang begitu inginnya menguasaiku.<br>
Kau mencintaiku, aku tahu. Meski tak pernah kau ucapkan lagi sejak kita menikah dan punya anak-anak, yang menuntut seluruh perhatian.</p>
<p dir="ltr">Malam itu aku menangis, Suami.<br>
Menatap tiga tubuh mungil terlelap di larut malam.<br>
Isakku pelan, karena mereka tak boleh tahu aku bersedih.<br>
Aku teringat hari-hari menyenangkan saat melahirkan dan membesarkan mereka. Dan aku tak sudi menukarnya dengan apa pun.<br>
Aku juga menangis setiap kali melihat punggungmu menjauh di gang sempit tempat tinggal kita, menuju tempatmu membanting tulang seharian.<br>
Karena aku tahu, kau pergi dengan harapan menemukan jalan untuk membantuku membebaskan diri.</p>
<p dir="ltr">Suamiku, Allah tahu yang terbaik buatku. Maka aku menerima ini dengan ikhlas, dalam keterbatasan kita.<br>
Aku berjanji padamu untuk tidak mengeluh. Aku juga tidak akan bersedih. Aku pasrah melawan dengan doa. </p>
<p dir="ltr">Dear Suami,<br>
Bagiku, yang penting adalah anak-anak dan kamu, selalu ada di sampingku.<br>
Aku cinta kalian. Itu lebih dari cukup bagiku.</p>
<p dir="ltr">____________</p>
<p dir="ltr">Catatan di atas dibuat berdasarkan karakter-karakter tokoh di novel/film <i>Pinky Promise.</i></p>
<p dir="ltr">Novelnya masih tahap revisi, dan akan diterbitkan GagasMedia.<br>
<i>Stay tune</i> ya!<br></p>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcBUeN9hi-IYBcAJRcOERvyUCDOaj9skY_osNsP6um3j1pFom2s7eBglSst9oADImVby1FxPfwdjhc_p2wIzVviE_H47UUss_mfvM_P2tM8DK3kodAkRcg5J8_X-coe36j7sSxiA/s1600/2016-07-03%25252019.48.31.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgcBUeN9hi-IYBcAJRcOERvyUCDOaj9skY_osNsP6um3j1pFom2s7eBglSst9oADImVby1FxPfwdjhc_p2wIzVviE_H47UUss_mfvM_P2tM8DK3kodAkRcg5J8_X-coe36j7sSxiA/s640/2016-07-03%25252019.48.31.jpg"></a></div>Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-74035394301841823812016-06-26T07:50:00.001+07:002016-06-26T08:47:11.121+07:00New Project: Pinky Promise<p dir="ltr">Hai...</p>
<p dir="ltr">Sudah lama banget nggak ngeblog. Yuhuuu! <br>
Apa kabar, semuaaa? *ala penyanyi dangdut*</p>
<p dir="ltr">Eh, berdebu banget ini blog. Sambil nyapu, saya mau ngerumpi ah.</p>
<p dir="ltr">Siapa yang sudah baca novel "Melupakanmu Sekali Lagi"? <br>
Makasih ya yang sudah baca. Yang belum baca, baca dong. *kedipkedip*</p>
<p dir="ltr">Eh iya. Saya sedang menggarap novel baru. Saat ini sedang tahap revisi atas petunjuk editor.<br>
Judulnya PINKY PROMISE.<br>
<i>Cute</i> ya, judulnya?</p>
<p dir="ltr">Jangan-jangan ada yang mikir, ini tentang janjian pake warna pink.<br>
Ish, bukan keles! Wkwkwk.<br>
<i>Pinky promise</i> artinya janji di antara dua orang yang bersifat sakral dan rahasia. Harus dijaga dan ditepati. Disebut juga <i>pinky swear</i>.<br>
<i>Pinky</i> artinya jari kelingking. Jadi saat berjanji, caranya mengaitkan jari kelingking masing-masing. </p>
<p dir="ltr">Novel ini akan sedikit berbeda dengan novel-novel saya sebelumnya.<br>
Pertama, ini novel adaptasi dari skenario film. Skenarionya ditulis Gina S. Noer, yang karyanya sudah sering mendapat penghargaan. Skenarionya, <i>Perempuan Berkalung Sorban</i>, adalah film favorit saya dan mendiang Ibu.<br>
Bisa bayangin kan senangnya saya mengembangkan skenario Gina?</p>
<p dir="ltr">Kedua, ini berkisah tentang persahabatan. Novel-novel saya sebelumnya kan <i>pure romance</i>. <br>
Kali ini, kisahnya akan berfokus pada perjuangan bertahan hidup dan menemukan makna hidup seandainya pun kalah.<br>
Pinky Promise mengisahkan perempuan-perempuan dengan latar belakang berbeda yang akhirnya menemukan persahabatan yang tulus, saat sama-sama melawan ketakutan mereka.<br>
Ada kisah <i>romance</i>-nya juga pastinya sih. Hahaha.</p>
<p dir="ltr">Bikin baper, nggak? Ih, bangeeet. <br>
Ini yang nulis aja sampe nangis-nangis nyesek sendiri. Mana lagi puasa yaelah. Jadi kan nggak bisa minum secangkir teh tarik hangat untuk menenangkan diri. #eh<br>
Wkwkwk</p>
<p dir="ltr">Btw, saya sudah nonton hasil <i>editing</i> <i>offline</i>-nya lhooo. <br>
Pada suatu sore yang agak mendung, ditemani editor saya Iwied dan Resita-pemred GagasMedia. Iya, nanti akan diterbitkan GagasMedia. Jadi cekidot aja akun Gagas. Pada waktunya pasti akan ada cuitannya.</p>
<p dir="ltr">Filmnya direncanakan tayang di bioskop bulan Oktober. Novelnya terbit sebelum itu. Nggak lama lagi kok, insyaAllah. Sudah dapat tanggal naik cetak, edar, dan launching dari Iwied. Nanti di-share kalau sudah naik cetak aja ya.</p>
<p dir="ltr">Oiya, pada pengin tau pemain filmnya siapa? Pemainnya adalah aktor dan aktris yg aktingnya semua nggak diragukan lagi. <br>
Buat penggemar Chelsea Islan dan Derby Romero siap-siap ya. Mereka juga main, lho. <br>
Derby <i>cute</i> banget seperti biasa. Hihi. </p>
<p dir="ltr">Yang seru, nantinya akan ada <i>road show</i> sebelum film tayang. Kata mbak PR prod house-nya, saya diikutsertakan.<br>
Duh, gimana ini? <i>Road show</i> sama artis, ya ampun! Semoga nggak ada yang ngajak saya main film habis itu. Huhu. <br>
Nggak bakal kuat menanggung popularitasnya. *digaplok*</p>
<p dir="ltr">Udah ah, jadi random gini. Entar lama-lama lapar pulak awak.</p>
<p dir="ltr">Buat yang mau kepo tentang PINKY PROMISE, sila kunjungi Instagram @pinkypromisemovie dan Twitter @pinkypromisemov yaaa...</p>
<p dir="ltr">Kalian bisa lihat siapa aja aktor dan aktris kece yang main di film ini.</p>
<p dir="ltr">Kepoin akun saya juga gapapa banget. Harus malah! #maksa :))<br>
Nanti saya akan ngeblog lagi tentang <i>progress</i> novel dan serba serbi kisah ini. <br>
Akan ngetwit juga dan nyetatus di FB.</p>
<p dir="ltr">So, selamat penasaran. Dan selamat berpuasa hari ini. Yang kuat, ya! </p>
<p dir="ltr">Kiss kiss</p>
<p dir="ltr">ENNO<br>
</p>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br></div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj42gE-iO2-0ZLfJZOlWvD4I07fVfKhxm_WezUGTeKCaRzcY47A3Y9lrmziOojPRLEBKeA-uHXi-iMFh70jmwlkeG6OTR8iiAoG7wNmxoP5Ie_wc3UODabltdmR-J-0gW1LVNabgg/s1600/2016-06-26%25252008.43.28.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"> <img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj42gE-iO2-0ZLfJZOlWvD4I07fVfKhxm_WezUGTeKCaRzcY47A3Y9lrmziOojPRLEBKeA-uHXi-iMFh70jmwlkeG6OTR8iiAoG7wNmxoP5Ie_wc3UODabltdmR-J-0gW1LVNabgg/s640/2016-06-26%25252008.43.28.png"> </a> </div>Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-32885055942456334502016-02-18T11:04:00.001+07:002016-02-18T11:04:15.608+07:00Antara Cinta dan Tradisi. Jejaring Takdir di Benak Helga Rif.<span style="font-family: inherit;"><i>Om Swastiastu. </i></span><br />
<div>
<span style="font-family: inherit;"><br /></span></div>
<div>
<span style="font-family: inherit;">Bali. Apa yang terlintas di benakmu ketika nama pulau itu kau dengar atau kau baca? Pulau dewata yang indah, sungguh. Dengan alam dan tradisinya yang menakjubkan, yang dikenal di seluruh dunia. Bukankah begitu? </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Namun, Bali tidak sekedar tempat dengan alam yang indah, pantai-pantai dengan matahari yang terbit dan tenggelam dengan elegan, penduduk yang sangat ramah, kuliner yang lezat, dan tradisi yang lekat dengan keseharian masyarakat. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Tradisi, yang kau saksikan itu… </span><br />
<span style="font-family: inherit;">P</span><span style="font-family: inherit;">ertunjukan Tari Barong di Batubulan, upacara-upara persembahyangan di pura beraroma wangi dupa, rangkaian-rangkaian janur daun kelapa yang indah dan rumit dengan sesaji rupa-rupa buah dan kembang, upacara Ngaben yang mengantar jiwa ke surga. Semua itu hanya akan menyentuh sisi estetikamu saja, jika kau tidak menyelam ke dalamnya. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Adat istiadat dan tradisi, sesungguhnya adalah norma-norma kehidupan yang disusun para leluhur sejak mula peradaban, untuk menjaga dan melindungi masyarakat. Penentangan terhadap tradisi seringkali dianggap sebagai penentangan terhadap komunitas. Kau tidak akan menyadari hal itu, jika takdirmu bukanlah takdir yang sama yang menimpa Anak Agung Ayu Indira. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Gung Dira yang selama ini tinggal di luar negeri, tidak pernah mengira, hidupnya menjadi sangat rumit saat ia pulang ke Bali karena neneknya meninggal dunia. Tiba-tiba ia menyadari, bahwa dirinya bukan sekedar seorang perempuan Bali dari kasta <i>ksatria </i>yang sedang jatuh cinta. Dirinya milik keluarga dan puri dengan adatnya yang baku. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Gung Dira tidak boleh keluar dari puri. Demikian orangtuanya dengan tegas menggariskan. Terlahir dalam keluarga ningrat berkasta <i>ksatria</i>, dibesarkan di puri (sebutan bagi kediaman kaum bangsawan Bali), dan menjadi anak perempuan sulung dari dua bersaudara yang semuanya perempuan, Gung Dira merasa dirinya terjebak dalam adat. Seandainya orangtuanya memiliki anak lelaki, Gung Dira boleh menikah dengan siapa saja, meskipun bukan orang Bali. Namun, bukan itu kenyataannya. Gung Dira wajib meneruskan nama keluarganya dan menikah dengan saudara yang satu purusa–satu garis keturunan–dengan dirinya.</span><br />
<br />
<span style="font-family: inherit;">Di sinilah konflik mulai terbangun. Gung Dira sudah memiliki pilihan hati. Ia mencintai seorang lelaki dari negeri jiran, dengan agama dan adat istiadat yang jauh berbeda. Lelaki itu juga mencintainya. Gung Dira terbelit dilema. Ia mencintai orangtuanya, keluarganya, tetapi ia juga mencintai lelaki itu dan tak bisa hidup tanpanya. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Benturan adat sesungguhnya adalah topik yang klasik tetapi selalu menarik dalam sebuah karya sastra. Kau tidak hanya disuguhi wawasan dan pengetahuan tentang adat istiadat suku lain, yang barangkali berbeda dengan adat istiadat sukumu, dalam kemajemukan Indonesia. Kau juga diajak menjajaki konflik yang terjadi di antara tokoh-tokohnya. Kau mungkin akan ikut menempatkan dirimu dalam kisah itu. Bersimpati, merasa berang, ikut terluka dan mengira-ngira solusi apa yang dipilih para tokoh itu di akhir cerita. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Helga Rif akan mengajakmu menyelam dalam adat istiadat puri dan membawamu terlibat dalam dilema yang pedih, yang dirasakan seorang perempuan bangsawan Bali dalam novelnya<i> Di Bawah Langit yang Sama</i>. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Gung Dira merupakan tokoh sentral dalam kisah ini. Saya yakin, ia tercipta dari realita sehari-hari. Bahwa di luar sana, banyak perempuan-perempuan Bali seperti Gung Dira, yang ditakdirkan dengan posisi sebagai pewaris keluarga. Yang mau tidak mau menerima beban tanggung jawab meneruskan tradisi, dan harus mengesampingkan keinginannya sendiri. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;"><i>“Aku mengatakan realitas, Ra. Lihat sekelilingmu. Hidup di mana kita? Hidup sebagai apa kamu? Bagaimana posisimu di keluargamu?” </i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><i>“Kita hidup di Bali yang menerima perbedaan dengan terbuka.”</i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><i>“Ya, memang, tapi tidak dengan keluargamu.” </i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><i>“Kenapa tidak bisa?” </i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><i>“Karena kamu tidak memiliki pilihan untuk menerima orang lain yang bukan berasal dari keluarga kita untuk masuk ke keluargamu.” </i></span><br />
<span style="font-family: inherit;">-- (hal 151) </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Tentu saja, di sela-sela segala kerumitan hidup Gung Dira, Helga tak lupa membawamu menyusuri keindahan alam dan budaya Hindu Bali yang terkenal itu. Kau akan ikut serta dalam upacara Ngaben <i>niang ayu</i>–nenek Gung Dira. Mempersiapkan <i>banten</i>, mengikuti perjalanan<i> matur piuning</i> ke pura, upacara <i>pelebon</i>-</span><span style="font-family: inherit;">pembakaran jenazah, sampai melabuhkan abunya di laut. Sementara, kau pun juga akan terus dibuat bertanya-tanya adakah solusi untuk persoalan Gung Dira. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;">Sebagai pembaca, saya sangat menyukai seri<i> Indonesiana </i>dari Gagasmedia. Rasanya, seperti angin segar di belantara kisah-kisah yang belakangan nyaris seragam. Unsur lokal dan adat istiadat Nusantara dalam seri ini menjadi penanda yang berbeda di dunia perbukuan. Saya suka seri ini. Saya suka ketika pada akhirnya, Gung Dira dalam kisah ini menemukan takdirnya. </span><br />
<span style="font-family: inherit;">Semoga kita semua pun demikian. </span><br />
<span style="font-family: inherit;"><br /></span>
<span style="font-family: inherit;"><i>Om shanti shanti shanti om.</i></span><br />
<span style="font-family: inherit;"><i><br /></i></span>
<span style="font-family: inherit;"><i><br /></i></span>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_wszTeREqT0GP26beZEmSrdW6PXD_20xeH2xQpSCfFvtcXFKwWwFbbJj6zMpBIVVQcYipiUX13dtQ3ZC-H87znq7wg5yH5ivnoHtDlsFPNpL5yb6OhEMi9DrONSNUwRSJzi2PUg/s1600/25653983.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi_wszTeREqT0GP26beZEmSrdW6PXD_20xeH2xQpSCfFvtcXFKwWwFbbJj6zMpBIVVQcYipiUX13dtQ3ZC-H87znq7wg5yH5ivnoHtDlsFPNpL5yb6OhEMi9DrONSNUwRSJzi2PUg/s400/25653983.jpg" width="272" /></a></div>
<span style="font-family: inherit;"><i><br /></i></span><span style="font-family: inherit;"><i><br /></i></span>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLCsYG-XRZImWwJsmSywwzk1aNaENLG9pxVzmRHNT_rSXcQOYUw3crWwqxyGRzaVCq1u3m2LBsI7XyD77X7pnqIbfqBA53HnknkpheA6PBfSqOlRi2RBDMq2IHrG7IESRcOEi9ZA/s1600/CGZsWvHUkAAoOcT.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLCsYG-XRZImWwJsmSywwzk1aNaENLG9pxVzmRHNT_rSXcQOYUw3crWwqxyGRzaVCq1u3m2LBsI7XyD77X7pnqIbfqBA53HnknkpheA6PBfSqOlRi2RBDMq2IHrG7IESRcOEi9ZA/s1600/CGZsWvHUkAAoOcT.jpg" /></a></div>
<span style="font-family: inherit;"><i><br /></i></span>
<span style="font-family: inherit;"><i><br /></i></span>
<span style="font-family: inherit;"><i><br /></i></span>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmf_dg_PCr_ozgBiUrqLgBjqzwMryvC1PZz4700OBIJGVzFWJGeqGhz6VKyrbd7w_sfvmRrpyIWrk_vrupKXGr9DMB8rEGU_FLzUy2KBvCE4vm0Ogc26_Wux8Bn_hCTFIlgUkSfQ/s1600/indonesiana-one-book-one-day.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmf_dg_PCr_ozgBiUrqLgBjqzwMryvC1PZz4700OBIJGVzFWJGeqGhz6VKyrbd7w_sfvmRrpyIWrk_vrupKXGr9DMB8rEGU_FLzUy2KBvCE4vm0Ogc26_Wux8Bn_hCTFIlgUkSfQ/s400/indonesiana-one-book-one-day.jpg" width="250" /></a></div>
<span style="font-family: inherit;"><i><br /></i></span>
<br />
<img alt="Image and video hosting by TinyPic" border="0" src="http://i26.tinypic.com/2yl3135.png" /></div>
Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-72519516785897674602015-12-17T11:51:00.000+07:002015-12-17T12:18:47.595+07:00Tagore and I<br />
Umur saya sekitar 10 tahun waktu saya menemukan buku lusuh karya Rabindranath Tagore di atas lemari buku, di ruang tengah rumah Kakek. Saya, adalah seorang gadis kecil sakit-sakitan berpakaian lusuh ala anak lelaki, yang sedang berada di kampung halaman Ibu untuk merayakan Lebaran yang sesungguhnya adalah hari yang tidak disukai gadis kecil itu dengan alasannya sendiri.<br />
<br />
Saya juga adalah gadis kecil pemurung, yang lebih suka mengaduk-aduk lemari buku tua Kakek untuk mencari bacaan, daripada bermain dengan sepupu-sepupu kaya berpakaian bagus dan baru. Kakek saya seorang guru dan kepala sekolah. Ia punya sejumlah buku, yang biasanya merupakan hibah dari Dinas P dan K (sekarang Diknas). Buku-buku yang kadang-kadang adalah buku untuk perpustakaan sekolah, atau buku-buku lainnya, yang dianggap perlu sebagai bahan mengajar.<br />
<br />
Hari itu, saat saya menemukan buku itu, jiwa kutubuku saya menggumam, wow kata-katanya bagus, Itu adalah puisi-puisi Rabindranath Tagore dalam <i>Gitanjali </i>(sekarang saya baru menyadari bahwa itu <i>Gitanjali-</i>karena tadinya saya lupa judul buku itu), yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.<br />
<br />
Tentu saja, sebelumnya saya tidak pernah mendengar siapa Tagore itu. Nama yang aneh bagi saya ketika itu. Di bagian kata pengantar, ada sedikit keterangan tentang dirinya, berikut fotonya. Yang saya ingat di kemudian hari setelah pulang ke rumah, dia seorang penulis dan penyair dari India, setua kakek saya, dengan jenggot lebat bak seorang petapa.<br />
<br />
Rupanya, itulah awal mula saya menyukai puisi dan mulai menulis puisi.<br />
Jiwa gadis kecil saya, si penyuka buku yang pemurung, ingin sekali bisa menulis seindah itu. Sebelumnya, saya suka menulis cerita-cerita pendek di belakang buku tulis sekolah, sampai sering dimarahi Ibu dan akhirnya dibelikan buku khusus untuk coret-coret. Buku itu lantas mulai terisi oleh beberapa lembar puisi ala anak SD. Bukan puisi seindah Tagore tentu saja. Tetapi, saya sudah sangat berusaha menulis seindah mungkin. Topiknya apa saja yang terlintas di kepala. Namun, lebih banyak tentang teman-teman.<br />
<br />
Saya tidak punya banyak teman di sekolah. Mungkin, karena saya pendiam dan sering tidak masuk sekolah karena sakit. Salah satu teman sebangku saya, Yayuk, tukang mencontek saya kalau ulangan. Berganti kelas, saya duduk dengan Erna, yang nilainya selalu jelek tetapi untungnya dia baik dan tidak suka mencontek. Berganti kelas lagi, saya duduk dengan Nia, yang culas dan suka mengadu domba, Berganti kelas lagi, saya sebangku dengan Lia. Anak perempuan manis yang pendiam dan lembut. Otaknya sangat cerdas sehingga setiap tahun dia selalu juara umum. Kami sama-sama kutubuku dan penyuka kucing. Dia adalah teman yang paling berkesan dan paling saya sayangi di masa sekolah dasar saya di Bandung. Dan selalu menjadi inspirasi puisi-puisi saya di buku coret-coret.<br />
<br />
Sampai tamat dari Sekolah Dasar, puisi-puisi Tagore menemani saya tumbuh. Buku di rumah Kakek itu lenyap entah kemana, untungnya saya sempat menyalin beberapa puisinya yang paling saya sukai. Puisi-puisi dalam Gitanjali tidak berjudul. Biasanya hanya memakai angka romawi setiap ganti topik.<br />
Tagore dalam kesan saya, adalah orang yang religius dan sangat pandai menerjemahkan alam pikirnya ke dalam bahasa sehari-hari dengan cara penyampaian yang indah.<br />
<br />
Waktu saya masih kecil, begini kesan saya terhadap Kakek Tagore: dia sayang sama Tuhan dan orang-orang.<br />
<br />
Demikianlah.<br />
<br />
....................................<br />
<br />
Tentang Rabindranat Tagore (1861-1941)<br />
<br />
Ia adalah sastrawan India modern paling terkemuka. Seorang penyair, novelis dan pendidik. Menerima hadiah Nobel untuk sastra pada tahun 1913. Dianugerahi gelar kebangsawanan pada tahun 1915, tetapi ia mengembalikan gelar itu sebagai protes terhadap Pembantaian di Amritsar, di mana pasukan Inggris membunuh kurang lebih 400 orang demonstran India. Perannya sebagai seorang pembaharu reformasi politik yang menentang kolonialisme tidak terlalu menonjol dibandingkan reputasinya sebagai penyair. Sayang sekali.<br />
<br />
<i>Aku mengemis dari rumah ke rumah di jalanan desa </i><br />
<i>ketika kereta emasmu tampak dari kejauhan </i><br />
<i>seperti mimpi indah </i><br />
<i>dan aku bertanya-tanya siapakah raja diraja ini?</i><br />
<i><br /></i>
<i>Harapanku melesat tinggi </i><br />
<i>dan kukira kemalanganku akan berakhir,</i><br />
<i>dan aku berdiri menunggu pemberian dan kekayaan</i><br />
<i>yang bertebaran di setiap jejak kereta.</i><br />
<i><br /></i>
<i>Kereta kuda itu berhenti di hadapanku </i><br />
<i>dan engkau turun sambil tersenyum.</i><br />
<i>Aku merasa keberuntunganku akhirnya datang </i><br />
<i>Lalu, tiba-tiba engkau menjulurkan tangan dan berkata,</i><br />
<i>"Apa yang akan kau berikan kepadaku?” </i><br />
<i><br /></i>
<i>Ah betapa lucu lelucon menengadahkan tanganmu</i><br />
<i>kepada seorang pengemis untuk mengemis! </i><br />
<i>Aku bingung dan ragu,</i><br />
<i>kemudian perlahan-lahan </i><br />
<i>kukeluarkan sejumput biji jagung dari kantongku </i><br />
<i>dan kuberikan kepadamu</i><br />
<i><br /></i>
<i>Betapa terkejutnya aku,</i><br />
<i>ketika sore tiba aku mengosongkan kantongku</i><br />
<i>dan menemukan biji emas di antara tumpukan hasil mengemis.</i><br />
<i>Aku menangis pedih dan berharap</i><br />
<i>andai saja aku rela memberikan semua milikku kepadamu.</i><br />
<br />
- Rabindranath Tagore, dari<i> Gitanjali
</i><br />
<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1yc31c4oduUtqIeIX7BLio1fiePmqVZmQQxme6iwsng2faoaQjKMJR5PYrKf_U_-8X7oxmfv1DELQszLvrtPtmByDDTQMLKF0Uu0JJCGc-yglIKT7UOpmKCzhOihYHfRJdeZVrw/s1600/Untitled.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" height="256" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEi1yc31c4oduUtqIeIX7BLio1fiePmqVZmQQxme6iwsng2faoaQjKMJR5PYrKf_U_-8X7oxmfv1DELQszLvrtPtmByDDTQMLKF0Uu0JJCGc-yglIKT7UOpmKCzhOihYHfRJdeZVrw/s400/Untitled.jpg" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Tagore dan Gandhi<br />
<a href="http://www.harvardsquarelibrary.org/">pic from here</a></td></tr>
</tbody></table>
<span style="background-color: white; color: #222222; font-family: inherit; font-size: 12pt; line-height: 18.48px; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><i><br /></i></span>
<span style="background-color: white; color: #222222; font-family: inherit; font-size: 12pt; line-height: 18.48px; text-align: justify; text-indent: 36pt;"><i><br /></i></span>
<br />
<img alt="Image and video hosting by TinyPic" border="0" src="http://i26.tinypic.com/2yl3135.png" />Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-3782049557001408932015-12-15T21:50:00.000+07:002015-12-15T21:50:51.397+07:00Anak Ketiga, Melupakanmu Sekali Lagi<br />
Halo...<br />
<br />
Saya menulis ini malam-malam, sambil menunggu kantuk. Akhir-akhir ini, saya nggak bisa tidur. Entah kenapa. Bukan karena semacam firasat buruk, tetapi lebih cenderung pada kesalahan si benak yang berpikir terus. Susah disuruh off.<br />
<br />
Hikmahnya, saya akhirnya punya waktu menulis blog lagi.<br />
<br />
Ini posting pertama di akhir tahun. Nggak ada kabar personal tentang diri saya, kok. Nggak ada perkembangan apa-apa. Saya masih saya. Yang semakin sinis terhadap banyak hal (atau itu memang bawaan lahir), yang masih kecanduan ngetrip, masih kesal dengan berat badan yang turun naik kayak main yoyo, masih malas olahraga, dan... masih mencoba merampungkan utang-utang tulisan saya pada beberapa penerbit di sela-sela tidur-ngetrip-jadi babu rumah-main Instagram.<br />
<br />
Iya. Saya lebih sering curcol di Instagram sekarang. Bukan curcol galau, tapi nulis latar belakang perjalanan di setiap tempat yang saya singgahi.<br />
<br />
Oh iya, trip terakhir saya tahun ini adalah Malang, Bromo dan Madakaripura. Itu ketiga kalinya saya ke Bromo. Suka sekali gunung ini gara-gara savananya (berarti saya suka savana dink), dan Madakaripura adalah air terjun idaman saya sejak dulu, setelah saya tahu Gajahmada bertapa di sana dan moksa.<br />
<br />
Ini kenapa jadi random ya? Hahaha. Kan sebenarnya mau ceritain novel ketiga yang baru terbit bulan Oktober kemarin. Judulnya <i>Melupakanmu Sekali Lagi.</i> Bagian dari serial Love Cycle-nya GagasMedia.<br />
<br />
Novel ini temanya Patah Hati. Tapi bukan patah hati yang termehek-mehek gitu. Ini tentang gimana caranya melanjutkan hidup dan petualangan mencari jati diri.<br />
<br />
Selain novel Melupakanmu Sekali Lagi, sebelumnya saya ikutan menulis cerpen untuk buku Glenn Fredly 20. Itu adalah buku kumpulan cerpen dari penulis-penulis GagasMedia, dalam rangka memperingati 20 tahun Glenn Fredly berkarya. Cerpen saya di buku itu berjudul: <i>Ketika Hujan Pagi Itu.</i><br />
<br />
Di postingan habis ini, nanti saya ceritain lengkap tentang proses menulis <i>Melupakanmu Sekali Lagi</i>, ya, Sekarang segitu dulu.<br />
Cuma buat laporan aja, gitu. Hahaha,<br />
Ini akhirnya kantuk datang. Bye bye. Doakan semoga mood saya untuk ngeblog akhirnya bergelora lagi.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjuK1iKyv2tXkmsIbRjeBiJAiLSRakOUMo_iRPoe1nV1nqqqPphKTzS9Hb7tuWEZM_s4Xx9lVCkFxiQ81W32b9xx_B-sI30LoRCM-jJ-B3OmpbiQGGqPg0YEuwdHsn99wGJ_BtAQw/s1600/11850317_1647165652227565_66644183_n.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjuK1iKyv2tXkmsIbRjeBiJAiLSRakOUMo_iRPoe1nV1nqqqPphKTzS9Hb7tuWEZM_s4Xx9lVCkFxiQ81W32b9xx_B-sI30LoRCM-jJ-B3OmpbiQGGqPg0YEuwdHsn99wGJ_BtAQw/s1600/11850317_1647165652227565_66644183_n.jpg" /></a></div>
<br />
<img alt="Image and video hosting by TinyPic" border="0" src="http://i26.tinypic.com/2yl3135.png" />Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com18tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-39456006562707341942015-05-29T18:30:00.000+07:002015-05-29T19:49:56.278+07:00The Broken Journey - Finale<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1q-XVD_ufSFxs9_zWjupGQ7KKt63wnLmjglLshzNyRlLFbOiYj-M2pyj4uFvXzbBEWW1DJuOPQDDEDAeQU6fWz6NVt-IVAMO9fwOPzImf2uh4qgwOF8lDGi0QVstkn5yIOdpmPA/s1600/The-Broken-Journey.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg1q-XVD_ufSFxs9_zWjupGQ7KKt63wnLmjglLshzNyRlLFbOiYj-M2pyj4uFvXzbBEWW1DJuOPQDDEDAeQU6fWz6NVt-IVAMO9fwOPzImf2uh4qgwOF8lDGi0QVstkn5yIOdpmPA/s320/The-Broken-Journey.jpg" width="312" /></a></div>
<br />
<br />
<i>Lanjutan cerita dari Ramayoga (@ramadepp) di blog: <a href="http://www.klikrama.com/">www.klikrama.com</a></i><br />
<br />
<br />
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<b><span style="font-family: inherit;">Game Over<o:p></o:p></span></b></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="line-height: 16.7pt;"><span style="font-family: inherit;">“Kalian gagal.” Aku bangkit dari kursiku, seraya menatap mereka dengan tajam. Tanganku bersidekap di depan dada. Sementara, orang-orang yang kutatap tengah berdiri sambil menunduk lesu.</span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">“Maaf, Komandan. Semua ini salah saya.” Lelaki muda berambut ikal acak-acakan yang berdiri di ujung paling kiri menyahut. Wajahnya sekusut pakaian yang dikenakannya. Mereka semua belum sempat berganti pakaian ketika diperintahkan untuk langsung menghadapku.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">“Ya. Terutama ini salahmu,” sergahku dingin. “Kau yang memimpin. Seharusnya kau bisa mengarahkan timmu untuk memecahkan masalah. Sejak hari pertama, kalian sudah ceroboh. Selalu ceroboh.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">Perempuan muda yang berdiri di sebelah pemimpin mereka terdengar menahan isak. Matanya sembab bekas menangis. Kulihat kakinya yang terluka sempat dibebat oleh tim medis sebelum menemuiku.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">“Kalian melibatkan emosi dan masalah pribadi,” ujarku kesal. “Mila, kalau kau masih terus dibayangi kehilangan adikmu, maka kau tidak mungkin bisa melanjutkan misi ini. Kau juga, Hanif. Kau senang menyalahkan diri sendiri, alih-alih mencari solusi.” Aku mendesah dan menoleh pada dua orang lainnya–seorang perempuan muda yang tampak kesal dan seorang lelaki muda bertubuh jangkung. “Rama, saya mengandalkanmu menguji konsentrasi Mega. Saya ingin tahu sejauh mana dia bisa bertahan. Tadinya, saya juga berharap kamu berhasil mencari pertolongan.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">“Saya bisa seandainya masih ada waktu dalam Simulator, Komandan.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">“Kamu tidak fokus,” kecamku. “Helikopternya lewat begitu saja. Padahal kalian bisa membuat isyarat asap atau mencari bagian hutan yang terlihat jelas dari atas.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">Rama mengangguk. Ia menoleh pada Mega. Ada sesuatu di matanya, yang membuatku menyadari, apa pun yang terjadi di antara mereka berdua di dunia buatan, tampaknya bukan sekedar simulasi.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">“Komandan, bagaimana... nasib adik saya?” Tiba-tiba, Mila bertanya dengan terbata-bata.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">“Sekar?” Aku meliriknya. Ia mengangguk. “Bukankah adikmu tak pernah ditemukan saat kalian tersesat di hutan, lima tahun yang lalu?”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">Ia menggeleng. Matanya membelalak panik. “Dia tidak meninggal! Dia masih hidup!”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">Aku menekan lencana perak di kerah bajuku. Pintu ruang kantorku bergeser. Seorang anak perempuan dengan pakaian yang juga lusuh berjalan masuk. Ia mengangguk padaku, lalu berdiri di sebelahku. “Ini Gita. Dia yang bersama kalian di Earth Simulator, untuk menguji Mila.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">“Tapi saya bersama Sekar!” Mila berseru kencang. “Saya melihatnya, mendengar suaranya, memeluknya! Sekar masih hidup!”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">“Sekar masih hidup dalam duniamu sendiri, Mila,” tukasku. “Imajinasimu yang mengubah Gita menjadi Sekar. Gita adalah Pemicu, untuk mengulang apa yang terjadi padamu dan adikmu lima tahun lalu. Kalian membiarkan Gita terlantar di hutan, karena tenggelam dalam persoalan pribadi kalian sendiri.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">“Ti… tidak mungkin.” Mila terhuyung. Hanif menangkap tubuhnya, menahannya agar tak terjatuh.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">Aku mendesah. Tim macam apa ini? Apakah sebagai komandan Divisi Eksplorasi aku telah salah memilih orang-orang untuk menjalankan misi penting ini? Padahal, aku sudah memeriksa hasil tes mereka secara menyeluruh. Sepertinya, ada faktor X yang luput kuperhitungkan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">“Tim ini dibubarkan,” aku memutuskan. “Simulasi kalian tidak memuaskan. Sangat berbahaya jika saya tetap menerjunkan kalian dalam misi Koloni. Kalian boleh kembali ke asrama sekarang.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">Mereka mengangguk lesu. Memberi hormat padaku, sebelum akhirnya satu demi satu beranjak menuju pintu keluar.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">Hari ini, tanggal 29 Mei 2115. Kami tinggal di Koloni Pegasus, Planet Mars. Pemerintah Koloni sedang menyusun misi untuk kembali ke Bumi, sejak ditinggalkan manusia seratus tahun lalu, karena dihancurkan perang nuklir. Para ilmuwan mendapatkan data terbaru, kondisi Bumi telah pulih. Kami berencana membangun kembali planet itu.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">Aku menghela napas. Baiklah. Sudah saatnya membentuk tim baru.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;">___________________</span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt;"><span style="font-family: inherit;"><br /></span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: inherit;"><span style="font-size: 12pt;">Ditulis sebagai bagian dari Cerita Berantai </span><span style="font-size: 16px; line-height: 22.2666664123535px;">#TimPatahHati. #</span><span style="font-size: 12pt; line-height: 16.7pt;">LoveCycle GagasMedia </span></span></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<b>Pelengkap cerita, sila klik:</b></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
Instagram: the_broken_journey</div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
Soundcloud playlist: <a href="https://soundcloud.com/user555140903/sets/the-broken-journey-soundtrack">The Broken Journey</a></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal" style="background: white; line-height: 16.7pt; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<br />
<img alt="Image and video hosting by TinyPic" border="0" src="http://i26.tinypic.com/2yl3135.png" />Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-35133146023353316062015-04-28T23:15:00.001+07:002015-04-28T23:22:22.671+07:00Nyalakan Lampu di Lampegan<div dir="ltr">
Sebuah terowongan. Tidak cukup besar. Temaram, dingin, dan memanggil-manggil untuk ditelusuri. Tetapi, saya bergeming saja. Bertahan hanya beberapa meter dari mulutnya.</div>
<div dir="ltr">
Masih ada sisa bau asap dan bahan bakar, yang menguar dari bebatuan dan rel besinya yang licin.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Kereta terakhir sudah lama lewat.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Stasiun Lampegan di Cianjur akhirnya saya datangi. Satu lokasi <i>heritage</i>, tidak jauh dari desa di mana Gunung Padang berada. Kami mampir dulu ke Lampegan, sebelum menuju Gunung Padang. Menyempatkan diri melihat terowongan kereta api kuno itu dan membayangkan sejarahnya.</div>
<div dir="ltr">
Tidak ada guide di sana. Sayang sekali.</div>
<div dir="ltr">
<br>
Stasiun itu memang masih berfungsi, meski hanya untuk satu kereta api dengan rute Sukabumi-Cianjur dan sebaliknya. </div>
<div dir="ltr">
Stasiunnya bersih. Sudah tertata dengan cat baru dan pot-pot tanaman hias. Terowongannya juga bersih. Mulutnya juga dicat. Mungkin, karena stasiun ini sering dikunjungi peminat sejarah, sehingga mereka berbenah. </div>
<div dir="ltr">
Lampegan memang mendapat perhatian pemerintah. Setelah sempat runtuh di beberapa bagian pada tahun 2001, stasiun ini dibuka kembali dan difungsikan tahun 2010, dengan peresmian oleh Presiden SBY.<br>
<br>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;"><span style="font-family: inherit;">Terowongan Lampegan dibangun oleh perusahaan kereta api <i>Staats Spoorwegen</i>, pada periode 1879 - 1882. Tahun tersebut tertulis di pintu atas liang terowongan. Sementara itu, ada beberapa pendapat tentang asal kata "Lampegan". Ada yang mengatakan, berasal dari bahasa Belanda ketika masinis kereta melewati terowongan yang gelap dan menyuruh anak buahnya menyalakan lampu. <i>"Lampen aan! Lampen aan!"</i></span></span><br>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;">Ada juga, yang mengatakan berasal dari perkataan van Beckman, mandor Belanda yang mengawasi pembangunan terowongan. Saat memeriksa dalam terowongan, ia menyuruh anak buahnya memegangkan lampu. "<i>Lamp </i>pegang!" </span><br>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;"><br></span>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;"><i>Lamp</i> dalam bahasa Belanda berarti lampu, <i>by the way</i> :D</span><br>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;"><br></span>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;">Jadi, seperti saya bilang, saya tidak masuk terlalu dalam. Tidak sempat menemukan ceruk di dinding untuk menepi ketika kereta api lewat sementara kita tengah berada di terowongan. Saya benar-benar nggak berminat menelusur, karena hawa di dalam dingin dan berangin.</span><br>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;">Julie dan Adit ada di depan saya, mencoba berjalan sambil menjaga keseimbangan di atas besi rel. Setelah memotret kaki-kaki mereka, saya memanggil mereka untuk keluar.</span><br>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;"><br></span>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;">"Udah, yuk!"</span><br>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;">Adit, seperti biasa, paling sudah diajak sudahan. Padahal, saat itu dialah yang saya khawatirkan. Ia masih sibuk mengutak-atik kameranya. Saya kepengin dia segera pergi ke tempat terang.</span><br>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;">"Adit!"</span><br>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;">"Iya, iya, bentar, Mbak. Kayaknya batere kameraku low ni..."</span><br>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;"><br></span>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;">Di Stasiun Lampegan, masih ada rumah lama yang sepertinya dulu adalah rumah dinas kepala stasiun. Rumah itu sekarang kosong, meski telah direnovasi dan dicat ulang. Tak jauh darinya ada lingkaran dengan bekas tiang, terbuat dari baja. Mirip semacam tuas atau penggerak.</span><br>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;">Kata Aries, kemungkinan itu adalah semacam alat penggeser rel jika lokomotif akan langsir.</span><br>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;"><br></span>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;">Rombongan kami tidak terlalu lama berada di stasiun ini, karena masih harus ke Gunung Padanng. Maka, kami pun segera kembali ke mobil, untuk meneruskan perjalanan yang sudah dekat. </span><br>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;"><br></span>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;">Belakangan, setelah saya kembali ke rumah, seorang teman asal Cianjur bercerita tentang sebuah kisah tentang terowongan itu.</span><br>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;"><br></span>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;"><span style="font-family: inherit;">Menurut kisah yang turun temurun di kalangan penduduk setempat, pada tahun 1882, terowongan Lampegan selesai dibangun. Untuk meresmikannya, Belanda mengadakan pesta dan mengundang penari ronggeng terkenal pada masa itu, Nyi Sadea.</span></span><br>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;"><span style="font-family: inherit;"><br></span></span>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;"><span style="font-family: inherit;">Pertunjukan usai menjelang dini hari, Nyi Sadea pulang diantar seorang lelaki melalui terowongan yang baru resmi itu, Konon, sejak itu keberadaanya tidak diketahui. Nyi Sadea tidak pernah kembali ke rumah. Penduduk setempat menganggap Nyi Sadea sudah diperistri oleh penunggu terowongan.</span></span><br>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;"><span style="font-family: inherit;"><br></span></span>
<span style="background-color: white; line-height: 20px;">Wallahu alam ya. Namanya juga mitos penduduk. Yang jelas, buat peggemar kereta api, terowongan Lampegan bisa untuk belajar perkereta apian.</span><br></div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6JRN2ycL-WT7d34TQmlnZ2tAA70al5OTAt1w0GpVAyl0U1vHJIAjW2gXtRCmalTCedbOnNkXYWGdP366eg9fPMi9xTXWF8bBNAIsxC3q91e_nJy7sZmf3dekaQBr-LdAQdLLSKg/s1600/2015-04-24%25252006.07.55%2525201.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"> <img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg6JRN2ycL-WT7d34TQmlnZ2tAA70al5OTAt1w0GpVAyl0U1vHJIAjW2gXtRCmalTCedbOnNkXYWGdP366eg9fPMi9xTXWF8bBNAIsxC3q91e_nJy7sZmf3dekaQBr-LdAQdLLSKg/s320/2015-04-24%25252006.07.55%2525201.jpg"> </a> </div>Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-48933414706931577562015-04-22T22:17:00.001+07:002015-04-27T20:38:21.199+07:00Kabut di Puncak Bukit Leluhur<div dir="ltr">
Hujan rintik-rintik yang tadi membuat kami terpaksa berteduh di warung, akhirnya berhenti. Saya memberanikan diri keluar dari warung, sementara teman-teman masih duduk mengobrol riuh rendah. </div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Benar, hujan berhenti. Namun langit yang tadi cerah saat kami baru tiba kini mendung.</div>
<div dir="ltr">
Ayo menjelajah lagi, kata saya dalam hati. Melangkah memasuki area pemujaan kuno itu. Saya masih harus melihat banyak, memotret banyak, mempelajari banyak.</div>
<div dir="ltr">
Beberapa teman seperjalanan diam-diam mengikuti saya di belakang.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Tetiba, angin dingin berhembus kencang dan segumpal asap dingin melayang di atas kepala. Semakin lama semakin tebal. Membawa titik-titik air. Kabut! Seru saya. Ini kabut! <br />
Saya tak mengira akan datang kabut. Dan tahukah kalian seperti apa kabut yang datang itu? Ia tebal, pekat, dingin dan basah. Seperti selimut yang memerangkap tanpa bisa dilepas. Sekeliling kami mendadak gelap dan tampak menyeramkan. Saya merasa sedang terjebak dalam sebuah film horor.</div>
<div dir="ltr">
"Ayo kita foto rame-rame!" Teman-teman berseru gembira. Sama sekali tak merasa takut. Saya merasa lega. Setidaknya, mereka tidak melihat apa yang saya lihat bermunculan dari balik kabut.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
......</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Siang itu, kami berada di atas sebuah bukit yang sebenarnya adalah punden berundak zaman nenek moyang. Kami mengunjungi Gunung Padang, Cianjur. Situs megalitikum terbesar di Asia Tenggara. </div>
<div dir="ltr">
Sudah lama saya kepengin ke sini. Tahu kan, saya ini si Reina yang suka banget arkeologi. Syukurlah akhirnya kesampaian juga, setelah berhasil membujuk Julie untuk merancang open trip ke tempat ini. Waktu tahu kami mau pergi ke Gunung Padang, teman termuda dalam grup kami-Adit-kepengin ikut juga. Senanglah hati karena banyak teman. </div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Tempat ini persis seperti yang saya bayangkan dan saya baca di internet. Bukit dengan anak tangga curam dan terjal dari susunan bebatuan tanpa semen (untungnya sekarang ada besi susuran tangga), teras-teras berundak, dan batu-batu hitam andesit dengan bentuk <i>columnar jointed</i> (pasak tegak) berserakan dan bertumpukan, sebagian lagi tampak membentuk formasi tertentu.</div>
<div dir="ltr">
Ketika yang lain mengerumuni guide yang mengantar kami ke atas, saya berkeliling di teras pertama untuk melihat-lihat dan mengambil foto. Alam di sekitar bukit sangat indah, sungguh. Ada beberapa bukit lain di sekitar Punden Berundak Gunung Padang. Konon, di bukit-bukit itu juga ditemukan artefak-artefak yang mirip dengan artefak di Gunung Padang. Ada punden berundak lebih kecil, juga <i>columnar jointed </i>yang serupa.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Saya berkeliling sendiri, tak mempedulikan orang-orang. Tapi masih sempat sih menyuruh si Juleha alias Julie pasang aksi buat difoto. Dia ini model saya (selain Ricky), dalam setiap perjalanan grup traveling kami. Adit juga saya suruh bergaya bak model. Saya suka ekspresi ala anak SMA-nya. Culun, polos, dan setengah bingung. Hahahaha.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Keindahan seluruh situs pemujaan ini baru tampak jelas ketika saya naik ke Teras Tiga. Teras ini ditandai dengan sebuah pohon tua (saya lupa tanya pohon apa). Pohon ini mungkin juga beringin, menilik akarnya yang bertonjolan dari dalam tanah, mencengkeram bebatuan di sekitarnya. </div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Berdiri membelakangi pohon ini, akan tampak seluruh teras pertama di bawahnya. Tampak susunan batu-batu kuno membentuk segi panjang, yang menurut guide kami adalah tempat mementaskan ritual kesenian. Di luar formasi batu itu, tepat menghadap ke depan ada dua buah batu memanjang yang jika dipukul dengan batu lagi berdenting seperti bunyi gamelan dan memiliki nada. Batu itu mengandung besi, kata Pak Guide. Dulunya berfungsi sebagai alat musik.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Jadi, saya berdiri di situ. Memejamkan mata. Mencoba membayangkan apa yang dulu terjadi. Sekumpulan orang menari, dua orang menabuh batu, dan yang lain menonton. Saya rasa, mungkin ada raja dan para pendeta.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Di Teras Tiga sampai Teras Lima, kami menemukan batu-batu pasak tegak berserakan. Ada yang rebah tapi masih menampakkan formasi sesuatu, ada yang berlubang disebut Batu Tapak Macan (karena ada lekukan seperti telapak macan), yang mitosnya bekas duduk seorang petapa sakti. Ada sisa-sisa jalan setapak dan lantai batu, lalu guide menunjukkan kepada saya sepetak tanah di tepi Teras Lima yang tampak baru saja diratakan, ketika saya menanyakan bekas eskavasi yang dilakukan arkeolog di tempat itu.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
"Apa yang ada di dalam, Mang?" Tanya saya.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Kata guide kami, di bawah sana ditemukan susunan batu andesit lain. Semacam lorong atau apalah, yang usianya jauh lebih tua dari artefak di atasnya. Uji karbonnya dilakukan di Miami, Amerika, katanya. Setelah itu lubang eskavasi ditimbun kembali, sampai penelitian lanjutan ditetapkan.</div>
<div dir="ltr">
Gunung Padang diyakini sebagai tempat pemujaan dan berkumpulnya para tetua adat Sunda kuno. Tapi umurnya jauuuh sangat tua dari peradaban Sunda yang kita kenal sekarang. Para arkeolog itu memperkirakan punden berundak ini sudah ada antara periode 2.500-4.000 SM. Tapi batuannya berusia 4.000-9.000 SM. <br />
Artinya, situs ini lebih dulu ada 2.800 tahun sebelum Borobudur, dan lebih tua dari Machu Picchu di Peru.</div>
<div dir="ltr">
Diduga sezaman dengan piramida Giza di Mesir. Huwow!</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Pokoknya situs ini keren banget, buat yang tergila-gila sama arkeologi kayak saya. Bisa belajar tentang arkeologi, tentang benda purbakala, tentang kebudayaan leluhur</div>
<div dir="ltr">
.</div>
<div dir="ltr">
Sayangnya, zaman kekinian gini, traveler-traveler muda nggak banyak yang niat mengenal sejarah. Banyak anak muda traveling cuma buat numpang foto-foto di tempat bagus, lalu diunggah ke sosial media. Buat pamer kalau udah pernah ke sana ke sini.</div>
<div dir="ltr">
<i><br /></i></div>
<div dir="ltr">
<i><br /></i></div>
<div dir="ltr">
<i>Cih! Kayak lo nggak upload aja, No!</i><br />
<i>Iye, gue juga suka upload di Instagram. Tapi tujuan gue buat ngenalin keindahan Indonesia ke </i><i>dunia. Makanyaaa, captionnya pake bahasa Inggris, sampe gue dibilang sok gaya. </i><br />
<i><br /></i></div>
<div dir="ltr">
Soriii kalau saya agak sinis. Tapi memang begitu kenyataannya. Beberapa kali saya traveling, di tempat wisata yang saya datangi, mayoritas orang cuma datang untuk numpang foto dan selfie. Nggak ngerti konservasi, nggak paham sejarah lokasi, nggak peduli soal sanitasi.<br />
Nggak heran kalau banyak gunung dan cagar alam berubah jadi tempat konser (karena berisik) dan sekotor TPA Bantar Gebang</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
.......</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Saya sedang mengamati sebuah lantai batu di Teras Tiga. Tiba-tiba angin basah berkesiur di sekitar. Kabut kembali datang, kali ini lebih tebal, kelabu dan membawa titik air yang lebih rapat. Dingin dan menggigilkan.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Kali ini, teman-teman saya mulai beranjak satu per satu. Lalu seperti ada yang memberi komando meninggalkan teras-teras atas.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
"Pulang, pulang! Keburu hujan!"</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Mereka turun menyusuri tepi bukit, menuruni tangga semen yang berbeda dengan tangga batu untuk naik.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Saya dan Adit masih berdiri sejenak di tengah kabut. Tempat itu berubah, terasa lebih magis. Kabut membawa bunyi-bunyian dari masa lalu, dari ribuan tahun sebelum saya lahir di sebuah lereng gunung api purba yang kini menjadi sebuah kota bernama Bandung.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
<i>Di dieu asal muasal sakabeh anjeun. Di dieu awal kahirupan.</i><br />
(Di sini asal mula kalian semua. Di sini awal kehidupan)</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Pohon tua itu seakan berbisik. Menyuarakan pesan para leluhur.</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
"Adit, ayo pergi." Saya menggapai lengannya. Ia masih saja berdiri mematung menatap teras bawah di tengah kabut. Di tangannya,<i> action camera</i>-nya dalam keadaan merekam. "Adit!"<br />
"Ya, Mbak?"<br />
"Ayo! Bantuin jalan, ya. Aku lupa nggak pake kacamata".</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Kami berdua turun beriringan. Di belakang saya ada Eva, Aldi, dan Aries, yang akhirnya juga turun setelah keasyikan memotret artefak (Aries peminat sejarah juga).</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Kabut tidak mengikuti kami. Ia bergulung-gulung di puncak punden berundak kuno itu, seolah melindungi tempat itu dari mata manusia.</div>
<div dir="ltr">
Ada yang berdiri di bawah pohon besar, menatap lurus ke kejauhan. Sosoknya tak jelas, tetapi tampaknya seorang pria.<br />
Mungkin tadi dia yang berbisik itu. Leluhur.<br />
<br /></div>
<div dir="ltr">
......</div>
<div dir="ltr">
<br />
<b>FAKTA GUNUNG PADANG, CIANJUR</b></div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div dir="ltr">
Lokasi: Desa Karyamukti, Kec. Campaka, Kab. Cianjur.<br />
<br /></div>
<div dir="ltr">
Ketinggian: 885 mdpl<br />
<br /></div>
<div dir="ltr">
Luas: bangunan purbakala 900 m2, areal 3 ha. Tetapi diperkirakan areal sebenarnya meliputi 25 ha.</div>
<div dir="ltr">
<br />
Jenis batuan: andesit, basaltik, basal.<br />
<br /></div>
<div dir="ltr">
Arti kata padang: padang = terang, atau bisa juga dari kata padahyang = tempat agung para leluhur.</div>
<div dir="ltr">
<br />
Mitos setempat: reruntuhan dan artefak yang ada di sana adalah peninggalan Prabu Siliwangi yang gagal membangun istana dalam semalam.</div>
<div dir="ltr">
<br />
Laporan tentang keberadaan situs: dokumen penelitian arkeolog Belanda tahun 1914. Tahun 1979, dilaporkan lagi oleh penduduk setempat ke pemerintah setempat.</div>
<div dir="ltr">
<br />
Tiket masuk: Rp 4.500/orang, parkir mobil Rp 10.000</div>
<div dir="ltr">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUMNFGaqRzLw5KVtjKPOxq0_9APcGaSPlgfbV71sA4HkcGs1YO7ovYj3TCUrGbDsAoByabatGuPLzsfdmATOIanKdi9ROdbhqYkroyVBY8NXyrjrltVfkEokG0zPVzlTB5GMnv0A/s320/P1014436.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto;" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Pemandangan dari Teras Tiga</td></tr>
</tbody></table>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhUMNFGaqRzLw5KVtjKPOxq0_9APcGaSPlgfbV71sA4HkcGs1YO7ovYj3TCUrGbDsAoByabatGuPLzsfdmATOIanKdi9ROdbhqYkroyVBY8NXyrjrltVfkEokG0zPVzlTB5GMnv0A/s1600/P1014436.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"> </a> </div>
Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-86777856505648224542015-03-13T18:59:00.000+07:002015-03-13T19:04:26.489+07:00Mengenangmu Sebentar<br />
Sore ini hujan. Listrik padam. Aku duduk di sini, dalam temaram kamar yang hampa cahaya.<br />
Apa kabar, Sayang?<br />
<br />
Akhir-akhir ini, hidupku seperti roda. Menggelinding tanpa henti. Sepanjang waktu, selama jalan membentang sampai ke kejauhan.<br />
Aku pergi ke mana saja aku bisa. Aku bahkan naik gunung lagi. Kau percaya itu? Aku sudah berhenti melakukannya sejak lulus kuliah, lama berselang. Fisikku tidak sekuat tekadku sejak aku masih kecil. Aku mungkin senang main bola dan memanjat pohon seperti anak lelaki, tetapi bukan berarti aku tidak pernah jatuh. Sering.<br />
<br />
Aku sedang mencoba menguatkan diriku, Sayang. Mengembalikan diriku lagi seperti dulu, sebelum kau ada.<br />
Kepergianmu mengoyak diriku menjadi jutaan serpihan, yang kukira tak bisa lagi direkat menjadi utuh.<br />
Serpihan-serpihan itu akan menjadi bubuk yang berhamburan terbang tertiup angin, jika aku tak segera memungutinya satu per satu, meskipun itu mustahil.<br />
<br />
Maka, kuputuskan untuk berjalan, menyusuri tepian dunia. Mencari setiap serpihan yang tercecer itu, memungutnya, memeluknya dalam dekapan agar terlindung dari badai kenangan, yang selalu mengincar berputar-putar di sekelilingku. Tentu saja kau tahu aku. Aku tidak mudah menyerah hanya karena badai picisan. Dan di sinilah aku sekarang, Sayang. Masih di tengah perjalanan, tetapi kuputuskan untuk berhenti sejenak.<br />
<br />
Aku ingin mengenangmu sebentar. Merindukanmu sungguh menyakitkan.<br />
Seluruh diriku yang telah hampa terisi lagi penuh oleh emosi. Datang begitu deras, seolah hendak menghanyutkan diriku dalam sungai berair gelap.<br />
<br />
Apakah kau senang bermain di sana? Aku membayangkan kau sedang duduk memandangiku dari tepi awan-awan senja di luar jendela. Lihat, aku melambaikan tanganku. Kau lihat? Apakah saat ini kau tengah tersenyum lebar dengan mata berbinar?<br />
Maafkan aku tak bisa memelukmu saat ini. Aku ingin sekali, tetapi belum saatnya bagi kita untuk itu. Aku memelukmu dengan doa, Sayang. Dan doakanlah juga aku.<br />
<br />
Aku akan melanjutkan perjalananku lagi. Di jalan yang membentang sampai entah di mana.<br />
Di ujungnya kita akan bertemu.<br />
Ambillah rumah yang bagus di sana. Dan berikan satu kamar saja untukku. Kecil pun tak mengapa, tetapi letakkan di sebelah kamarmu. Agar aku bisa masuk diam-diam, dan memandangimu saat terlelap.<br />
Sesuatu yang sangat ingin kulakukan sekarang, tetapi tak bisa.<br />
<br />
Langit sudah gelap. Aku harus berjalan lagi, Sayang. Masih banyak serpihan yang harus kucari di luar sana.<br />
Bermainlah dengan gembira. Dan jangan nakal, ya.<br />
<br />
<br />
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: large;">A thousand words won't bring you back</span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: large;">I know because I've tried</span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: large;">Neither will a thousand tears</span></div>
<div style="text-align: center;">
<span style="font-size: large;">I know because I've cried</span></div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<div style="text-align: center;">
-Kily Dunbar</div>
<div style="text-align: center;">
<br /></div>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj6IN2VO__6fh9bk2BNcPz7tBISlss8f-DLlNqsEoDO9lEO1Jqs-NB-xResg4aPRb8BkgItX5wv82hayFo9I8vVidLfmrgJRXJXLqelc-6KYkMeQBpa3cZ_xM5NBUtFcOqtN7HQCg/s1600/sad.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj6IN2VO__6fh9bk2BNcPz7tBISlss8f-DLlNqsEoDO9lEO1Jqs-NB-xResg4aPRb8BkgItX5wv82hayFo9I8vVidLfmrgJRXJXLqelc-6KYkMeQBpa3cZ_xM5NBUtFcOqtN7HQCg/s1600/sad.jpg" height="286" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">pic from <a href="http://scopeblog.stanford.edu/">here</a></td></tr>
</tbody></table>
<span style="border: 0px; font-family: Nunito, Helvetica, sans-serif; font-size: 16px; line-height: 22px; margin: 0px; outline: 0px; padding: 0px; vertical-align: baseline;"><br /></span>
<br />
<img alt="Image and video hosting by TinyPic" border="0" src="http://i26.tinypic.com/2yl3135.png" />Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-48849203775148727122015-03-08T09:21:00.000+07:002015-03-08T09:21:33.041+07:00Setelah MengembaraHei...<br />
<br />
Apa kabar?<br />
Tolong jangan merasa ditinggalkan. Saya tidak akan melakukannya, karena saya tahu seperti apa rasanya ditinggalkan itu.<br />
Saya hanya sedang sibuk menata hidup. Menjadikan diri saya utuh lagi seperti dulu.<br />
Tidak usah bertanya apakah saya berhasil atau tidak.<br />
Tapi nyatanya, saya tetap hidup dan baik-baik saja.<br />
<br />
Saya masih menulis. Tapi tidak di sini. Beberapa draft dan outline menumpuk di folder Scarlett, laptop saya. Saya menulis di sela-sela perjalanan saya dengan teman-teman baru.<br />
Ya, teman-teman saya sekarang adalah para pejalan. Seperti saya, mengukur jarak bumi dengan langkah-langkah semampu yang bisa terjangkau.<br />
Seperti kata novelis kesukaan saya, si pencipta Lord of The Ring, J.R.R. Tolkien:<br />
<i><b>Little by little, one travels far.</b></i><br />
<i><b><br /></b></i>
Tentu saja itu bukan berarti teman-teman yang lain saya lupakan. Semua orang selalu ada di hati saya. Selalu saya rindukan. Duh. Seandainya saja saya bisa membagi diri saya seperti amuba, untuk selalu keep in touch dengan semua orang...<br />
<br />
Mungkin, saya akan menulis lagi di sini besok atau lusa. Saat ini, ada satu naskah cerita pendek yang harus saya selesaikan sebelum deadline.<br />
<br />
Nanti akan saya ceritakan tentang proyek cerpen ini.<br />
<br />
Jadi, apa kabar?<br />
Semoga semuanya baik-baik saja seperti saya.<br />
<br />
<br />
Kiss kiss,<br />
- E -<br />
<i><b><br /></b></i>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUVKXGyGqXbDcagpc8oVs7aynzZj_Hzv_d_dqRm_s4u4XxGPzkTc8U0SW_yspLR_sft7vJDb7kgqdq-MiSKB59-whf3TRon6L4eMC86MNswR617CDJOWwdahvedUKZoKu1pTuivw/s1600/tumblr_m0kvohm5_DI1qho97ro1_1280_686x350.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUVKXGyGqXbDcagpc8oVs7aynzZj_Hzv_d_dqRm_s4u4XxGPzkTc8U0SW_yspLR_sft7vJDb7kgqdq-MiSKB59-whf3TRon6L4eMC86MNswR617CDJOWwdahvedUKZoKu1pTuivw/s1600/tumblr_m0kvohm5_DI1qho97ro1_1280_686x350.jpg" height="203" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">pic from <a href="http://www.wanderlustdaily.com/">here</a></td></tr>
</tbody></table>
<br />
<img alt="Image and video hosting by TinyPic" border="0" src="http://i26.tinypic.com/2yl3135.png" />Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-38429089482437090282014-12-07T11:05:00.001+07:002014-12-07T11:05:43.204+07:00[Project Dawn ] Revisi<p dir=ltr>Hai!</p>
<p dir=ltr>Get Lost Journey Part 3, ditunda dulu ya. Saya lagi mau cerita tentang perkembangan draft.</p>
<p dir=ltr>Ini hari kelima saya mangkal di sofa ruang tamu.<br>
Draft Project Dawn saya sudah selesai diperiksa editor, dan dikembalikan dengan beberapa catatan untuk revisi.</p>
<p dir=ltr>Revisi, sodara-sodari! </p>
<p dir=ltr>Baru kali ini saya diminta merevisi draft. Soalnya biasanya storyline saya sederhana, jadi plotnya nggak aneh-aneh. Nah, draft kali ini memang agak complicated.</p>
<p dir=ltr>Bukannya saya tidak senang.<br>
Senang, tahu!<br>
Apa lagi waktu tahu yang mengedit kali ini bukan cuma Iwied, tapi juga Gita. Dua-duanya adalah orang-orang yang gaya tulisannya saya sukai sejak pertama kali kami bertemu di dunia maya sebagai blogger.<br>
Boleh dong bangga, bahwa draft saya kali ini 'diurusi' teman-teman bermain kata yang sudah lama saya kenal. Semoga hasilnya nanti lebih memuaskan dari novel-novel saya sebelumnya.</p>
<p dir=ltr>Dan revisinya?<br>
Hahahahahahaha... fyuh!<br>
Mereka memang teliti banget ye. Rasa bangga dan senang saya bercampur dengan kepanikan. Soalnya, hasil diskusi menghasilkan keputusan untuk memundurkan setting waktu ke masa 25 tahun yang lalu.</p>
<p dir=ltr>Duh, tolong.<br>
Saya kan belum lahir! *kibas poni*<br>
Hihihihi.</p>
<p dir=ltr>Jadilah, alih-alih menulis, kemarin saya menggalau cari lokasi baru. Mana bukan di Jakarta pulak. Kalau Jakarta sih saya nggak akan galau. Wong saya orang situ.<br>
Ini settingnya di Surabaya, kakak. Meneketehe Surabaya 25 tahun lalu kayak apa. Saya akhirnya sibuk chatting sana-sini dengan teman-teman asli Surabaya untuk menggali informasi set lokasi.</p>
<p dir=ltr>Dapat.<br>
Malah bukan dari orang Surabaya asli, tapi dari teman penulis asal Situbondo, Helga Rif. Hahahaha.</p>
<p dir=ltr>Jadi, saya cerita di BBM lagi cari lokasi di Surabaya yang sudah ada sejak 25 tahun lalu. <br>
Tiba-tiba dia nyerocos aja tentang sebuah taman bermain tempat dia dulu liburan waktu masih kecil-dari Situbondo ke Surabaya.<br>
Nggak nyangka, teman saya yang penulis-atlet penembak-peragawati-pengajar ini dulunya bolang. Bocah petualang.</p>
<p dir=ltr>Saya suka tempat yang dia ceritakan itu. It's such a romantic place untuk.ukuran akhir tahun 80-an. Saya harus riset lagi tentu saja. <br>
Inilah bagian dari menulis yang paling krusial menurut saya.<br>
Riset itu penting. Berkaitan dengan plot, karakter, adegan, dialog, gaya hidup, dan logika. </p>
<p dir=ltr>Menulis tanpa riset, sekecil apapun adalah nonsense.</p>
<p dir=ltr>Kemudian, sekarang muncul kegalauan baru. Alih-alih mencari data di internet, saya kepengin datang sendiri ke tempat itu untuk riset. Tapi waktunya mepet sekali. <br>
Duh, bingung.</p>
<p dir=ltr>Ya sudahlah. Sementara ini, saya usahakan riset literatur dan wawancara. </p>
<p dir=ltr>Saya sedang bersemangat sekali sejak revisi dimulai. Karena revisi artinya draft ini sedang dalam proses penerbitan.</p>
<p dir=ltr>Ah, senang!</p>
<p dir=ltr>Thanks Iwied, Gita, Helga.<br>
Mari tenggelam lagi di lautan kata! ^^</p>
<p dir=ltr>- Enno -</p>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"> <a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgb2jOeXh5SH8yMJqqOVWonjtq2KxbS5QaKBx-Lz1Q4VK507GRfIq60_hgT5Wf-t6npqnIgN7RtK6XQwVmzU8JuH6wgCZRyw-gI1XPtj0DfdpGMHvbyXz6BCXtVK5ZvpXrRyvwPCw/s1600/2014-12-07%25252010.01.40%2525201.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"> <img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgb2jOeXh5SH8yMJqqOVWonjtq2KxbS5QaKBx-Lz1Q4VK507GRfIq60_hgT5Wf-t6npqnIgN7RtK6XQwVmzU8JuH6wgCZRyw-gI1XPtj0DfdpGMHvbyXz6BCXtVK5ZvpXrRyvwPCw/s320/2014-12-07%25252010.01.40%2525201.jpg"> </a> </div>Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-51317280798521265542014-11-23T20:49:00.002+07:002014-11-26T22:56:33.116+07:00Get Lost Journey -- Day 2<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
<i>"Tulung, Neng. Tulung..." Sesosok tubuh seperti jatuh tersungkur ke dekat kaki saya, membentur dinding. "Tulung, bebaskeun abdi..."</i></div>
<div dir="ltr">
<i>Saya tertegun, lalu kembali melanjutkan langkah. Hati saya sedih sekali. Tetapi saya tidak bisa berbuat apa-apa selain mendoakannya.</i></div>
<div dir="ltr">
<i>Lalu sosok berbaju seragam militer tersorot ketika cahaya senter saya menerangi sebuah ceruk. Saya menahan kebencian saya dan berlalu. </i></div>
<div dir="ltr">
<i>Oh, betapa tempat ini menguras emosi.</i></div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
...................................</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Hari kedua di Bandung dibuka dengan lokasi yang lagi hit bingit di socmed.</div>
<div dir="ltr">
Berpose kekinian di Tebing Kraton.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Dan saya kecewa.</div>
<div dir="ltr">
Cuma gitu-gitu aja? Nanjak ke sebuah kampung yang lokasinya di atas bukit, lalu ada sebidang tanah di ujung kampung dengan tebing menjorok ke jurang. Bebatuan yang bertonjolan di situ kemudian dipakai sebagai sandaran untuk berfoto dengan latar belakang jurang..</div>
<div dir="ltr">
Really? Nggak ada obyek lain?</div>
<div dir="ltr">
Bah! Bagusan Garut Selatan kemana-mana. Iya sih, buat orang yang nggak pernah mblusukan ke kampung alias turis koper, tebing ginian dibilang bagus.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Waktu baca-baca pengalaman yang sudah ke sana di internet, banyak yang menggambarkan jalan ke desa Ciburial di mana tebing itu berada seram banget. </div>
<div dir="ltr">
Jalanannya rusak paraaaah, katanya. Sempit bangeeet, katanya. Licin, katanya. Hati-hati masuk jurang, katanya. Mending naik motor, katanya. Pokoknya bikin kesannya itu bahaya banget.<br>
Saya sampai sempat wanti-wanti ke sopir mobil rentalan untuk beneran hati-hati.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Nggak taunya, jalanan nggak seseram yang digambarkan orang-orang. Iya rusak, sempit, berbatu-batu, dan ada satu tanjakan tajam mendekati lokasi.<br>
Tapi itu mah biasa aja. Buat saya.</div>
<div dir="ltr">
Masih lebih bahaya rute ke Garut Selatan keleus...</div>
<div dir="ltr">
Mungkin kebanyakan yang mereview rute ke Tebing Kraton adalah orang kota atau yang tinggal di daerah-daerah dataran rendah. Jadi rute <i>off road</i> tak beraspal, geradakan penuh batu dan menanjak bukit itu dianggap hal yang luar biasa berbahaya. <i>No offense </i>lho...</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Justru, tebingnya yang berbahaya.<br>
Kebanyakan menulis bahwa tebingnya menampilkan view yang indah, seolah di dunia lain, romantis dan dramatis.<br>
Well, iya sih.<br>
Tapi berapa banyak yang bilang kalau batu yang menjorok ke jurang ratusan meter di bawah itu berbahaya?<br>
Bebatuan itu hanya menempel di dinding tebing. Sebagian menjorok ke luar, sebagian tertanam di dinding tanah yang mudah longsor atau tercongkel (kalau beban di atasnya terlalu berat). Padahal kalau lihat foto-foto yang beredar di socmed, banyak yang berdiri ramai-ramai di situ untuk berpose <i>groufie</i>. </div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Mari kita tinggalkan tebing yang biasa-biasa aja itu.</div>
<div dir="ltr">
Saya dan Morgan turun dari kawasan tebing dan menuju ke Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ir. H. Djuanda. Hutan lindung ini dan Tebing Kraton sama-sama di bawah pengawasan Perhutani. </div>
<div dir="ltr">
Nah, di Tahura ini banyak pohon pinus. Lumayan buat foto-foto ala adegan Bollywood.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
<b>Goa Jepang dan Goa Belanda</b></div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Dan inilah yang mau saya ceritakan. Di kawasan Tahura ada dua buah gua peninggalan Jepang dan Belanda. Dulunya digunakan ketika perang, untuk menimbun logistik dan perlindungan dari musuh.</div>
<div dir="ltr">
Sudah lama banget saya kepengin ke dua gua ini, karena saya suka gua... dan tentu saja semua teman saya tahu, saya suka sejarah.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Kami jalan kaki menyusuri jalan setapak hutan. Mudah kok, karena ada papan penunjuk arahnya. Yang pertama dijangkau dari arah kami datang adalah Gua Jepang. Seorang pemuda yang bekerja sebagai guide menyambut kami. Saya--yang biasanya sotoy ogah pakai guide--kali itu merasa butuh. Soalnya, saya kan ingin diceritai sejarah gua sambil menyusuri lorongnya.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Guide kami masih muda. Saya dan Morgan (yang ragu-ragu hahaha) mengikutinya masuk ke dalam. Pintu masuk gua itu lebar dan kira-kira setinggi dua meter. Di dalam gelap. Saya menyalakan senter yang harus disewa seharga lima ribu, menyorotkannya ke depan lorong.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Dan si guide mulai menceritakan sejarah gua, sambil menyusuri lorong demi lorong dan menyinari ceruk demi ceruk.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
"Guanya dingin ya, A..," komentar saya. </div>
<div dir="ltr">
"Iya, Teh," sahutnya. "Jepang bikin beberapa ventilasi, jadi banyak udara dan angin yang masuk."</div>
<div dir="ltr">
"Tapi ini dingin sekali..."</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Morgan berjalan di belakang saya. Diam saja sambil menyorotkan senternya lurus ke depan. Saya tahu, sebenarnya dia takut.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
"<i>Bade naon kadieu?</i> (mau apa ke sini?)"</div>
<div dir="ltr">
"Eh?" Saya menoleh ke Morgan. Tapi ia tampak bungkam. Siapa yang nanya tadi?</div>
<div dir="ltr">
"<i>Kade, ulah lami teuing di dieu. Seueur nu jail.</i>.. (awas jangan terlalu lama di sini. Banyak yang usil)"</div>
<div dir="ltr">
Suara itu terdengar dari sebelah saya. Kini lebih jelas, dan terdengar seperti suara seorang kakek.</div>
<div dir="ltr">
Sementara itu, si Aa Guide masih berjalan di depan kami. Ia tidak tahu apa yang saya dengar. Kakek tak kasat mata itu lalu terdengar batuk-batuk. Saya ngerti, ia menunggu jawaban saya.</div>
<div dir="ltr">
"<i>Muhun</i> (iya)," sahut saya dalam hati. "<i>Moal lami</i> (tidak lama)."</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Kemudian, saya berusaha mengalihkan fokus saya dan bertanya-tanya tentang sejarah gua lagi kepada guide. Gua itu, kata guide kami, dulunya dibangun Jepang sebagai tambahan dari Gua Belanda, yang sudah ada sejak tahun 1800-an. Belanda membangun gua pertama sebagai tempat reservoir atau penyimpanan cadangan air dari mata air yang ada di pegunungan sekitar.</div>
<div dir="ltr">
Goa Jepang dibangun sekitar tahun 1942, menjelang Perang Dunia Kedua, untuk dijadikan tempat logistik dan perlindungan dari tentara Sekutu.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Saya membayangkan berapa banyak orang yang diangkut ke tempat ini, dipaksa untuk membuat gua. Melubangi dinding batu cadas yang kerasnya minta ampun, membuat lorong dan ceruk-ceruk lebar. Sementara Sekutu sudah mulai mendarat di Indonesia.</div>
<div dir="ltr">
Perlu ratusan orang yang bekerja siang malam, ngebut untuk mengejar deadline, agar Sekutu tidak keburu menyerbu.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
"<i>Tulungan abdi, Neng</i>...(tolonglah saya, Neng)"</div>
<div dir="ltr">
Lamat-lamat, saya mulai mendengar rintihan minta tolong dari segala penjuru. <i>Shit! </i></div>
<div dir="ltr">
<i><br></i></div>
<div dir="ltr">
"Aa, ini teh lorongnya masih panjang?"</div>
<div dir="ltr">
"Enggak, Teh. Ini belokan ke pintu keluar."</div>
<div dir="ltr">
Ketika pintu keluar tampak, Morgan mendahului kami keluar. Hahaha. Meskipun belakangan dia ngakunya malas gelap, saya nggak bisa dibohongi dan tahu dia takut.</div>
<div dir="ltr">
Di dalam gua Jepang, meski ventilasinya cukup bagus, namun udara pengap oleh bau amoniak dari guano (kotoran kelelawar). Gua itu memang menjadi sarang koloni kelelawar. Mereka bergantungan di langit-langit gua, di atas kepala kami sepanjang lorong.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Terbebas dari hantu-hantu para romusha di dalam gua dan menyengatnya amoniak dari guano, semangat saya muncul lagi. Saya ingin segera melihat Gua Belanda, yang letaknya satu kilometer dari Gua Jepang.</div>
<div dir="ltr">
Ada orang-orang yang menyewakan motor. Namun, kami menolak dengan alasan ingin memotret sepanjang jalan, maka kami wajib jalan kaki.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Mengobrol dengan guide saya (sengaja namanya nggak disebut) menyenangkan. Ia dengan sabar menjawab pertanyaan-pertanyaan saya, yang nggak bisa lepas dari gaya wartawan lagi ngorek informasi hehehe. Tidak sampai lima belas menit, kami sudah sampai di depan sebuah tebing tinggi, dengan pintu gua terbuka seolah-olah mempersilakan kami masuk, namun kali ini Morgan tidak mau ikut. Ia memilih menunggu di luar.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Keadaan di dalam Gua Belanda tidak segelap di Gua Jepang. Lorongnya lebih lebar, dengan lantai berubin di beberapa bagian lorong depan. Dinding gua ditembok dan dikapur, dan tampak bahwa strukturnya lebih modern. Ceruk-ceruk di sepanjang lorong menyerupai kamar-kamar berdinding lengkung. Tampak beberapa rak semen di dinding dan ada rak-rak besi bekas menaruh mesin dan radio komunikasi.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Gua Belanda tidak terlalu dingin seperti Gua Jepang. Di bawah kaki kami, tertutup ubin tua, adalah saluran air yang dulu dibangun Belanda.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Menurut guide kami, Jepang menjadikan Gua Belanda sebagai markas tentara. Lengkap dengan sel tahanan, ruang interogasi dan kamar-kamar istirahat para perwira. Saya sih bisa ngerti. Soalnya gua Belanda lebih mirip benteng daripada gua. Mungkin karena ditembok dan lebih luas, ya...</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Tetapi dulunya, pembangunan gua ini di masa penjajahan Belanda, juga menyisakan kisah pedih para pekerja rodi. </div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
"Ini dulunya sel tahanan dan tempat penyiksaan." Senter Aa Guide menyorot sebuah lubang yang hanya cukup dimasuki dengan berjongkok. Di baliknya ada sebuah ceruk berlantai tanah yang dindingnya tidak ditembok.</div>
<div dir="ltr">
"Oh," sahut saya sedih. Karena berbagai gambaran seram mulai terbentuk di kepala, juga tampak di mata batin saya. Mereka yang disekap di sini, dibiarkan sekarat sampai mati. "Semoga yang meninggal di sini diterima amal ibadahnya," bisik saya.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
"Aamiin." Ada sebuah suara menyahut lirih.</div><div dir="ltr"><br></div><div dir="ltr">Selepas dari ceruk penyiksaan, lalu ceruk sel tahanan yang lebih beradab (besar dan tampak bekas engsel pintu dari besi), kami akhirnya sampai di pintu keluar. Oh iya, ada rel juga di dalam gua ini, bekas lori yang mengangkut logistik berat.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
Kalau ditanya, apa yang saya lihat di kedua gua itu, oh banyak sekali. Dan beberapa merupakan bayangan kejadian menyeramkan dan memilukan. Seperti adegan yang biasa saya saksikan di film-film tentang perang kemerdekaan.</div><div dir="ltr"><br></div><div dir="ltr">Orang-orang pribumi yang dipaksa bekerja, kurus kering dengan tulang iga bertonjolan. Wajah-wajah putus asa dan menahan lapar. Yang mereka kenakan hanya sepotong cawat kumal, tidak lebih.</div><div dir="ltr"><br></div><div dir="ltr">Ngomong-ngomong, mungkin karena saya jadi terlalu emosional, pertahanan saya lemah. Beberapa mahluk dari gua itu ternyata ada yang mengikuti saya. Pantesan, setelah sampai di rumah, saya masih saja merinding. Tukang urut yang dipanggilkan adik saya ternyata bisa melihat hal-hal yang seperti itu. Ia memastikan bahwa saya 'ketempelan'.</div><div dir="ltr"><br></div><div dir="ltr">Hadeeeh... </div>
<div dir="ltr">
Sungguh menyebalkan yang nempel bukan cowok keren, malah setan! Hahaha...</div>
<div dir="ltr">
Saya lalu 'dibersihkan', dipijit di lipatan-lipatan badan. Karena katanya mereka suka sembunyi di situ. </div><div dir="ltr">Rambut saya dijambak, kepala saya diguncang-guncang sambil dibacain ayat suci. Trus si mamah tukang pijitnya ngomong, "indit siah!" Pergi kamu!</div><div dir="ltr"><br></div><div dir="ltr">Duh gile, sakit bingit! Itu si mamah, makin saya teriak sakit, makin kenceng mijitnya. Padahal yang teriak sakit kan saya, bukan setannya... zzzzz....</div><div dir="ltr"><br></div><div dir="ltr">Eh tapi benar saja...badan saya jadi enteng dan tidak merinding lagi sehabis sesi exorcism wakakakak...</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">Oh iya... Saya masih punya Part 3 dari kisah Get Lost Journey ini.</div>
<div dir="ltr">
Beberapa hari lagi, ya. Sekarang saya mau kembali ke draft.</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
See ya! ^^</div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<div dir="ltr">
<br></div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-sd7UmtWfxlWM-2d-E3rfOLx3NZvvjPFTwhZl1tuwkDHuTRzj0_mZ10VSpAiHicWqRcn0B-iC4YkQapfnLGKi8U4IHy_UmwuQK6oULMOtWp8UQYJZlUDB1b_z7i9G263bOTrkhg/s1600/P1013801.JPG" imageanchor="1" style="font-size: medium; margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj-sd7UmtWfxlWM-2d-E3rfOLx3NZvvjPFTwhZl1tuwkDHuTRzj0_mZ10VSpAiHicWqRcn0B-iC4YkQapfnLGKi8U4IHy_UmwuQK6oULMOtWp8UQYJZlUDB1b_z7i9G263bOTrkhg/s1600/P1013801.JPG" height="400" width="300"></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: small;">Gua Belanda di Tahura Djuanda</span></td></tr>
</tbody></table>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgH9kBljC2tGUfEqn_BVnJc1cBB9sPkw3QyEY15eP5VqAHze7BSvUAJKQe5JqR4I6Cr1ZROg_30WGoz4Q8JL9vkKwQL3VrtXugv2250GMe5cwMGAbussW2oUkd4vQ7aR8kldv3tng/s1600/20141119_095750.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgH9kBljC2tGUfEqn_BVnJc1cBB9sPkw3QyEY15eP5VqAHze7BSvUAJKQe5JqR4I6Cr1ZROg_30WGoz4Q8JL9vkKwQL3VrtXugv2250GMe5cwMGAbussW2oUkd4vQ7aR8kldv3tng/s1600/20141119_095750.jpg" height="296" width="400"></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-size: small;">Gua Jepang di Tahura Djuanda. </span></td></tr>
</tbody></table>
<div dir="ltr">
<br>
<br></div>
Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-13502200166467526252014-11-19T00:55:00.001+07:002014-11-23T20:51:08.077+07:00Get Lost Journey -- Day 1<div dir="ltr">
Ketika saya ingin pergi, maka saya akan mengemasi tas dengan pakaian secukupnya, dan pergi.<br />
Terkadang sendiri. Terkadang, mengajak seorang teman yang terpikir saat itu juga.<br />
Hanya sekedar bertualang sejenak ketika jenuh mulai menggerogoti jiwa dan raga.<br />Saya memang impulsif.</div>
<div dir="ltr">
Dan di sinilah saya sekarang. Menulis blog tengah malam di sebuah homestay di Bandung yang disiram gerimis setiap siang menjelang sore.<br />
Di kamar sebelah, ada seorang teman yang saya culik tanpa pikir panjang. Dengan pertimbangan bahwa dia yang paling available waktunya kalau ajakannya mendadak begini.<br />
Benarlah dia bisa. Dan bersedia traveling pakai cara saya. Get lost journey.</div>
<div dir="ltr">
Ketika saya post beberapa foto trip Bandung saya di Instagram, hasil ekplorasi sepanjang siang, beberapa teman kirim chat japri untuk memprotes keras karena tak diajak. Beberapa malah sedikit lebay dan bilang ke saya, kalau saya perginya sok rahasia-rahasiaan.<br />
Saya ketawa hambar.</div>
<div dir="ltr">
Wajibkah saya lapor kalau mau pergi ke setiap orang yang saya kenal? Wajibkah saya menawari mereka semua ikut?<br />
Wajibkah saya kasih pengumuman ke seluruh dunia kalau saya mau pergi?</div>
<div dir="ltr">
Well, saya kasih tahu...<br />
Hidup saya tidak terikat pada siapa-siapa. Pada seseorang, pada grup, pada perkumpulan, pada sebuah jaringan, bahkan sekelompok orang, bahkan pada organisasi.<br />
Saya hanya terikat pada Tuhan. Pada keluarga dan pekerjaan. Lain tidak.</div>
<div dir="ltr">
Kalau saya pergi tidak ajak-ajak, atau tidak pengumuman dulu, ya terimalah sebagai mana adanya.<br />
Saya ini ya cuma mau pergi tanpa mikir, dan menyambar siapa pun yang teringat dan paling sempat waktunya. </div>
<div dir="ltr">
Saya selalu bilang, saya ini aslinya manusia soliter. Kebutuhan saya untuk menyendiri lebih banyak dari orang lain. Sejak masih kecil dan selamanya, saya orang yang seperti itu.</div>
<div dir="ltr">
Jadi...<br />
Di sinilah saya. Tengah malam tergeletak di sebuah kamar homestay dan mengeluhkan kenapa orang-orang senang sekali bikin saya jengkel. Hehehe.<br />
Sudahlah. Mungkin ini cuma saya yang lagi suka mengomel. Mood saya masih agak gloomy, meskipun sejak journey dimulai mulai terobati.</div>
<div dir="ltr">
Hari ini awal journey dimulai dengan tersesatnya saya ke terminal Ledeng, yang asing dan kecil... di tengah hujan deras. Lalu setelah balik lagi dengan Damri rute yang sama akhirnya bisa juga ketemu teman saya di meeting point kami, di Paris van Java Mall.</div>
<div dir="ltr">
Lalu sorenya ada petualangan menunggu bus city tour Bandung yang bernama Bandros itu, di depan Taman Lansia (diturunkan di sana sama sopir taksinya).<br />
Bus dan antrian yang biasanya berjubel tak tampak, barangkali bus tidak beroperasi karena hujan yang kian menderas. Saya dan teman saya, Morgan, melipir ke sebuah kafe terdekat bernama Pasar Cisangkuy.<br />
Lalu menyadari bahwa kafe itu interiornya keren dan ternyata makanan dan minuman yang kami pesan tidak mengecewakan rasanya.</div>
<div dir="ltr">
Jelang magrib, kami jalan kaki tanpa arah mencari taksi, tahu-tahu lewat Gedung Sate dan Sabuga. Taksi ketemu, mengantar kami ke Cihampelas Walk karena masih terlalu dini pulang ke homestay.<br />
Menemukan lagi kafe lucu bernama Tea House dan kami minum teh poci hangat dan Singkong Thailand. Pulangnya jalan kaki ke homestay yang (ternyata lumayan jauh) dipandu Google Map, melalui jalan-jalan perumahan yang basah dan gelap. Hahaha.</div>
<div dir="ltr">
Get Lost Journey Mission 1 - accomplished! </div>
<div dir="ltr">
See you on next mission tomorrow! </div>
<div dir="ltr">
- Enno -</div>
<div dir="ltr">
(Ditulis tengah malam tanggal 18 Nov 2014, diedit jam 04.39 tanggal 19 Nov 2014)</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkeP7IKtDTT2ASpvx8iMh_bBTPxNMXQTBpmGkULgQk3X4aCyjvPFA6ePXxaMBS4Bcmmeo3WBX2M59LyNUCgLqknJc0Gk2EuSI8NrGRCHQsS6A154wEwRmX-vLlNrOI2eTXEYH-mg/s1600/20141118_162824.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"> <img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgkeP7IKtDTT2ASpvx8iMh_bBTPxNMXQTBpmGkULgQk3X4aCyjvPFA6ePXxaMBS4Bcmmeo3WBX2M59LyNUCgLqknJc0Gk2EuSI8NrGRCHQsS6A154wEwRmX-vLlNrOI2eTXEYH-mg/s320/20141118_162824.jpg" /> </a> </div>
Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com2Bandung, Bandung-6.9148645 107.608246tag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-22721507832862621612014-11-16T10:01:00.001+07:002014-11-16T10:05:24.454+07:00Shit Happened -- Part 2Saya masih <i>bad mood</i>. Gila, parah banget gegara terlalu banyak <strike>yang cari</strike> perkara.<br />
Sampai hari ini masih menjauh dari manusia, kecuali orang-orang yang berkepentingan atas beberapa urusan, dan beberapa teman mengobrol random sehari-hari.<br />
<br />
Ini adalah bagian kedua dari curhatan panjang saya.<br />
<br />
.......................................<br />
<br />
<br />
<i>06.04 WIB</i><br />
<br />
Dear kamu, Tukang Ngadu...<br />
<br />
Semoga kamu puas ya sudah mengadukan omongan saya kepada si X. Semoga kamu mendapatkan <i>award </i>dari si X atas keloyalan kamu kepada dirinya. Dan <i>congratulation </i>juga bahwa kamu mendapatkan segerbong perasaan hina dari saya kepada kamu.<br />
<br />
Seharusnya kamu tahu, bahwa apa yang saya katakan kepada kamu waktu itu, tidak bermaksud memojokkan teman kita si X itu. Saya hanya mengatakan prinsip pribadi saya, yang berseberangan dengan prinsip pribadi si X. Apakah prinsip saya itu merugikan si X? Dalam konteks kasus ini, saya rasa tidak.<br />
Prinsip saya adalah milik saya, dan apa yang sedang atau akan dilakukan si X merupakan haknya.<br />
Jika kami kemudian berseberangan, bagi saya SANGAT TIDAK MASALAH jika saya mengalah agar tidak terjadi tabrakan kepentingan. Dan itu sudah saya sampaikan dengan jelas kepada kamu, kalau-kalau kamu mendadak belagak pikun atau kena amnesia.<br />
<br />
Seharusnya, sebagai orang dewasa, kamu bisa menyaring mulut dan otakmu. Seharusnya kamu tahu, mana yang perlu untuk disampaikan, mana yang tidak.<br />
Ketika saya bicara kepada kamu, saat itu saya mempercayai kamu secara penuh. Tidak pernah terbetik dalam otak saya bahwa kamu akan mengadu, dengan alasan apa pun. Seingat saya, saya bahkan mengatakan kepada kamu agar tidak menyampaikannya kepada si X.<br />
Hal itu, karena saya sadar, meskipun saya tidak membicarakan keburukan siapa pun (hanya tentang prinsip saya), kemungkinan orang yang berpikiran picik akan salah paham terhadap saya.<br />
<br />
Dan itu akhirnya terjadi. <i>Well, good job, fella!</i><br />
<br />
Oh tentunya saya tidak bakal menerima alasan apa pun seandainya kamu mencari pembenaran atas apa yang sudah kamu lakukan. Tidak ada sedikit pun unsur kebaikan dan kemaslahatan dalam kasus ini.<br />
Kamu sudah menghancurkan <i>image </i>saya di mata seorang teman, dan membuat sikapnya kepada saya berubah. Meskipun seumur hidup saya tidak peduli dengan <i>image </i>saya di mata orang lain, tetapi kali ini hal itu telah merusak silaturahmi antara saya dengan orang lain. Membuat pertemanan saya dengan seseorang yang tadinya baik-baik saja menjadi dingin dan tidak nyaman.<br />
Maaf aja, itu perbuatan yang parah banget buat saya, dan terus terang saya memaki-makimu dalam hati.<br />
<br />
Meskipun demikian, saya tidak sepenuhnya menyalahkanmu. Kamu begitu mungkin memang sudah sifatmu.<br />
Saya lebih marah kepada diri sendiri karena betapa tololnya saya sudah begitu naif terhadap kamu.<br />
Saya salah karena keliru menilai orang. Keliru menaruh kepercayaan kepada orang.<br />
Sebenarnya, kalau dipikir-pikir lagi, itulah mengapa saya ini orang yang sangat pilih-pilih dalam berteman. Kenapa saya lebih sering terlihat kemana-mana sendirian atau cukup berdua.<br />
Lalu ketika sekarang, kejadiannya seperti ini...<br />
Yah, saya sungguh tolol.<br />
<br />
Jadi, mari kita balik lagi ke kamu, wahai Tukang Ngadu....<br />
Nasehat saya buat kamu.<br />
Jadi orang jangan terlalu suka bicara deh. Jangan terlalu banyak ngomong. Kadang-kadang, kita nggak bisa mengendalikan apa yang keluar dari mulut kita. Hal-hal yang tidak penting yang terlontar begitu saja bisa mencelakakan kamu atau orang lain.<br />
<br />
Satu lagi, jangan suka memusingkan anggapan orang terhadap kamu. Nggak usah ingin dianggap positif oleh orang lain, karena hal seperti itu nggak bisa dipaksakan. Nggak usah <i>insecure, </i>lalu sok-sok mengadu biar dianggap setia. Kalau kamu memang aslinya menyenangkan, orang lain juga akan mengapresiasi. Kalau kamu memang menyebalkan, kamu nggak akan bisa apa-apa. Kedokmu akan terbuka suatu hari.<br />
<br />
Di masa mendatang, ingatlah satu hal.<br />
Jangan bersikap palsu di depan saya. Cepat atau lambat saya akan tahu, meskipun tidak ada yang memberitahu.<br />
<br />
<i><b>I can see right through your bullshit act. </b></i><br />
<i><b>I can see your true colors. </b></i><br />
<i><b>I observed you.</b></i><br />
<br />
.........................................<br />
<br />
<b>PS</b>: banyak teman blogger mengeluh karena nggak bisa post komentar di beberapa postingan ini. Maaf ya. Saya tahu kok, banyak yang ingin menghibur dan menyemangati. Terima kasih sebelumnya.<br />
Tapi kali ini saya cuma ingin 'didengarkan' saja. Dan terima kasih juga sudah 'mendengarkan.'<br />
*kiss kiss*<br />
<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhQ55qOf0i-2hi3PMasdt4bDll3O9gEhoB6uMBrt5KrJlV9XwWmAJ4RHPKz-zFMjX3dhe0IxwXv9YtJUGESvV52SDyrirttbgtk_9zczK2KcGuZ7KloTayJOgPnXh0EHMO1cqPeA/s1600/better-to-have-an-enemy-who-slaps-you-in-the-face-than-a-friend-who-stabs-you-in-the-back-quote-1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhhQ55qOf0i-2hi3PMasdt4bDll3O9gEhoB6uMBrt5KrJlV9XwWmAJ4RHPKz-zFMjX3dhe0IxwXv9YtJUGESvV52SDyrirttbgtk_9zczK2KcGuZ7KloTayJOgPnXh0EHMO1cqPeA/s1600/better-to-have-an-enemy-who-slaps-you-in-the-face-than-a-friend-who-stabs-you-in-the-back-quote-1.jpg" height="400" width="302" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">pict from <a href="http://car-memes.com/">here</a></td></tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
<br />
<br />
<img alt="Image and video hosting by TinyPic" border="0" src="http://i26.tinypic.com/2yl3135.png" /><br />
<br />Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-26572708817038064732014-11-13T00:26:00.002+07:002014-11-13T00:31:50.692+07:00Shit Happened -- Part 1Belakang ini, saya menjauh dari pergaulan. Memilih membaca tumpukan novel yang tertunda di sela rehat menulis.<br />
Saya sedang bad mood berat. Banyak yang terjadi, yang mengganggu ritme nulis saya.<br />
Tulisan ini anggap saja sebagai curhat terbuka, dan karena takut kepanjangan dipenggal jadi beberapa bagian.<br />
<br />
Nah, ini bagian pertama.<br />
.............................<br />
<br />
<i>22. 36 WIB</i><br />
<br />
Jadi di sela-sela menulis <b>Project Lost</b> malam ini, ada percakapan random dengan Monica alias Momon. Agak tidak biasanya saya kepengin berinteraksi dengan manusia (bahaha). Mungkin karena saya sudah lama sekali nggak chat sama dia.<br />
Seperti biasa, obrolan saya dengannya tidak pernah normal.<br />
Tapi kali ini topiknya bikin kami ketawa-ketawa miris.<br />
<br />
Kami mengobrol tentang cowok. Klasik bukan? :)<br />
<br />
Baru-baru ini, kami berdua punya kasus mirip, berkaitan dengan pria yang ... ya begitu lah. <i>If you know what I mean</i> (jelas nggak bakal tahu juga sih hehe).<br />
<br />
Saya nggak berhak cerita tentang kasus Momon tanpa seizin dia. Tapi untuk kasus saya, bolehlah saya bilang di sini, bahwa saya nggak punya waktu buat meladeni kode-kodean dan <i>no mention</i> dari siapa pun.<br />
Ini bukan tentang orang tertentu, ya. Jadi garis bawahi: <u>dari siapa pun.</u><br />
<u><br /></u>
Kalau ingin kenal saya lebih dekat, <i>just reach me personally</i>. Lelah sekali harus berbalas kode atau status <i>no mention</i>, atau berbalas komentar random tanpa juntrungan di media sosial. Lagian sejak dulu saya nggak pernah kayak gitu. Mau mengobrol dengan saya jangan di ruang publik dan ditonton seluruh dunia. Apa lagi kalau pertanyaannya: <i>kamu sedang apa?</i><br />
<br />
Duh. <i>Please, man. </i>DM aja keleus.<br />
<br />
Nggak usah posting sedang mendengarkan lagu apa, yang liriknya kode untuk saya sebagai wakil dari perasaanmu. Jangan. Nggak usah. Kirim lagunya secara personal aja napa. Itu lebih manis (bukan berarti juga bikin saya jadi meleleh sih--kan saya belum tentu naksir juga).<br />
Setidaknya itu lebih <i>gentle</i>. Berani. <i>Manly</i>, kalo istilah Momon.<br />
<br />
Jangan posting gambar yang isinya quote buat kodein saya juga.<br />
Ngomong aja langsung. DM. <i>Private message</i>. Aku kangen<i> </i>kek. Apa kabar kek. Sedang apa kek.<br />
Saya belum tentu bilang 'gue juga kangen' (kan belum tentu naksir). Tapi setidaknya, saya hargai perhatiannya.<br />
<br />
Pada akhirnya, karena cuma kode-kodean dan <i>no mention</i>, jangan salahkan kalau saya malah ilfil.<br />
Ya ampun, capek tahu ditimbunin hal-hal kayak gitu setiap hari, sembari nggak ada <i>action </i>nyata. Urusan saya sudah banyaaaak.<br />
<br />
Saya sedang menulis novel.<br />
Saya mengurus bokap dan beberes rumah dan masak dan segala urusan kerumahtanggaan lainnya.<br />
Saya lagi merancang liburan akhir tahun buat adik saya-bikin itinerary-cari hotel-sewa mobil-perincian budget-kasih tips dan trik, karena adik saya ini blas orang rumahan yang nggak pernah kemana-mana, jadi saya khawatir dia nyasar.<br />
Saya bikin daftar trip saya pribadi untuk 6 bulan ke depan selama musim hujan.<br />
Saya juga sibuk memikirkan hal-hal lain.<br />
Pokoknya nggak ada waktu.<br />
<br />
Karena itu, mohon maaf kalau saya bergeming saja. Semoga mereka-mereka itu nggak menganggap saya PHP.<br />
Gimana saya PHP? Yang flirting siapa?<br />
<br />
Begitulah terkadang, pembawaan saya yang mudah akrab sama cowok suka disalahartikan sama beberapa orang. Dikira saya naksir, padahal saya memang lebih nyaman bergaul sama cowok ketimbang sama cewek (kecuali kalo sama sintingnya). Begitulah saya sedari kecil.<br />
<br />
Atau terkadang juga awalnya saya sedikit naksir, tetapi seiring waktu--karena kelakuan si cowok--saya jadi ilfil (saya sekarang gampang ilfil, dan cenderung apatis).<br />
Nah, beberapa dari mereka kadang-kadang masih ge-er aja (telat geer-nya). Lalu sok kecakepan. Lalu sok dingin (karena merasa pret-gue-gak-demen-sama-lo-gak-level)<br />
<br />
Halaaah. Pengin rasanya ngakak depan muka cowok-cowok model begini.<br />
Cuy, kalo Nicholas Saputra sih gue taksir abadi. Nah elo? <i>Get a life.</i> Justru karena elo songong begitu, gue jadi ilfil.<br />
<br />
Duh. Capek lagi! :))<br />
<br />
Sesungguhnya, saya menyesal kalau sampai ada yang merasa terluka (atau ge-er berkepanjangan) karena sikap dan prinsip saya tersebut di atas.<br />
Maaf juga, kalau saya nulisnya agak sarkas dan terkesan belagu.<br />
Nggak, saya nggak belagu.<br />
Apalah saya ini. Cuma remah-remah kerupuk di kaleng Khong Guan...<br />
<br />
Intinya sih dari <strike>omelan</strike> tulisan saya dari atas ke bawah, pesan moral untuk kaum pria:<br />
<i>Kalo lo suka sama cewek, ngomong langsung. </i><br />
<i>Jangan pake kode-kodean.</i><i></i><br />
<div class="separator" style="clear: both; display: inline !important; text-align: center;">
<i>Malesin, cuy!</i></div>
<br />
Gitu aja. Sekian. <i>Peace. No hard feeling</i> ya :)<br />
<i><br /></i>
<i>................................</i><br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
</div>
<br />
<i></i><br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghIjWOlYCu9S73GKdYswAL3DP3WHyC80WlwuAVR3IcWaRklnXpZDjk_lGHqOqzy2osrn7yIOsUrFdwYxmT9qigzm4hu-tvYgnBUyZoTuoPchUwP5wHXGeg4JM-2W9gqROIpTN8vQ/s1600/t_s_eliot-life-quote.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghIjWOlYCu9S73GKdYswAL3DP3WHyC80WlwuAVR3IcWaRklnXpZDjk_lGHqOqzy2osrn7yIOsUrFdwYxmT9qigzm4hu-tvYgnBUyZoTuoPchUwP5wHXGeg4JM-2W9gqROIpTN8vQ/s1600/t_s_eliot-life-quote.jpg" height="256" style="cursor: move;" width="400" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">pict from <a href="http://thestained-glasswindow.blogspot.com/">here</a></td></tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
<img alt="Image and video hosting by TinyPic" border="0" src="http://i26.tinypic.com/2yl3135.png" />Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.comtag:blogger.com,1999:blog-28642518.post-13513505034513588212014-11-02T13:10:00.002+07:002014-11-02T13:32:33.304+07:00Proyek Baru dan Saya Yang Tidak Akan Banyak Cerita<br />
Halo kalian...<br />
Amicuuuu!<br />
<br />
Masih ada yang mengunjungi blog berdebu ini nggak sih?<br />
Haduh, maaf ya, saya mengingkari janji untuk <i>update </i>rutin selama menyelesaikan Project Dawn.<br />
Saya sedang tenggelam dalam perjalanan-perjalanan saya kemana-mana. Lalu berhenti untuk menyelesaikan <b>Project Dawn</b>.<br />
Project Dawn sudah selesai sejak awal Oktober lalu. Lalu, saya kembali ke alam bebas, bersama teman-teman main saya. Mblusukan kemana-mana, yang pada intinya bersenang-senang.<br />
<br />
Baiklah. Sekarang saya sudah di sini lagi. Menulis draft baru, yang bakal jadi novel keempat saya.<br />
Saya memberinya nama <b>Project Lost.</b> Tentang apa? Tunggu aja deh. Yang jelas, ini benar-benar sesuatu yang baru, meski sudah sering saya 'lakukan' sejak masih rajin menulis di blog ini.<br />
<br />
Ada satu hal, yang ingin saya sampaikan.<br />
Mulai sekarang, saya mungkin tidak akan sering menulis tentang <i>traveling </i>saya terlalu detail. Cerita saya hanya akan dikisahkan sambil lalu saja. Blog ini akan saya fokuskan untuk menulis tentang kegiatan kepenulisan.<br />
<br />
<i>Traveling </i>saya separuhnya adalah mencari <i>setting </i>lokasi atau fix untuk survei (jika lokasi setting sudah ditentukan). <i>Setting </i>lokasi yang saya maksud adalah eleman yang <b>spesifik</b>. Bukan kota, bukan daerah, bukan tempat umum, bukan jalan, yang semua orang bisa baca di mana saja. Bukan yang panduan wisatanya bahkan khusus terbit dalam buku-buku.<br />
<br />
Saya menjaga <i>setting </i>lokasi spesifik saya diambil orang, sebelum tulisan saya selesai. Saya mencegah lokasi trip saya dipakai beberapa penulis lain dengan jalan pikiran 'wah-terinspirasi' atau 'oh-ini-kayaknya-menarik-dimasukkan-ke-novel-gue', atau 'kok-nggak-pernah-kepikiran-pakai-ah'...<br />
Saya lho, capek-capek pergi. Keluar uang, keluar tenaga, sampai kadang kesasar di kota yang asing--tiba-tiba elemen saya dipakai.<br />
<br />
<i>Enak ya tinggal pakai? Makasih lho, apresiasinya.</i><br />
<br />
<b>Tips buat penulis dan yang mau jadi penulis: </b><br />
kalau mau cari <i>setting</i> lokasi (yang spesifik atau pun yang umum), keluar dari rumah dan jalanlah ke dunia luar, sejauh yang mampu dilakukan, Nggak perlu muluk-muluk ke luar negeri. Ke kota sebelah juga bisa. Kecamatan sebelah atau kelurahan sebelah, <i>why not</i>?<br />
Carilah sesuatu yang spesifik di luar sana, yang belum pernah ditulis orang atau jarang dipublikasikan. Penulis yang baik seharusnya demikian. Bukan terkubur di dalam dunia imaji dan riset di kamar saja.<br />
<br />
Tulisan akan lebih hidup dan lebih bercerita ke pembaca kalau ditulis berdasarkan pengalaman sendiri, daripada hanya sekedar memungut apa yang disurvei orang.<br />
Ini sangat berlaku dalam konteks setting lokal. (Kan traveling saya mencari setting spesifik juga masih lokal).<br />
<br />
Untuk tips mencari setting spesifik lokasi luar negeri, saya akan bagi tipsnya di tulisan lain, ya :)<br />
<br />
Btw, kenapa saya ngomongin topik ini?<br />
Yah, tahulah kenapa kalau saya kayak gini. Saya masih belum berubah dari Enno yang dulu suka ngamuk waktu tulisan-tulisannya diplagiat orang :))<br />
<br />
Jadi, sekarang mari kita berbincang-bincang tentang proyek-proyek menulis, tips-tips menulis, dan hal-hal random dalam hidup saya.<br />
Tentang jalan-jalannya akan saya tulis, kalau sudah kelar jadi buku, ya...<br />
Mohon maklum.<br />
<i><br /></i>
<i>Oh, and please, no hard feeling.</i><br />
<i><br /></i>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLMXgy38DX5t8wpaaoyWwUKfv1DkNvYgiERocM0TJtOGDzTK4YZ5IWYhqbmrLfPOBZ57qribQknG0nj3ohB-U7UOqd2A1jbQ5cvKVG8Mkb-rCQN_vvYrmxpRO5pmyRvJyjMDFGHA/s1600/efforts-quotes-3.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLMXgy38DX5t8wpaaoyWwUKfv1DkNvYgiERocM0TJtOGDzTK4YZ5IWYhqbmrLfPOBZ57qribQknG0nj3ohB-U7UOqd2A1jbQ5cvKVG8Mkb-rCQN_vvYrmxpRO5pmyRvJyjMDFGHA/s1600/efforts-quotes-3.jpg" height="295" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><br /></td></tr>
</tbody></table>
<br />
<img alt="Image and video hosting by TinyPic" border="0" src="http://i26.tinypic.com/2yl3135.png" />Ennohttp://www.blogger.com/profile/17020995546625641730noreply@blogger.com