Monday, June 27, 2011

Kelor #6

Ze zijn hier .... (Mereka di sini)

Wie, Mariana? Nederlandse militairen die zijn omgekomen sinds de oorlog? De mensen die ziek zijn op het eiland Onrust? (Siapa, Mariana? Serdadu Belanda yang mati karena perang? Orang-orang yang sakit di Pulau Onrust?)

De Inlanders die stierf op het schip Zeven ProvinciĆ«n. De rebellen .... (Inlanders dari kapal Zeven Provincien yang mati. Pemberontak…)

Deze beenderen bij hen horen? (Ini tulang belulang milik mereka?)

Ja en nee ....(Ya dan tidak)

Wie dan wel anders? (Lalu siapa yang lain?)

.........

Mariana, wie anders? (Mariana, siapa yang lain?)

.........

Mariana, ben je nog hier? (Mariana, kamu masih di sini?)

_____________________

Jakarta, Agustus 2005

Saya sebenarnya ingin membawa contoh tulang itu ke Jakarta untuk diperiksa atau diperlihatkan pada orang-orang yang mungkin bisa memastikan kepada saya siapa saja mereka yang dikubur di sana. Tapi teman-teman saya tidak setuju. Tata langsung histeris takut dihantui si pemilik jasad. Sementara yang lain berpendapat sebaiknya mencari tahu tanpa harus melibatkan tulangnya, takut urusannya jadi panjang.

Saya tahu apa yang dipikirkan Dokter Anton, Amir dan Pak Rusdi. Mau tak mau kami teringat tentang sebuah peristiwa di Jakarta pada tahun 80-an. Dalam peristiwa itu ratusan orang tewas dibantai aparat, banyak juga orang hilang. Mereka dibawa dengan paksa, dimasukkan ke truk-truk militer dan tak ketahuan rimbanya sampai sekarang. Kalau mereka mati, jasad mereka tentu harus dikubur di suatu tempat yang tak menarik perhatian, kan?

Tapi itu cuma dugaan. Dugaan yang mengerikan dan membuat kami mesti berhati-hati karena tidak ingin terlibat urusan politik masa lalu.

Bagaimanapun juga saya merasa wajib untuk menceritakannya pada seseorang yang kompeten, yang mungkin bisa membantu mencari tahu. Maka saya sampaikan tentang tengkorak-tengkorak itu pada Pak Ton, seorang politikus anggota DPR yang sudah saya anggap sebagai mentor.

“Baiklah,” ujar Pak Ton. “Nanti saya cari tahu.” Tapi berita darinya tak kunjung ada, bahkan sampai beliau meninggal karena sakit.

Mariana memberitahu saya tentang para pelaut yang katanya dikubur di pulau itu, yang akhirnya membawa saya pada hasil riset tentang pemberontakan kapal Zeven Provincien. Mereka di sini, katanya. Mariana lalu menggunakan kata ‘inlander’ saat menjelaskan lagi kepada saya. Inlanders yang mati, katanya. Inlander? Berarti pribumi, kan. Padahal saya pernah membaca, pemberontakan itu juga melibatkan beberapa anak buah kapal berdarah Belanda dan indo Eropa.

Pelaut Belandanya konon dimakamkan di Pulau Bidadari. Tapi tak ada yang tahu pasti. Peristiwa pemberontakan itu memang luput dari catatan sejarah yang dipelajari di sekolah-sekolah. Tak semua orang tahu tentang pemberontakan itu. Padahal beberapa pelakunya pernah menulis memoar tentang peristiwa itu.

Saya akhirnya pergi ke Perpustakaan Nasional untuk mengaduk-aduk arsip, koran, dan majalah lama. Saya ingin tahu apa yang terjadi di kapal itu.

“Saya merasa jenuh, karena semalaman tidak bisa tidur. Keesokan harinya Ko¬mandan dengan sia-sia mencoba berunding dan mengambil hati pelaut Indonesia yang kini menjadi majikan di kapal perang Belanda itu.” Itu keterangan Maud Boshart dalam ma¬jalah De Ulienspiegel edisi 3 Februari 1963, yang dikutip dalam Surat Pembaca nomor 3 Komisi Indonesia CPN.

Saya menemukan juga salinan memoar tentang Boshart, yang sayangnya ditulis dalam bahasa Belanda yang sulit saya mengerti. Namun yang pasti, Gubernur Jenderal De Jonge mendapat kecaman atas peristiwa itu, apalagi kejadian itu di ambang pecahnya Perang Dunia II. Membuat Jerman dan Jepang langsung menilai kelemahan Angkatan Laut Kerajaan Belanda.

Dunia internasional pada masa itu menyamakan pemberontakan De Zeven Provincien dengan pemberontakan di kapal Potemkin II dalam sejarah revolusi Rusia. Bahkan pers Amerika menggambarkannya sebagai yang pertama kali terjadi di dunia, di mana anggota Angkatan Laut pribumi di sebuah kapal perang kolonial mengambil alih sebuah kapal perang penjajahnya.

Kelak, Andre Therik, seorang pelaku dalam peristiwa itu mengatakan, “Penurunan gaji hanya momentum bagi meletusnya pemberontakan itu. Para pelaut pribumi yang menginginkan kemerdekaan Indonesia yang mendorong kami memberontak.”

…………………

Pulau Kelor, Jakarta, Juli 2007

Saya berdiri di Pulau Kelor lagi dan mulai memahami peristiwa sejarah yang bertautan dengannya. Tulang belulang yang berada di bawah benteng ini adalah tulang belulang para pejuang tak dikenal. Siapapun mereka. Para pelaut pribumi kapal Zeven, atau orang-orang yang tak dikenal, bahkan mungkin para serdadu Belanda yang juga dikubur di sini. Mereka ikut andil dalam proses kemerdekaan negeri ini.

Bahwa dulu, presiden pertama republik ini juga merasakan penghargaan yang sama terhadap mereka. Di masa pemerintahannya, Soekarno sebenarnya pernah menginstruksikan untuk memindahkan kerangka para kelasi pribumi kapal Zeven di Pulau Kelor ke Taman Makam Pahlawan Kalibata. Namun entah kenapa tak dilaksanakan.

Mariana hadir. Saya merasakan aura kekosongan yang sedih dari arwahnya. Kembali teringat penampakan dirinya yang melompat dari atas benteng dan tubuhnya disambut karang-karang tajam yang dengan kejam merobek tubuhnya.

Hari itu saya menanyakan apa yang selama ini mengganggu pikiran saya. Kisahnya sendiri. Ia belum pernah menceritakannya.

Mariana, kenapa kamu bunuh diri?

Papa zou me terug naar Nederland toen ik genezen was. Ik wil niet. (Papa akan membawa saya kembali ke Belanda kalau sudah sembuh. Saya tidak mau)

Kenapa? Apa yang terjadi?

Ik hield van het leven in het Nederland-Indiƫ. Ik hou van iemand hier. (Saya senang tinggal di Hindia Belanda. Saya mencintai seseorang di sini)

Siapa?

Hening sesaat, lalu terdengar bisikannya yang mengandung kesedihan.

Thomas. Werknemers in plantage Papa's. (Thomas. Pekerja perkebunan Papa)

Kata Mariana, Thomas adalah lelaki muda indo Belanda yang menjadi mandor di perkebunan ayahnya di Bogor. Ayah Thomas yang orang Belanda tadinya juga mandor, menikah dengan gadis pribumi. Thomas menggantikan ayahnya yang kemudian meninggal karena dibunuh. Ayah Mariana tidak menyukai hubungan mereka (mungkin karena Thomas setengah pribumi) dan memutuskan menitipkan Mariana pada keluarganya di Belanda. Setidaknya itu yang bisa saya simpulkan dari tanya jawab saya dengan Mariana.

Ik ben hier geboren. Ik kan niet gaan. Ik hoop dat Papa tilde me op, maar niet bij dit land te verlaten ... (Saya lahir di sini. Saya tak bisa pergi. Saya berharap Papa menjemput saya, tapi bukan untuk pergi dari negeri ini…)

Ya. Saya mengerti. Lebih dari yang kamu sadari, saya mengerti.

Lalu yang terdengar kemudian hanya debur ombak memecah beton penahan abrasi, gemerisik pasir ditiup angin dan teriak camar yang terbang di atas benteng. Di tepi pantai, tiga orang teman saya yang sudah naik ke dalam perahu motor berteriak mengajak saya untuk segera pergi sebelum senja menjadi terlalu gelap dan perahu kami terjebak arus pasang.

“Enno! Lu mau kita terpaksa kemping di sini?”

“Iya, iya! Ayo pulang!” Saya berlari mendekat. Menoleh sebentar pada reruntuhan benteng ketika perahu motor mulai melaju membelah air. Samar-samar melihat seseorang dengan gaun melambai dalam tiupan angin berdiri di pantai menatap perahu kami.

Zie je later. Sampai bertemu lagi, Mariana….

SELESAI


Empat orang pelaut yang memberontak, dalam pengawasan sipir di Pulau Onrust

…………………

Catatan

Saya menulis cerita ini berdasarkan ingatan tentang suatu kunjungan ke Pulau Kelor dan pengalaman merasakan asyiknya naik kapal perang KRI Dewa Ruci dalam suatu peliputan.

Penemuan tulang-tulang itu benar terjadi, nama-nama teman saya disamarkan atas permintaan mereka. Pemberontakan di kapal De Zeven Provincien benar-benar terjadi, namun dialognya saya kembangkan sendiri berdasarkan plot yang ada di catatan sejarah, kutipan memoar, hasil riset internet (saya tidak bisa menyebut situsnya satu persatu karena banyak, tapi silakan googling di internet. Akan muncul situs-situs terkait sehingga saya tidak tahu yang mana penulis yang asli, bagaimanapun terima kasih untuk semuanya) dan arsip Perpustakaan Nasional.

Sementara memoar Boshart dengan sangat menyesal tidak terlalu terpakai karena sulit saya pahami dengan bahasa Belanda saya yang pas-pasan.

Nama-nama orang yang terlibat dalam pemberontakan adalah nama yang sebenarnya, kecuali nama Ruud van der Bilt dan markonis Karel. Saya tidak bisa menemukan nama markonis yang bekerja sama dengan Maud Boshart tersebut.

Foto-foto saya cari di Google, karena foto-foto milik saya tentang Pulau Kelor dan tulang-tulang tersebut terhapus dari laptop saya yang kena virus beberapa waktu lalu (hiks…)

Kisah ini ditulis bukan untuk menguak luka atau memojokkan pihak manapun, melainkan semata-mata untuk mengisahkan salah satu episode perjuangan dalam proses merebut kemerdekaan negeri ini. Sebuah epik yang terlupa dan luput dari pelajaran sejarah di sekolah-sekolah.

Trims sudah membaca! ^^

Image and video hosting by TinyPic

18 comments:

Golda Regina said...

kak, kapan2 aku ikut kau berpetualang lah. kek2nya enak. ya ya? kalo aku libur asrama aku tidur tempat kau ya kak hahhahahaha :p

Rona Nauli said...

kalo lewat pulau-pulau itu lagi, cara memandangku bakal beda deh, No :)

keren, No. sugoi! :D

Gloria Putri said...

iya...ini ga pernah aq dapetin di pelajaran sejarah mba :)

detail banget ceritanya, bikin aq menahan napas ngeri ngebayangin kejadian kejadian sesungguhnya

oya, diantara postingan2 yang ada bahasa Belandanya, aq paling suka yg ini, karena gak harus naik turunin scroll supaya tau artinya yg ada di bagian bawah postingan

tp, ternyata ini episode terakhir ya mba? kirain bakal ada yg session 7 (kayak cinta fitri, xixixi)

kalo maw kesana lagi, ajak2 ya mba :) aq penasaran, jd pengen bgt kesana (saking penasarannya sampe2 aq bilang gini ke pacarku "yang, bsk klo nikah, bulan madunya di pulau kelor yaaaa")
hehehhehehhee

Enno said...

@golda: hahaha... ini petualangan jaman dulu golda... skrg aku lbh byk di rumah... nginep di rmhku kusuruh kau cuci piring nanti, butet :))

@rona: cara memandang yg bagaimana? mata nyalang mencari2 mariana? haha... asal jgn bawa sekop ke pulo kelor trus menggali tengkorak buat jimat ya ron hihihi...

@glo: itu bisikan ketauan bohongnya... kayak yg bener aja brani! hahaha :))

Rona Nauli said...

lah itu, No. kalo dulu ngeliatinnya kan sambil ndak mikir apa2 cuma mbatin aja kok agak 'medeni' ya...:D

lah kalo sekarang kan emang beneran takut, No...takut didadah-dadahin mariana akunya :D.

SoleildeLamer said...

ah ah ah... tamat juga setelah mumet baca yang kelor sebelumnya. ampun mbak... saya syuka sama cerita ini, andai dicetak jadi buku dan saya bisa baca sambil gulung2 di atas kasur dengan segelas kopi panas...

Wuri SweetY said...

Yaaaa....tamat dechhh :(
paling seneng baca tentang Mariana (hiiii ngeri gimana gitu).

Enno said...

@rona: haha ya dadahin lagi ajaaa... :P

@annesya: gulung2 di kasur sambil bawa sgelas kopi? tumpah dong nes hihihi...

@wuri: alaah kyk yg brani aja... tar kukirim dia ke jepang ya... hantu naik pesawat kan gretong bow hahaha

Matahari said...

Teh Enno satu pertanyaan...apakah pertemuan dengan Mariana itu bener atau nggak? Sebagai mantan wartawati apa tidak tergelitik untuk mewawancara Mariana lebih dalam, bagaimana kehidupan di alam dia sekarang, apa yg dia lihat, apa dia bisa jalan2 ke tempat lain? kenapa dia menunggu bapaknya, kenapa tidak melayang saja datangi bapaknya? dan banyak pertanyaan lain hihih...

Enno said...

@matahari: haha...aku bisa lihat 'dunia lain' kadang2, tp ga brarti aku mau bertemen sm mrk... jd aku ga pernah ngobrol 'dalem' sm mrk... klo jd ngikutin aku gimana? kan aku juga ogah hehehe...

Arman said...

akhirnya kelar bacanya....

btw lu yakin masih mau ketemu lagi ama mariana no? gak serem ya? hehehe

Gloria Putri said...

eeehhhh...macem2 yaaa...bilang ane boong...suer tekewer kewer dehh...aq ngomong gt ke pacarku...kata dia "lahh, km yo gak romantis nhoo yang, bulan madu malah ekspedisi gitu"
hehehhehehehehhehehe

ika puspita said...

gak banyak komen dech...
bagus...bagus....dan bagussss
aku bener bener suka cerita sejarahnya dan cara penulisannya....

Enno said...

@arman: serem sih enggak, cm gw ga pengen jd temenan sm mahluk2 yg kayak gitu, tar jd musyrik. tapi dianya yg suka nyamperin gimana dong? :P

@gloria: hihihi.. ke pulau seribu sih romantis klo di resort-nya.... tp di kelor emang ga romantis. lagi asik jalan berpegangan tangan mesra tau2 kesandung tengkorak, mau? :))

@ika: haha aduh senangnya ada yg suka... makasih ya ka :D

ammie said...

wow...amazing... imanjinasi tingkat tinggi :) bagus bgt mba :)
salam kenal ya :)

Enno said...

halo ammie, makasih yaaa... salam kenal juga :D

Inez said...

Ternyata waktu sy fakum, ceritanya udah tamat.. Langsung maraton deh..

Dan (sialannya) sy beneran suka sm Maud.. Kayaknya sy harus cari tau lagi sendiri.. Makasih udh ngenalin Maud sm sy.. Dia ngegeser posisi Pierre Tendean di hati sy. XP

Plus, krn Mariana, sy akhirnya punya sudut pandang lain sm hantu (walaupun ttp takut dan untungnya ga bs ngerasain apa2). Sy jd sadar kalo mereka jg punya sejarah. Dulu jg hidup. Dan ga semuanya 'iseng'. Salam buat dia deh! XD

Enno said...

haha meneer maud pny memoar nez, tp sialannya jg bhs belanda totok cin.... ga ngerti aku :D

kok sama, aku jg suka pierre tendean... :D

trus klo mariana dah kusalamin, klo dia jd pengen mampir ke rumah kamu gimana? hahaha

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...