Setidaknya semampu saya. Berusaha membujuk dia agar tetap bersekolah. Melanjutkan pendidikannya yang tertunda hanya sampai bangku SMP saja.
Saya langsung bertindak ketika ayahnya, kerabat jauh saya, berkata pada saya bahwa ia ingin anak perempuannya menjadi orang yang berpendidikan. Ia bukan orang yang berkecukupan, juga tidak berpendidikan layak. Hanya sampai SMP. Mereka tinggal di desa yang jauh dari mana-mana.
"Mamang teh hayang pisan si Lilis sakola ngarah pinter siga alo...." Yang terjemahannya 'Paman ingin sekali si Lilis sekolah supaya pintar seperti 'keponakan'. Ia, seorang paman jauh saya, memanggil saya 'alo' atau 'keponakan', karena begitulah kebiasaan di desanya untuk menyapa keponakan.
Saya mengajak Lilis tinggal di rumah kami. Toh rumah kami besar, ada sisa kamar yang bisa dipakainya. Saya daftarkan ia ke SMA Negeri dekat kecamatan. Kepala sekolahnya adalah murid mendiang Abah, kakek saya yang juga seorang guru. Tanpa susah-susah, Lilis langsung diterima. Saya belikan ia seragam sekolah dari kepala sampai kaki, saya belikan tas, buku-buku dan stationery. Saya cadangkan dari pendapatan per bulan saya untuk uang saku, ongkos dan SPP-nya.
Saya tidak keberatan. Merasa itu kewajiban saya sebagai sebagai sesama manusia, terlebih sebagai saudara. Kewajiban saya juga untuk menyisihkan rezeki. Tak ada yang meminta atau menyuruh. Saya hanya berpikir, setiap orang berhak diberi kesempatan mendapatkan pendidikan yang layak.
Satu-dua hari Lilis rajin berangkat ke sekolah. Seminggu-dua minggu ia menjadi murid SMA yang rajin. Berangkat pagi, pulang siang. Kadang-kadang ia pulang sore dan berkata bahwa ia main dulu ke rumah teman atau ke rumah guru.
Hey, saya bukan saudara yang otoriter. Ia boleh main ke rumah teman, asal jangan terlalu sering dan jangan pulang terlalu sore. Ia harus belajar, mengerjakan PR dan beristirahat untuk bersiap ke sekolah esok harinya. Saya tidak suka orang yang bangun siang, karena bangun kesiangan akan menyebabkan ia lupa sholat subuh dan terlambat ke sekolah. Saya rasa itu bukan permintaan yang cerewet.
Dua bulan kemudian, saya dipanggil wali kelasnya. Saya datang, dengan dandanan seadanya karena terburu-buru. Jins, kemeja flanel tangan panjang yang digulung sampai siku dan sepatu flat. Saya toh bukan ibu-ibu. Saya sepupu si Lilis, dan saya masih muda.
"Lilis sering bolos," kata sang wali kelas.
Saya melongo. "Bolos gimana, Bi?"
Saya memanggilnya 'bibi'. Sang wali kelas juga masih saudara jauh saya, tapi tidak bersaudara dengan si Lilis. Si Lilis dari pihak kakek, ibu wali kelas ini dari pihak nenek.
"Ya sering nggak masuk."
"Lho tapi dari rumah selalu berangkat pagi-pagi dan pakai seragam."
"Berarti dia pergi ke tempat lain. Nggak nyampe ke sekolah."
"Berapa kali bolosnya, Bi?"
"Terakhir ini lima hari berturut-turut nggak masuk."
"Hah?" Saya nyaris melompat dari kursi.
Lilis akhirnya mengaku, dia tidak ke sekolah melainkan pulang ke rumah orangtuanya. Dari sana, ia lalu kembali ke rumah saya menjelang sore, masih berseragam agar tidak ketahuan bolos.
"Kenapa pulang ke rumah emak kamu?"
"Sekolah teh geuning capek, Teh." Sekolah itu ternyata capek, katanya.
Saya menahan jengkel. "Memangna Lilis teh rek jadi naon mun teu sakola?" Memangnya Lilis mau jadi apa kalau tidak sekolah?
Anak itu malah angkat bahu.
Saya berusaha, oke?
Saya membujuk dia untuk terus bersekolah. Saya bahkan bilang, kalau dia pintar dan berprestasi saya akan membiayai dia sekolah bidan atau perawat. Saya sudah berunding dengan adik saya, dan kami sepakat akan patungan. Kebahagiaan besar buat saya kalau saya bisa memberi kesempatan seseorang untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya. Saya mungkin harus bekerja lebih keras agar bisa membiayai kuliahnya kelak. Saya mungkin harus menjadi seperti para orangtua yang menabung untuk biaya pendidikan anak-anaknya. Apa saya merasa terbebani? Tidak. Saya malah sangat bersemangat membayangkan Lilis, saudara saya, kelak menjadi bidan atau perawat. Pasti saya akan ikut bangga.
Supaya ia tidak capek, saya bahkan berlangganan ojek untuk mengantar-jemput dia.
Ternyata semua itu tidak cukup penting buat si Lilis. Segala tentang sekolah, kuliah, menjadi bidan. Segala tentang ilmu, cita-cita, masa depan. Segala yang sudah saya lakukan dengan penuh semangat. Ternyata cuma saya saja yang bersemangat, ia tidak. Padahal kurang apa saya? Waktu saya bersekolah dulu, saya bahkan jarang jajan di sekolah karena uang saku harian hanya cukup untuk ongkos bus pulang pergi. Sementara Lilis tak pernah kekurangan uang saku dan diantar jemput ojek setiap hari.
Kenapa ia tidak bersyukur dan bersekolah sungguh-sungguh supaya pintar? Kenapa malah kabur pulang ke rumah orangtuanya di gunung sana dan tidak mau kembali?
"Abdi mah alim sakola, Teteh. Ti kapungkur oge abdi mah palay didamel. Bapak nu maksa abdi sakola." Saya nggak mau sekolah, Kak. Dari dulu juga saya ingin bekerja. Bapak yang memaksa saya sekolah.
Saya mau bilang apa? Saya tidak bisa memaksa kalau memang ia tidak menganggap sekolah itu penting.
Lilis kembali ke rumah orangtuanya di kaki gunung. Membantu mereka di ladang atau menjaga adik-adiknya. Lalu beberapa bulan kemudian ia pergi ke Jakarta untuk menjadi pembantu. Dan baru minggu kemarin saya mendapat sehelai kartu undangan pernikahannya dengan seorang lelaki yang dikenalnya selama di Jakarta.
Saya mau bilang apa?
Saya sudah berusaha, sodara-sodara. Jadi jangan kalian berbisik-bisik di belakang saya, mengatakan bahwa saya ingkar janji dan keberatan membiayai sekolah Lilis. Saya bukannya tidak mendengar semua gerundelan itu ya, tapi seperti biasa saya diam saja.
Masa bodohlah. Terserah orang lain bilang apa. Tanya saja si Lilis kenapa ia putus sekolah. Tanya sekalian apakah pekerjaan sebagai pembantu di Jakarta lebih mentereng daripada profesi bidan atau perawat.
Saya toh sudah pernah memberinya kesempatan.
pict from here |
21 comments:
ya ampun...
kadang emang bingung ya ama orang yang udah dikasih kesempatan tapi malah gak dipergunakan dengan baik. padahal banyak orang lain yang pengen sekolah tapi gak bisa sekolah... :(
well to bad... that's her loss. yang penting lu udah berusaha ya no...
ya moga2 aja pilihan hidup dia bisa membawa kebahagiaan buat dia nantinya.... toh jalan hidup orang, siapa yang tau ya...
ckckckckck
itu yg ngegerundel gerundel pasti ga kasi sumbangsih apa2 cm asal "njeplak" aja
klo memang lilis cm jd pembantu, itu kan pilihannya dia untuk seperti itu, km jg gak akan bs maksain mbaa...
cheer up, niatmu sudah baik koq mba :)
jd ngebayangin jd org tua asuh jg deh aq :)
spertinya menyenangkan :)
kewajibanmu udah gugur, No. Insya Allah dihitung amal baik. amiin :)
aku ada pengalaman mirip2 juga. bedanya, ybs masih tetep mau sekolah tp ga niat belajar, nilainya jelek terusan, n maunya nggaya ngikutin trend pdhal ortu ndak mampu nurutin. dibilangin baik-baik, susah. dimarahi? ortunya yg diblackmailing ama dia. sama njengkelinnya kan? :D
begitulah Enno... pengalaman yg persis sama denganku, kita ingin mereka maju, mengupayakan yang terbaik untuk mereka sampai kita berkorban, dan kemudian terheran-heran kenapa mereka malah menolak dan memilih jalan hidup yg sepertinya kurang bagus untuk mereka.
tapi jalan pikiran kita dengan kebanyakan orang2 desa itu beda, prioritas mereka bukan untuk masa depan, yang ada di depan mata-lah yg mereka pikirkan, cth-nya Lilis yg tak tahan capek sekolah.. :)
Sabar ya Enno, atas bisikan orang2 dibelakangmu.. suka atau tidak memang akan selalu ada yg seperti itu. Tapi yang Maha Agung sudah mencatat amal baikmu..
sabar mbak enno...
bukan salahmu,Tuhan tau niat baikmu...
yah, semoga lilis sadar dan mungkin bakal nyesel ya kak..
aku sih gk bakal nyianyiain itu :)
kk baeg banget pasti ntar di bales deh sama Tuhan :)
Kalau ybs gak bersemangat ya susah No
U've done ur part and that's enough :)
Mbok ya aku dilanganin ojek gitu lhooo
aku kan pengen diantar jemput jugaaa
Teh Enno, siapakah diri kita? jawabannya adalah bagaimana kita menyikapi ujian setiap yang disodorkan pada kita setiap harinya. Bapaknya lilis yg minta tolong menguji kepedulian untuk membantu sesama. Lilis yang menolak pertolongan ujian untuk kemampuan untuk ikhlas. Orang-orang yg gerundel adalah ujian untuk melatih kemampuan menyaring serangan negatif. Setiap mampu melewati ujian level kematangan kita makin tinggi. Dan teh Enno sudah melewati ujian episode Lilis dg baik.
Kayaknya pikiran sebagian orang kampung, pendidikan itu tidak begitu penting.
Yang kepengen sekolah dibela2in susah payah biar bisa meraih cita2, giliran yang ga mau sekolah dapet kesempatan gede disia2in.
@arman: ya mudah2an pilihan dia adalah yg terbaik buat dia...it's ok laaah :)
@gloria: hehehe... ayo, jd ortu asuh! menyenangkan lho glo, jd ketularan semangat haha
@rona: wah na itu jg aku pny pengalaman... klo itu wkt aku di jkt... susah sih ya, namanya jakarta byk godaan gemerlap, jd si anak malah pgn ngikutin temen2nya yg lbh berada...
@vita: iya mbak, kdg heran, knp ya mrk ga mikir lbh jauh ke dpn.. tp rata2 memang org yg kurang mampu lbh mikir gmn caranya bs makan hari ini... sedih deh :(
@ika: iya ya... aku jg ikhlas kok :)
@adhel: iya ya dek, amin ya... kamu belajar yg rajin oke? :)
@eka: hihihi langganan ojeknya motor Harley biar keren, pasti mau ya? pret! :))
@anonim: iya, aku jg menganggap ini ujian... dan merasa ngelewatin dgn sebaik2nya... thx ya, btw kamu kok ga pake nama? :D
@wuri: iya, di jaman wajib belajar gini ternyata msh aja ada yg males sekolah... aneh ya :(
Masya ALLAH... seharusnya dia tinggal duduk manis mengikuti pelajaran di sekolah, kenapa malah gak mau.. #agak miris denger kalimat lilis yang gak mau sekolah dan lebih memilih kerja :(
Ada pepatah kasar yang bilang, "You can take a person out of the kampung, but you can't take the kampung out of the person."
Terjemahan halusnya, "Kita bisa berusaha menarik seseorang dari kebodohannya, tapi ada kalanya dia begitu kuat memeluk kebodohannya."
Yeah, hidup adalah soal pilihan. Tapi sayangnya nggak sedikit yang menjatuhkan pilihan keliru.
kalo menurutku itu masalah pilihan sih kak. ya biar gimana2 pasti pemikirannya beda,. apalagi dengan background orang desa yang terkadang lebih memilih hidup yang 'aman' daripada melakukan hal baru yang manfaatnya tidak bisa dinikmati saat itu juga :)
mbak... dunia emang aneh, ada yang susah susah mendapatkan sesuatu, ada yang dimudahkan malah disia-siakan. saya juga pernah menghadapi masalah serupa tapi tak sama.
pelajarannya adalah: bantulah orang yang benar2 butuh dan MENGINGINKAN bantuan kita.
huf, kecewa deh kalau niat baik kita tdk direspon positif. tapi at least kita sudah mencoba berbuat baik kan, Tuhan yang tahu. jangan patah arang mbak :)
Abdimah sok teu seep pikir mun aya jalmi anu alim sakola. Da saur abdi sakola teh rame, sakola teh ajang eksistensi. Leres teu teh?
Upami teteh masih hoyong pahala, sok atuh sakolakeun abdi. Nuju hoyong S3 ieu teh, mung nuju nimbang-nimbang gening awis. Sok sugan ari ku teteh diemutanmah abdi nyuhunkeun tulung. Hahaha #ditampiling
@belo: ya begitulah mpok... kita yg nyesel, dia enggak :))
@hoeda: mgkn bagi dia, itu pilihan tepat ya? hehe...
@armae: iya, setuju bgt sm kamu... mrk lbh mikirin yg jangka pendek,,,
@annesya: ah ga patah arang kok tenang aja :)
@apis: apah? minta dibiayain S3? *ngabaledog apis pake toren* :))
Hurting memang,udah berusaha tapi ternyata malah digrundelin di belakang.
But still, u've done ur best mbak Enno. Sincerelly, u've done great.
Cuma si lilis aja yang emang gak ada niatan untuk sekolah.
Tipe perempuan era sebelum kartini yang cuma tunggu dinikahin, dan cuma ngurus keluarga dengan setia. Ya mudah@an jadi istri yang bener2 setia. Jangan pas setelah nikah malah lebih gak keruan juntrungannya. nanti mbak Enno kena lagi deh. Hehehehhe.
idiiih, udah di biayain malah begitu. tapi Mbak Enno hebat. mau biayain anak orang , niatnya baikk banget :D
salam kenal Mbak Enno :)
@lita: iya tuh, tar aku kena lagi haha
@nonasan: salam kenal non :P
Lilis nggak sepenuhnya salah, karena dia ga ngerti kalau itu salah.
Lagian kenapa orang tuanya nggak lapor langsung ke K.Enno dari awal?
Ada orang2 di belakang Lilis yang perlu dipertanyakan juga.. nggak cuma Lilis yang terlalu naif.
Mmm.. itu menurut saya.
hahaha serius amat nes.... :))
Post a Comment