Wednesday, May 25, 2011

The Prince & The War

“Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa saya bertekad tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung dosa

(Babad Diponegoro, jilid 1 hal. 39-40).

……………….

Kalau keras kepala saya kumat, mendiang Ibu biasanya selalu mengomel, “Kok makin mirip Pangeran Diponegoro ya kamu ini!” Karena saya memang satu-satunya anak Ibu yang pemberontak, ‘mbalelo’ dalam istilah Jawa. Dan memang Pangeran Diponegoro kan seperti itu. Tidak mau naik tahta sebagai sultan Jogja karena yang mengangkat adalah Belanda, dan memilih menjadi oposan melawan penjajah.

Yang keturunan langsung Pangeran Diponegoro itu eyang putri saya, Sekaroem. Beliau keturunan ketujuh atau kedelapan, saya lupa. Ayah malah menyuruh saya bertanya pada kakak sepupunya di Pemalang, karena beliau yang menjadi juru catat silsilah keluarga. Pikir saya, kalau eyang putri masih keturunan langsung, mungkin namanya juga tercatat di Tepas Darah Dalem Kraton Jogja, yakni catatan silsilah semua keturunan sultan Mataram.

Apapun itu, saya cuma penasaran. Ketertarikan saya sebenarnya bukan soal keturunan siapakah saya, tapi pada tokoh Pangeran Diponegoro itu sendiri. Sejak saya melihat lukisan tentang penangkapan dirinya karya Raden Saleh di Museum Fatahillah. Sejak saya membaca di buku sejarah tentang Perang Jawa (Java Oorlog) yang beliau kobarkan, yang nyaris membangkrutkan pemerintah Belanda dan menewaskan separuh rakyat Jogja dan sekitarnya.

………………

Magelang, 28 Maret 1830

Namaningsun Kangjeng Sultan Ngabdulkamid. Wong Islam kang padha mukir arsa ingsun tata. Jumeneng ingsun Ratu Islam Tanah Jawi” (Nama saya adalah Kanjeng Sultan Abdul Hamid, yang bertugas untuk menata orang Islam yang tidak setia, sebab saya adalah Ratu Islam Tanah Jawa).

Itu yang diucapkan Pangeran Diponegoro saat berhadapan dengan Jenderal De Kock, ketika mereka saling menatap dan menilai satu sama lain.

“Jadi inilah jenderal penjajah itu,” pikir Diponegoro. “Pemimpin orang-orang yang selama ini menjadikan rakyat Jawa sebagai budak dan boneka. Yang menjadikan keraton Jogja sebagai kepanjangan tangan-tangan kotor mereka, bekerjasama dengan Patih Danurejo yang pengkhianat itu.”

“Lihatlah wajahnya yang tenang itu seolah begitu polos,” pikir De Kock. “Dibaliknya tersembunyi pikiran-pikiran yang membahayakan pemerintah Hindia Belanda. Pangeran bodoh ini menolak tahta raja demi idealismenya yang tak masuk akal. Mau jadi apa rakyat Jawa tanpa pemerintah Hindia Belanda? Mereka itu orang-orang bodoh yang tak bisa apa-apa. Seharusnya mereka berterimakasih kepada kami.”

De Kock berhasil memaksa mengadakan perundingan. Hari itu ia mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Pemerintah Hindia Belanda hampir bangkrut gara-gara perang sialan ini, pikirnya. Selain itu jumlah korban yang jatuh juga tidak sedikit. Korban yang tewas di pihak Belanda 15 ribu jiwa, dan biaya perang 20 juta gulden. Di pihak Diponegoro, total orang Jawa yang meninggal, baik rakyat jelata maupun pengikutnya 200 ribu orang. Padahal total penduduk Hindia Belanda waktu itu baru tujuh juta orang, dan jumlah itu berarti separuh penduduk Yogyakarta terbunuh.

“Saya tidak akan menghentikan perang sampai kalian meninggalkan tanah Jawa,” ujar Diponegoro tegas.

De Kock mencibir dan manggut-manggut. Tiba-tiba saja seluruh ruangan dikepung oleh para serdadu kompeni yang menodongkan senjatanya kepada Diponegoro dan sejumlah pengikutnya. De Kock rupanya sudah menyiapkan jebakan itu. Bersedia atau tidak untuk menghentikan perang, sang pangeran tetap akan ditangkap.

Dalam lukisan karya Raden Saleh digambarkan betapa sang pangeran tak sedikitpun merasa kalah. Ia mendongak dan menatap tajam kepada sang jenderal yang licik itu. Keris di pinggangnya tak disentuhnya, tangannya malah memilin tasbih tanda bahwa tak sedetikpun ia berhenti berzikir.

Yang tampak marah justru para pengikutnya. Mereka serentak memegang keris, siap dihunus untuk membela sang pangeran. Diponegoro meminta untuk tenang dan menyarungkan kembali keris mereka. Pihak Belanda bahkan takut dan terkesan dengan karismanya. Meski ia menjadi tawanan, Belanda memperlakukannya dengan hormat sesuai statusnya. Ia dibiarkan berjalan tanpa diikat. Bahkan kendaraan yang membawanya pun kereta kuda yang bagus.

……………………

Waktu saya mengunjungi bekas kraton Taman Sari di Jogja, laki-laki tua yang menjadi guide saya sepintas lalu mengatakan bahwa Pangeran Diponegoro memiliki tiga isteri. Empat sebenarnya, namun seorang meninggal dibunuh Belanda. Salah satu isterinya adalah putri Cina.

Saya jadi ingin tahu. Dengan mata sipit, tubuh kecil dan kulit yang waktu kanak-kanak seputih susu, apakah saya adalah keturunan dari istri yang putri Cina itu? Wah, apa saya harus ketemu pakde saya di Pemalang itu untuk mencari tahu ya? :)
…………………….

Kapal Pollux, 5 April 1830

Diponegoro menatap daratan yang semakin jauh ketika kapal yang membawanya pergi berlayar menuju tempat asing. Mereka akan membawanya ke Batavia setelah sebelumnya ia dibawa ke Ungaran kemudian menahannya di Gedung Karesidenan Semarang. Bersamanya ikut sebagian keluarganya. Salah satu isterinya, Raden Ayu Retnaningsih, pengikut-pengikut setianya: Tumenggung Diposono dan istri, Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno.

Hatinya sedih namun tetap tawakal. Ia tahu mungkin tak akan pernah lagi dilihatnya tanah Jawa sampai akhir hayatnya. Tak akan lagi ia dapat bersua dengan isteri-isterinya dan anak-anaknya yang lain, yang ia tinggalkan. Namun jika ini kehendak Allah, ia ikhlas. Ia yakin Allah akan melindungi mereka semua.

Ia benar. Belanda sudah memutuskan untuk mengasingkannya jauh dari tanah kelahirannya, dari rakyatnya dan orang-orang yang menjunjungnya sebagai raja yang sesungguhnya. 11 April 1830 mereka sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.

Pada 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro dan seluruh pengikutnya dibuang ke Manado. Bulan berikutnya, Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam. Empat tahun kemudian dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. Di Benteng Rotterdam, Diponegoro menulis "Babad Diponegoro" sebanyak 4 jilid dengan tebal 1357 halaman. Pada 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.

…………………………..

Kalau saya datang ke Jogja, maka rasanya selalu seperti pulang. Tadinya saya tidak pernah berpikir kenapa. Tapi sekarang saya kira itu mungkin semacam ikatan darah. Bahwa sebagai ranting, batang pohon dan akar saya ada di sana.

Mungkin itu sebabnya ketika saya bosan atau gundah, Jogja selalu menjadi tempat favorit untuk kabur sejenak dari rumah. Sampai saya hapal peta kotanya dan bisa membayangkan rute jalan rayanya.

“Nginep aja di Kraton. Mereka kan sodara lu,” kata seorang teman.

“Heh, lu kira kayak bertamu biasa? Ngetok pintu terus disuruh masuk? Lagian mereka nggak bakalan kenal sama gue. Keluarga eyang Roem udah lama sekali menjauh dari kraton.”

………………..

Keluarga Eyang Putri Sekaroem adalah keluarga berlatar belakang agamis. Saya tidak heran, karena leluhur mereka, Diponegoro memang seorang santri. Mereka tidak lagi menganggap penting keningratan mereka. Buktinya ayah saya dan saudara-saudaranyapun tidak mencantumkan gelar ningrat pada nama anak-anak mereka di dokumen formal.

Sebagai seorang yang berjiwa Islam, ia sangat rajin dan taqwa sekali hingga mendekati keterlaluan
 (Louw tentang Pangeran Diponegoro dalam De Java Oorlog Van 1825 – 1830)

Diponegoro lahir pada 1785 dengan nama kecil Raden Mas Ontowiryo, sebagai putra tertua dari Sultan Hamengkubuwono III. Ibunya, Raden Ayu Mangkarawati, keturunan Kyai Agung Prampelan, ulama yang sangat disegani di masa Panembahan Senapati sang pendiri kerajaan Mataram. Bila ditarik lebih jauh lagi, silsilahnya sampai pada Sunan Ampel Denta, salah satu walisongo dari Jawa Timur. Saat masih kanak-kanak, buyutnya, Sultan Hamengkubuwono I, meramalkan Ontowiryo akan menjadi pahlawan besar yang melawan orang kafir (di masa itu Belanda disebut ‘orang kafir’).

Karena tidak mau ahlaknya terpengaruh karena masa itu kraton penuh intrik akibat campur tangan Belanda, ibunya mengirim Ontowiryo ke Tegalrejo, sebuah pesantren dimana nenek buyutnya, Ratu Ageng, tinggal. Ontowiryo menyamar menjadi rakyat biasa supaya bisa bergaul dengan para petani dan santri, dan mulai mendalami agama.

Ontowiryo benci keglamoran istana. Ia hanya sowan pada ayahnya setahun dua kali, yakni Idull Fitri dan Garebeg Maulid. Ia menolak rencana ayahnya, Sultan Hamengkubuwono III untuk mengangkatnya sebagai putra mahkota dan naik tahta. Hak itu akhirnya diberikan pada adiknya, Raden Mas Ambyah alias Pangeran Jarot yang saat itu baru 13 tahun.

Belanda dan Patih Danurejo kemudian mematok tanah milik Diponegoro di Tegalrejo untuk dijadikan jalan raya tanpa pemberitahuan. Para pengikut Diponegoro mencabutinya. Diponegoro minta Belanda untuk mengubah rencananya tersebut. Juga untuk memecat Patih Danurejo. Namun, pada 20 Juli 1825, pasukan Belanda dan Danurejo malah mengepung Tegalrejo. Diponegoro mengungsikan warga setempat ke bukit-bukit Selarong. Di sana,di sebuah goa, ia mengorganisasikan pasukan. Perang pun pecah.

Yang masih mengherankan para ahli sejarah dalam dan luar negeri hingga hari ini adalah fakta bahwa perjuangannya didukung oleh ratusan kyai dan ulama. Padahal, pasca pembunuhan massal ulama dan santri oleh Sunan Amangkurat I tahun 1647, hubungan santri dengan kraton sangat tidak harmonis. Ternyata Diponegoro sebagai keturunan kraton sekaligus ulama berhasil mempersatukan kembali dua golongan tersebut.


….Ontowiryo diam
“Eyang Puteri besok aku akan hadap ayahanda Raja”
Aku tiada sedia menjadi Raja
Aku bukanlah putera permaisuri
Dan aku muak dengan Danureja
Yang injak tanah Jawa dengan akal buaya
Dia undang tentara Batavia
Sambil lupa di Madiun sana
Ada pemberontak bergaris panah
Dengan kutipan para Cina
Mereka membakar loji dan rumah wedana
Bersiap menuju Lasem
Tapi aku akan menyatukan mereka
Untuk siap mendekap cinta
Terimalah hormatku Eyang Puteri
Aku menolak jadi Raja
Dan aku adalah peneguh Pangeran Jawa
Yang dimatanya tersimpan mata cinta
Dan tidak dikalahkan Hujan Air Jingga
…Aku pamit Eyang Ratu
Salamku untukmu….

(Anton, Sajak-sajak Babad Diponegoro)


Arrest of Diponegoro by General de Kock on 28 March 1830, collection of Rijksmuseum Amsterdam.

Pangeran Diponegoro, leluhur saya yang hebat itu :)

Goa Selarong, markas pasukan Diponegoro



Image and video hosting by TinyPic

8 comments:

Gloria Putri said...

baca ini aq jd berasa hidup jaman penjajahan...masuk bgt feelnya :) wew.......have a nice day mba "mbalelo" hahahhahahahahhaha
piss #acung_2_jari

TS Frima said...

babad diponogoro ya...
manteb deh postingnya.

sayamaya said...

wah, tyt msh keturunan diponegoro, pantes rada keras kepala.
hihihi....
coba org2 di pemerintahan kita macam diponegoro, beugh... kurasa negara kt sdh masuk dlm jajaran negara maju.

ika puspita said...

bercerita tentang sejarah tetapi tidak membosankan..
menikmati setiap kata dan kalimat yang membawa imajinasiku terbang....
bagus mbak ceritanya......
i like it.......

Chici said...

Wah mbak, lagi-lagi dapat menikmati sejarah dengan gaya nulis mbak yg asik, apalagi yg diseritakan kakek buyut sendiri (>o<)b

Enno said...

@glo: hehehe :P

@ra-kun: tengkyu ;)

@maya: stubborn itu penyakit turunan ya? hehe... jaman dulu aja cuma diponegoro doang yg gtu, apalagi jaman skrg may :D

@ika: tengkyu ka :)

@chici: iya, berhub pada jrg yg inget sm sejarah, jd aku nulis ttg sejarah deh hehhe

Matahari said...

Mbak Enno apa mendiang ibu mbak orang Jawa juga? Aku sempet berfikir kalo mbak ini ibunya orang Sunda krn di beberapa postingan, mbak suka dipanggil teteh juga.

Enno said...

@matahari: iya bener, ibu saya memang org sunda,dan saya dibesarkan dengan bahasa ibu... :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...