Saturday, May 21, 2011

Black Saturday

Saya sudah tak punya ibu, bukan berarti kalian bisa memarahi dan menudingkan telunjuk kalian ke muka saya seenaknya. Bukan berarti saya tidak bisa marah.

Saya tak lagi punya tempat mengadu, bukan berarti kalian bebas mencerca dan mencari-cari kesalahan yang tidak saya perbuat. Saya tak lagi punya ibu, bukan berarti saya terima diperlakukan begitu.

……………………………..

Gara-gara Usi. Ini gara-gara mulut embernya yang seenaknya bercerita dengan gaya hiperbola. Sehingga perempuan itu tiba-tiba menudingkan telunjuknya kepada saya dan membentak dengan nada sengit.

“Kamu nggak boleh gitu dong! Itu kan keponakan Abah. Kalo sama keponakan kamu sendiri, kamu boleh bersikap begitu. Sama keponakan Abah nggak boleh gitu!”

FYI, Abah ada panggilan untuk mendiang kakek, ayah dari ibu saya.

Saya mengerutkan kening. Bersikap seperti apa? Memangnya apa yang sudah saya lakukan? Mengusir sepupu Anda yang merepotkan itu? Yang hampir setiap hari Minggu suka datang ke rumah membawa rombongan keluarganya dan menghabiskan nasi dan lauk pauk yang saya masak untuk ayah saya? Yang pulangnya selalu minta ongkos dan kalau jumlahnya tidak sebesar keinginannya ia tidak akan beranjak dari kursinya?

Saya tidak pernah dan tidak AKAN pernah mengusirnya, meskipun saya menganggapnya pengacau hari minggu saya yang tenang. Karena tentu saja saya menyadari bahwa ia, sepupu Anda itu, juga adalah saudara saya. Saya bukan orang kasar dan tak tahu sopan santun, sekalipun saya mungkin agak pemarah. Saya tidak akan pernah membuat orang menuduh mendiang Ibu tidak mengajari saya kebaikan dan ketulusan.

Hari itu saya hanya bertanya padanya, “Lho, Paman kok kesini? Uang sumbangan kami untuk pernikahan anak Paman sudah Paman terima kan?” Apa itu artinya saya tidak memperbolehkan dia masuk ke rumah saya? Saya hanya khawatir uang itu tidak sampai ke tangannya ketika saya menitipkannya pada seorang kerabat.

Gara-gara Usi. Bercerita dengan hiperbola seolah-olah saya berbuat kasar. Saya melirik tajam padanya. Usi buru-buru menunduk.

Perempuan itu masih menudingkan telunjuknya ke muka saya. Di depan saudara-saudara yang lain, seolah-olah saya ini seorang pesakitan. Hati saya perih. Nelangsa. Setelah ini saya pasti hanya bisa menyimpan sakitnya sendirian. Tak ada Ibu tempat biasa saya mengadu. Tak ada lagi tempat saya berlindung.

“Itu masih paman jauh kamu lho!” Yang lain akhirnya ikutan menuduh.

Iya. Itu masih paman jauh saya. Lalu kenapa? Saya ingin teriak. Kalian tidak perlu mendengung-dengungkannya di kuping saya! Tak perlu membawa-bawa nama Abah!

Memangnya kalau dia keponakan kakek saya ada pengaruhnya buat saya? Memangnya saya lalu akan bersujud menghormatinya demi seorang kakek yang pernah menudingkan telunjuknya di muka saya dan mengatai saya anak penyakitan tukang bikin repot orangtua? Hah! Yang benar saja. Sejak ia berkata begitu pada Enno kecil berumur 10 tahun, saya sudah kehilangan rasa sayang saya padanya. Jadi tidak usah menjual namanya demi keponakannya itu!

Kalau sedang menahan marah biasanya badan saya gemetaran. Usi melihat tanda-tandanya. Ia buru-buru memperbaiki ceritanya. Tapi kerusakan sudah terlanjur terjadi.

“Itu keponakan Abah. Kalau keponakan kamu sendiri sih nggak apa-apa kamu mau kayak gimana juga.”

Saya tak tahan untuk tersenyum sinis mendengarnya. Memangnya apa selalu Anda berikan buat sepupu Anda itu? Anda memberinya uang? Memberinya makan dan oleh-oleh setiap minggu?

TIDAK.

Apa yang pernah Anda berikan padanya? Anda tidak pernah dan tidak AKAN pernah memberinya apa-apa, sekalipun bertemu dengannya setiap hari. Sayalah yang mengurus semua itu. SAYA. Bukannya saya sedang berhitung untung rugi. Bukannya saya tidak tulus memberi.

Ini bukan tentang keponakan Abah yang kedatangannya toh sudah saya anggap sebagai kesempatan beramal pada orang lain. Saya cuma ingin mengingatkan Anda untuk bercermin sebelum bicara. Bukan Anda yang didatanginya setiap minggu. Bukan Anda yang dimintai uang entah untuk membeli apa. Bukan Anda yang makanannya diserbu sampai tandas. Bukan Anda yang kebingungan memikirkan oleh-oleh untuk dia bawa pulang.

Terkadang saya bosan. Terkadang kesal. Tapi saya tak sekalipun mengabaikan, tak sekalipun membuang muka, tak sekalipun melarangnya datang. Saya selalu peduli padanya sekeluarga. Kenapa saya masih saja dianggap memperlakukannya tidak baik?

Padahal Andalah yang selalu memperlakukan orang tidak baik. Menuduh saya mengasari keponakan seseorang. Tapi apa yang Anda lakukan pada keponakan Anda sendiri? 


Ngomong-ngomong, masih ingat Enno kecil yang menangis karena dilarang berlari-lari di dalam rumah dan Anda katai ‘dasar Jawa’? Well, itu ‘hinaan’ yang tidak akan pernah saya lupakan.

………………………………………

Beberapa teman saya sering mengingatkan untuk tidak menulis kalau sedang marah. Karena kata mereka, kata-kata dalam tulisan saya jadi 'mengerikan.'

Tapi saya menulis untuk menenangkan diri. Buat saya menulis adalah terapi. Apalagi sejak kepergian Ibu, rasanya terlalu berat hanya menyimpannya dalam hati.

Saya bukan orang yang suka menjaga imej di depan orang lain, hanya supaya dianggap manis dan imut. Saya bukan orang yang suka memakai topeng dan wajah palsu. Saya suka menjadi diri saya sendiri. Kalau orang lain jadi menjauh karena itu, berarti mereka memang tidak cukup berharga untuk menjadi teman saya. Berarti mereka tidak cukup baik untuk menilai mana orang yang jujur, mana yang berhati palsu.

Sekian.

pict from here



Image and video hosting by TinyPic
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...