Monday, January 17, 2011

Jogja. My Untold Story

Kafe Internet. Chat room.

"Pop, di sebelah gue ada Prancis ganteng. Lagi ngobrol di telpon. Aduh bawel ternyata ya orang Prancis itu. Berisik banget, gue lagi posting pula!"
"Hahaha... Jitak aja, Nooo."
"Anjrit! Barusan dia nelpon lagi pake bahasa Indonesia! Fasih banget lagi! Untung aja kita ngomongin dia di chat room. Dia bisa ngerti kita ngerumpiin dia."

Belakangan saya tahu nama si Perancis itu Jean-Pierre. Nama yang sangat umum di Perancis sana. Ia tersenyum pada saya di kedua kalinya pertemuan kami di kafe internet itu.
Kamu dari Jakarta? Tanyanya. Ah, tampak jelas rupanya tampang anak Jakarta saya! Dia langsung bersikap kagum dan hormat ketika tahu saya jurnalis. Oui monsieur, jangan macam-macam sama saya.

Ini terakhir kali saya menikmati Indonesia. Besok saya pulang ke Perancis, katanya. Rupanya ia ekspatriat di Jakarta. Oooooh, pantas bahasa Indonesiamu lancar bener, monsieur! Hahaha...

_____________________

Benteng Vredeburg, coret.


Ah sebel! Sudah capek-capek memanggul ransel saya yang beratnya terasa seperti 100 kilo ke Benteng Vredeburg, ternyata saya tidak bisa masuk. Itu kan hari Senin, kata penjaganya, khusus hari pengunjung rombongan. Sempat sih berpikir memohon kebijaksanaan, atau menggertak dengan kartu anggota PWI saya, atau melancarkan bujuk rayu senyum maut saya (cih!), hahaha....

Tapi malas ah. Biar itu jadi utang Jogja pada saya saja. Supaya kalau saya datang lagi, masih ada tempat-tempat yang bisa saya susuri.

Saya lalu jalan kaki ke pasar Beringharjo yang letaknya dekat sekali dengan Benteng. Bukan untuk belanja, tapi untuk memotret. Sampai-sampai beberapa penjual menggoda saya. "Mbak'e, lha saya kapan difotone je? Saya juga mau lho disuruh bergaya."
Hahaha.

Sayangnya saya nggak begitu suka belanja kalau memang tidak perlu, sih (kata Ucup, karena saya bukan cewek). Jadi datang ke sini, saya cuma melihat-lihat dan menikmati suasana pasar khas Jawa. Bahasa jawa dimana-mana, yang sudah lama tidak mampir di kuping saya. Senda gurau khas orang Jawa, dan suara gamelan lamat-lamat entah dari kios mana.

Tapiiii... sebagai catatan buat yang suka belanja, pasar batik Beringharjo paling asyik untuk mencari segala macam jenis batik dan kerajinan dengan harga lebih murah (juga tetap bisa ditawar) dari Malioboro dan pilihan yang lebih banyak.

Kalau mau batik sekelas butik, dengan model dan motif unik tapi harganya tetap terjangkau, di seberang Beringharjo ada toko batik empat lantai bernama Mirota Batik. Di sini pasti asyik buat orang-orang yang awam dengan suasana khas Jawa, karena ada kereta kuda kuno, dupa, penyambut tamu dengan pakaian ala abdi dalem (sayangnya nenek-nenek hehe) dan gending sayup-sayup bak sedang berada di kraton.

Dari Beringharjo saya jalan kaki, kembali ke utara. Dengan si ransel yang beratnya bikin punggung mau patah. Padahal saya tidak merasa membawa banyak barang. Hanya beberapa pesanan suvenir dan tshirt untuk orang-orang rumah. Sesekali saya beristirahat, duduk di kursi beton pinggir jalan sambil mengipas-ngipas muka. Terpikir juga sih, saya kok kayak gelandangan beneran ya?

Lama-lama saya capek jalan kaki, lalu ada tukang becak menawari saya tumpangan. Saya tawar 10 ribu rupiah ke stasiun kereta, karena jam keberangkatan saya jam setengah satu siang. Tadinya si mas becak tidak mau. Saya kasih senyum maut, nah luluh deh. Hihihi.
Sampai di stasiun kan baru jam 10 tuh, jadi saya tidur dulu sambil memeluk ransel di kursi tunggu. Bener-bener gelandangan! Hahaha...

Untungnya kereta api ekonomi yang saya tumpangi tidak penuh. Saya kebagian tempat duduk, di tengah orang-orang yang alhamdulillah ramah-ramah. Bapak yang duduk di depan saya menolong saya menaruh si ransel berat ke rak barang di atas tempat duduk. Mbak-mbak di sebelah saya juga senang ngobrol dan bercanda. Hal-hal seperti ini yang membuat saya lebih suka transportasi kelas ekonomi. Rasanya seperti seperjalanan dengan tetangga sendiri.

Well, perjalanan pulang yang menyenangkan, meskipun saya baru sampai stasiun dekat rumah saya jam sembilan malam!

...................

The untold story.


Kayaknya banyak hal-hal kecil yang belum saya tulis tentang petualangan saya. Misalnya tentang suami isteri pemilik losmen yang saya tinggali. Di hari pertama saya menginap, saya seram melihat wajah si bapak. Dia ganteng tapi tanpa senyum. Jadi kesannya angker. Berbeda dengan isterinya yang ramah keibuan, sangat khas Jogja. Tapi anehnya si bapak yang angker itu penyayang kucing. See? Betapa tidak matchingnya gaya angker dengan binatang favoritnya. Mestinya penyayang macan kek, buaya kek, atau anjing doberman paling tidak. Ya kan?

Kucingnya jantan berbulu kuning dan manja sekali. Selalu minta dibelai dan dipangku. Kebetulan saya dan Ari penyuka kucing. Si bapak mungkin melihat kami suka bermain dengan si bulu kuning itu. Setelah itu dia jadi ramah pada kami, lho. Hehehe.

Lalu waktu kami ke Kraton kemarin, kami melihat tiga orang laki-laki sedang duduk sambil berkomat-kamit di depan sebuah sumur di sudut halaman depan kraton. Di depan mereka ada sesaji kemenyan dan bunga-bunga. Saya dan Ari mengintip mereka dari balik kaca museum foto-foto raja. Ingin memotret mereka, tapi takut ketahuan.

"Itu apa sih Ri, yang mereka baca komat-kamit?"
"Ya mantera."
"Memangnya sumurnya keramat?"
"Ya iya, makanya mereka tirakat disitu."
"Kalau keramat mestinya nggak dipasangi pompa air dong. Tuh, ada sanyo-nya!" Saya menunjuk pompa air bertabung merah di atas atap sumur.
"Hehehe... ya nggak taulah. Udah dimodernisasi kali."
"Kita foto yuk!"
"Iya tapi susah, kita mesti bener-bener melongok dari jendela. Nanti malah ketauan."
"Iya ya, udahlah kasian. Biar aja, nanti mereka malah malu."

Jogja beda dengan Bandung, Jakarta, Medan atau Surabaya. Yang kayak begini ini pasti banyak ditemui. Jangan kaget ya.

Selama jalan-jalan sendirian di sini (kalau Ari sedang tidak bersama saya), semua orang suka memandang saya heran.
"Kok sendirian, Mbak?"
"Saya memang liburan sendirian kok."
"Wah, berani ya mbak ini."
Alaaah... memangnya Jogja di planet mana sih, Pak? Hehehe...

Karena saya selalu kelihatan keluyuran sendiri, mereka jadi hapal pada saya yang keren ini hehe. Hampir semua penjual makanan di sepanjang Sosrowijayan saya kenal. Waktu saya mau pulang, berjalan sambil menggendong backpack saya menuju halte Trans Jogja, mereka semua melambaikan tangan waktu saya pamitan.
"Sugeng tindhak (selamat jalan), Mbak. Lain kali kesini lagi bawa teman-temannya ya Mbak! Hati-hati di jalan!"

Oh iya, untuk yang sedang belagak gembel seperti saya, kalau menginap di kampung turis seperti Sosrowijayan atau Prawirotaman, jarang bisa mendapatkan makanan dengan harga murah, semurah harga untuk kaum mahasiswanya. Maklum, di kampung turis atau kawasan tempat wisatawan menginap, biasanya juga banyak bule. Jadi harga disesuaikan dong ah.

Di hari kedua, saya membeli sarapan sebungkus nasi gudeg harganya sepuluh ribu. Rasanya tidak enak pula! Padahal saya sudah berbahasa jawa dengan si mbah penjual gudeg, sampai amazing sendiri! Tetap ketahuan turis! Hihihi...

"Harganya sepuluh ribu Ri! Amit-amit! Kan bukan di warung atau rumah makan. Ini di pinggir jalan!"
"Itu murah. Masih mending kamu nggak dikasih harga 25 ribu. Kalau sama bule ya segitu."
"Hah? Gudeg nggak enak gitu? Lagian masa ngambil gudeg dan lauk-lauknya pake tangan telanjang, bukannya pake sendok. Jorok!"
"Lho No, kan khasnya penjual gudeg memang begitu. Masa nggak tahu?"
"Ih! Jorok ya tukang gudeg disini!"

Saya punya trik. Kalau mau sarapan, sambil jalan-jalan pagi, keluar masuk perkampungan penduduk sekitar yang bukan kawasan penginapan turis. Pasti ada penjual sarapan pagi seperti nasi kuning, nasi gudeg atau serabi yang harganya lebih murah, karena biasanya pembelinya penduduk atau mahasiswa kost. Untuk makan malam, ada banyak angkringan (yang terkenal itu di dekat stasiun Tugu). Kalau di tempat ini sih harganya biasanya memang murah, soalnya mahasiswa juga senang nongkrong sambil makan malam.

By the way, buat yang nggak bermaksud liburan low budget dan tetep ingin ke kafe ya monggo. Untuk ukuran orang Jakarta seperti saya, harga makanan di kafe-kafe Jogja terhitung murah lho! Sekalipun pengunjungnya banyak bule, tapi mereka nggak aji mumpung.

Saya juga punya saran untuk yang suka belanja. Barang-barang yang dijajakan di sepanjang jalan Malioboro harus ditawar dengan gigih supaya bisa mendapatkan harga murah. Caranya tawar dulu sepertiga dari harga yang diajukan penjualnya. Misalnya 15 ribu rupiah, tawar dulu 5 ribu. Biasanya kita akan mendapatkan barang itu seharga 7.500 rupiah. Kalau langsung tawar setengahnya? Kita malah akan dikasih harga 10 ribu! Hehehe

Well. Saya masih capek. Kaki saya bengkak karena di sana terlalu banyak berjalan kaki. Ceritanya dilanjutkan nanti. Jadi saya mau tidur dulu ya! See ya!


Benteng Vredeburg, foto sementara ^^



Image and video hosting by TinyPic

8 comments:

Bedjo said...

Mbakyu Enno, aku mau tanya, soalnya mau ke Jogja juga.
Itu biasanya kan ada pementasan ballet ramayana ya? Itu dimana sih? apa pertunjukannya ada tiap malam?

Makasih ya...

Edo Belva said...

hahaha...seru ya kayaknya,
atau emang mbak enno nya yang bikin seru? hehe,

ngomong2, yang ramayana adanya di candi prambanan...dan setau saya sih ada nya pas bulan purnama gitu, ..

Enno said...

@bedjo: bukan balet, tapi sendratari. Di panggung terbuka & tertutup candi Prambanan. pertunjukannya tiap Selasa, Kamis dan Sabtu, pukul 19.30.
Harga tiket: 250 rb (VIP & khusus di Panggung terbuka), 175 rb, 150 rb, dan 75 rb. untuk pelajar 20 rb (minimal rombongan 30 org).
untuk jadwal, coba lihat ke situs ini:
http://berita-it.com/jadwal-sendratari-ramayana-prambanan-2011/

met nonton yak! :D

@edo: kalo backpacking selalu seru do! cobain aja :D

@ra-kun: hai juga, sibuk ya :)

Ceritaeka said...

Nangis...
Kangen Jogja, makin kangen baca ini.
Eh kafe2 di Jogja emang murah2 siy.
Btw dpt kontak si Jean-Pierre? Kali2 jodoh hahahha

Enno said...

@eka: haha kalo elu singel kyk gw pasti dah minta kontaknya ya? ga usah dijawab. gw dah tau jawaban lu. pastiii... :))

shinta said...

brapa hari mbae disana,,
aq ngantuk nonton sendratari,,
lebih suka jalan2 nya

hahhaha

Enno said...

tiga hari shin.. iya aku jg males nonton sendratari... mendingan jalan2...

:P

sayamaya said...

haha.. org dsni emang suka asing klo liat org jln sndr. krn biasanya minimal bedua ato pake motor.
klo dibaca dr postingan km ini, km udah ngerti gmn jogja. nilai 8 deh buat enno, hehehe

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...