Morning Blues

Aku mengundangmu, pejalan dari negeri pagi. Menjenguk ke dalam hatiku saat kita berpapasan di tepi waktu. Menyisihkan untukmu sebuah sudut, meski mungkin kau hanya sekedar singgah.

Kau bisa menaruh tasmu di meja itu dan menikmati sarapan bersama rinai gerimis pagi yang mencuci galau semalam. Membiarkan biji-biji rumput teki tumbuh lagi di halaman, menguarkan wangi tanah bercampur matahari yang baru tiba.

Dalam diriku ada banyak hal yang bisa kau ambil sebagai bekal. Akan kudaraskan doa-doa panjang untuk perjalanan. Atau kau masih mau sepotong kue itu? Bawalah. Itu terbuat dari harapan dan angan-angan. Membuatmu terus berderap sampai tujuan.

Because He knows—and
Do not You—
And We know not—
Enough for Us
The Wisdom it be so— *

Akan kutemani kau sampai ke ujung jalan. Memberimu genggaman selamat tinggal. Tidak akan sepedih yang semestinya. Karena kita bahkan tak punya perjanjian apa-apa, selain senyummu yang kau tukar dengan senyumku.

Pagi masih panjang, dan embun masih memeluk manja dedaunan itu. Aku berharap kau menetap suatu hari, ketika kue harapan itu tak bersisa lagi. Pulanglah ke sini. Kusiapkan meja untukmu sarapan. Lagi. Mungkin makan siang. Dan makan malam dengan lilin-lilin di atas meja.

Kita tidak hanya akan bertukar senyum dan cerita. Tapi juga hidup. Hingga seabad kedepan.

Kutunggu.

the poem above was Emily Dickinson's, Why do I love You Sir? And the pict from here