Cukup bagiku hadirmu
membawa cinta selalu
lewat warna sikap
kasihku kau ungkap
tlah terjawab
-Cinta Putih, KLA Project-
................
Saya suka padanya sejak pertama kali melihatnya memetik gitar sambil menyanyi pelan di beranda depan sana. Denting-denting yang jernih dan suara yang merdu membuat saya melintasi halaman, menyeberang jalan dan tiba-tiba saja sudah berdiri di depan pagar rumah besar itu.
"Suaranya bagus," kata saya sambil nyengir.
Saat itu umur saya baru 18. Lulusan SMA dan baru seminggu menjadi mahasiswa. Masih seorang gadis yang sangat spontan dan tak berpikir panjang kalau melakukan sesuatu.
Ia berhenti menyanyi, menatap saya heran, lalu tiba-tiba senyumnya merekah lebar. "Retno kan? Yang kost di seberang situ?"
"Kok Mas tahu nama saya?"
"Kamu kan suka ketawa-ketawa di depan sana sama teman-temanmu. Aku tanya sama ibu kostmu siapa anak yang riang gembira setiap hari itu. Katanya namanya Mbak Retno. Anak Jakarta."
Tiba-tiba saya jadi malu.
Ia tertawa. "Nggak usah malu. Bagus kok. Sejak ada kamu, kost depan itu jadi nggak sepi lagi. Sini masuk."
Saya masuk dan duduk di undakan teras. "Itu tadi lagunya KLA Project kan?"
"Iya. Cinta Putih. Suka KLA Project juga ya?"
"Iya, suka. Boleh request lagu KLA Project yang lainnya nggak?"
Ia tergelak. "Anak Jakarta itu memang begitu ya. Terbuka dan terus terang." Lalu ia kembali memetik gitarnya. Mengalun melodi yang saya kenal. "Ini mau?"
Saya mengangguk penuh semangat.
Namanya Wigo. Anak Jogja. Fakultas Biologi, dua tahun lebih senior dari saya. Ia memenuhi semua angan saya tentang lelaki idaman saat itu. Waktu masih abege saya memang mudah tertarik pada lelaki yang pintar nyanyi dan main musik. Saya ingin punya pacar yang bisa memainkan alat musik, agar bisa mengiringi saya menyanyi. Dulu itu benar-benar harapan yang murni, meskipun sekarang saya menganggapnya konyol dan 'dorama banget'.
Wigo memang tidak seperti Kang Mu Gyul di drama 'Mary Stayed Out All Night' yang diperankan Jang Geun Suk dengan sangat keren. Wigo tidak seganteng Mu Gyul, tidak sejangkung dan sekurus dia, tidak bergaya bohemian, dan tidak berambut gondrong dicat coklat terang. Tapi ia punya karisma yang sama dan suka menenteng gitar kemana-mana.
Sejak itu ia sering datang ke beranda rumah kost saya sambil menenteng gitarnya. Pagi-pagi kalau kami kuliah siang, malam-malam kalau kami libur esoknya. Saya dan teman-teman kost sering memintanya memainkan lagu-lagu yang sedang hits saat itu. Kami menyanyi dan ia memetik gitar. Ia selalu duduk di depan saya, dan memetik gitar sambil menatap saya.
Suatu hari ia datang bersama seorang temannya. Namanya Haris. Fakultas dan angkatan yang sama dengannya. Akhirnya Haris sering ikut datang ke kost kami. Nimbrung dengan yang lain. Mengobrol atau menyanyi, kadang-kadang ia yang memetik gitar meski tidak sepandai Wigo tentu saja.
Saya dan Wigo punya banyak kesamaan. Suka menyanyi, suka membaca, suka gunung dan menyepi di kamar. Isi kamar kostnya nyaris serupa dengan kamar kost saya. Poster-poster pemusik, novel-novel di rak, kliping kumpulan notasi dan lirik lagu, dan bantal besar kesayangan di lantai.
Hanya satu yang membedakan kami. Keyakinan. Hari minggu pagi ketika saya berangkat ke pengajian kampus, saya selalu berpapasan dengannya yang membawa Alkitab. Kami akan berjalan bersama sampai di pertigaan dekat kampus lalu berpisah. Saya berbelok ke mesjid kampus dan ia akan meneruskan langkahnya menuju gerejanya.
Tadinya itu tidak pernah menjadi masalah. It's not a big matter. Saya selalu menunggu kapan hari bahagia itu terjadi, ketika ia akhirnya menyatakan cinta. Tanda-tandanya sudah terlihat. Bahkan kepada beberapa teman, ia sudah mengakui perasaannya pada saya.
Itu tidak pernah menjadi masalah, sampai suatu hari tiba-tiba ia menjauhi saya. Pindah kost begitu saja tanpa bilang apa-apa pada saya. Begitu mendadak, sampai ibu kostnya pun heran. Dan itu semakin menjadi masalah ketika malah Haris yang menyatakan cintanya kepada saya.
Saya hanya terpaku saja di beranda itu. Sama sekali mengabaikan Haris yang menatap saya dengan wajah tegang, menunggu jawaban. Saya malah bertanya. "Mas Wigo kenapa pindah?"
"Katanya bosan, kepingin suasana baru."
"Tapi kenapa nggak pamit sama aku?"
"Aku nggak tahu. Terlalu sibuk mungkin."
"Pasti ada yang salah." Suara saya pecah menahan tangis. "Ada apa sebenarnya? Mas Wigo benci sama aku ya?"
Saya, si gadis 18 tahun yang masih naif waktu itu belum pernah merasa begitu merana dan kehilangan. Saya terisak-isak dan lari ke kamar. Menangis keras-keras dengan mulut ditutup bantal besar agar tidak ada yang mendengar. Saat itu saya tahu ada yang tidak beres, tapi saya tidak tahu bagaimana cara mengetahuinya.
Kalau saya yang sekarang, pasti akan mencari dia ke rumah kost barunya dan bertanya kenapa ia bersikap begitu. Tapi si gadis 18 tahun itu terlalu tak percaya diri untuk berbuat begitu. Ia hanya keluar untuk pergi kuliah, selebihnya mengurung diri di kamar sambil mendengarkan lagu-lagu KLA Project.
Sampai suatu hari seorang teman kost saya datang membawa kabar.
"No, buka pintunya cepat! Aku tahu kenapa Mas Wigo pindah!"
Tantri, teman saya, langsung menerobos masuk setelah saya membuka pintu.
"Aku ketemu Mas Wigo di perpustakaan pusat barusan. Lalu aku tanya kenapa dia pindah. Kata Mas Wigo, dia sayang banget sama kamu. Tapi kamu nggak mungkin nerima dia karena beda agama. Kamu nggak mau pacaran sama yang beda agama. Gitu katanya."
"Tapi aku nggak pernah bilang begitu! Siapa yang bilang begitu sama Mas Wigo? Itu bohong! Fitnah!"
"Lho, kata Mas Wigo, kamu bilang gitu sama Mas Haris!"
"Apa?!"
"Mas Haris bilang sama Mas Wigo, dia juga suka sama kamu. Jadi kata Mas Wigo, kamu pasti lebih milih Mas Haris yang satu keyakinan. Jadi Mas Wigo pindah. Dia nggak mau lihat kamu diapelin Mas Haris."
Jadi begitulah ternyata. Haris biang keladinya.
Saya berdiri di depan Haris yang tengah duduk di beranda, menunggu sejak tadi. Menatapnya dengan ekspresi dingin. Saya ingin sekali memukulnya. seperti biasanya saya lakukan saat masih kanak-kanak pada setiap anak lelaki yang mengganggu saya. Tapi saya sudah mahasiswa, tidak bisa berbuat seperti itu lagi.
"Retno..."
"Kamu ngapain ke sini? Nggak perlu menunggu jawabanku, karena seharusnya jawabannya sudah jelas. Aku cuma suka sama Mas Wigo, bukan kamu."
"Ada apa? Duduk dulu..."
"Nggak perlu. Kamu aja yang berdiri dan pulang sekarang juga. Aku nggak mau lihat muka kamu lagi. Tukang fitnah! Menghancurkan hubungan orang lain. Puas ya bikin teman kamu sengsara? Dari dulu sampai sekarang pun aku nggak pernah suka sama kamu. Apalagi setelah tahu kamu brengsek! Nggak usah kesini lagi. Nggak usah negur aku kalau ketemu di jalan. Silakan pergi. Itu pintu keluarnya!"
Haris melongo melihat saya menudingkan telunjuk saya ke pintu gerbang. Ia berjalan melintasi halaman dengan wajah menunduk. Itu adalah terakhir kalinya saya melihat dia. Sepertinya sejak itu ia benar-benar menghindari saya.
.....................
Satu semester kemudian. Halaman perpustakaan pusat.
"Retno!"
"Eh, halo Mas! Apa kabar?"
"Baik. Kamu tambah kurus. Ambil banyak mata kuliah ya? Capek?"
Ia masih perhatian seperti dulu.
"Mau pulang kan? Dengar-dengar kamu pindah kost ke perumahan dosen ya? Mau bonceng motorku? Mau ya?"
"Ah, sekarang punya motor ya! Asyik, aku mau! Ayo antar!"
Saya duduk di boncengan motornya, menikmati angin sore yang meniup rambut saya sampai berantakan.
"Maaf ya, nggak bawa helm cadangan. Kirain nggak bakal ketemu kamu."
"Aku dulu suka sama Mas Wigo."
"Eh, apa?"
"Dulu."
Ia terdiam.
"Maaf. Cuma mau bilang saja. Supaya nggak salah paham lagi."
"Aku yang harus minta maaf karena mudah percaya sama omongan orang."
"Nggak usah dipikirin ya omonganku tadi. Nggak enak sama pacar Mas Wigo."
Ia menatap saya lewat kaca spion. Entah kenapa matanya kelihatan sedih.
"Aku tahu Mas Wigo sekarang punya pacar. Tantri pernah cerita."
"Kalau yang ini nggak berjalan seperti yang kuharapkan, aku akan cari kamu."
"Nggak usah." Aku menepuk pelan bahunya. "Mas nggak usah kasih harapan lagi. Sudah cukup patah hatiku kemarin. Anggap aku adik aja. Ya?"
Saat itu saya masih mencintainya. Tapi saya tahu segalanya tak akan bisa diperbaiki lagi sejak mendengar ia akhirnya pacaran dengan teman segerejanya yang sudah lama menyukainya. Saya pernah menyesali kenapa waktu itu tidak datang mencarinya, mengkonfirmasi berita bohong itu, sehingga kisah kami bisa berakhir bahagia. Tapi itulah takdir.
Ini adalah kisah pertama kalinya saya patah hati. Oleh seorang lelaki yang nyaris sekeren Kang Mu Gyul. Yang mengajari saya lagu Cinta Putih, yang kemarin saya nyanyikan di karaoke Happy Puppy Jogja, yang sukses membuat Ari, Ridwan dan Tya bengong.
Tentu saja tak ada lagi cinta buat dia. Yang ada hanya kenangan.
13 comments:
Duh, patah hatinya parah juga :(
Jadi inget yang dulu bikin patah hati saya juga :(
*curcol
apa ini kisah nyata no?
soalnya gua mau komen kalo ceritanya bagus. tapi kalo kisah nyata, komen gua jadi gak berperikemanusiaan dong ya. hehehe.
well maksud gua, lu menceritakannya bagus gitu... berasa lagi baca novel... :)
@monica: let's tell us the story, will you? ;)
@arman: kisah nyata man ehehe... gpp klo lo bilang bagus... ga akan gw anggap kejam kok. kan ini mah udah lama bgt, udah ga brasa apa2 skrg mah :D
patah hati karena beda keyakinan??? been there. bahkan sampai sekarang, aku masih menyimpan rasa sama dia. (ikutan curhat) Hehehe
Tuh kaaaaan, aku bilang apa, cowok-cowok fakultas biologi itu keren-keren kan? (ngambil cermin terus berkaca) #ditampar
T_T
seperti biasa, 4 thumbs up enn.
keren bangeet :)
wondering gmana kabar tuh mas skarang. jangan-jangan masih cinta lg enn.
aku jadi inget pengalaman pribadi kalo baca yang ini.
agama selalu jadi masalah besar ya.
pasti lucu kalo ditambah gambar kaya' komik2 jepang itu mbak *ngebayangin ekspresi si haris waktu mbak suruh pulang hhi..
@apis: iyaaa co2 biologi di kampusku dulu aku sukaaa... soalnya aku emang suka co2 yg serius dan pinter. aku ga suka co bawel! hahaha...
@hans: aih makasih hans.. ga tau kbrnya lagi deh dia gimana sjk dia lulus duluan hehe...udah pny anak selusin kali hihi
@mimi: iya bener... ekspresinya orisinal bgt wkt kuusir, ahhaha
Hmmmm, lama gak kunjung, apa sebaiknya aku juga ceritakan kisahku sendiri yak, lebih ngenes, bwahaha... :p
@shin-kun aka ari jeleks: hahahaha monggoooo.... ceritakan yg detail yaaa biar yg laen ikut nangis! I'm waiting neeeey....
:))
Hebat cara nolaknya! Saya ngebayangin, cowok macam Haris gitu kalo ditolak dengan cara baik-baik pasti akan terus ngejar sampe si cewek nyerah (tipe cowok yg gak suka kalah). Tapi, rupanya dia ketemu lawan yg tepat.. haha..
Mbak menohok dia dengan tepat sampe speechless. Pasti dia langsung ngerasa malu dan bersalah. Good job! :D
@mirna: hahaha... ga kepikir apa2 waktu itu selain kepingin nonjok saking murkanya. jd mendingan kuusir drpd ditonjok beneran :P
baca sampai bagian mas wigo pindah langsung bs kutebak pasti biang keladinya si haris...tenyata bener :))
sampe skrng aq masih menganggap suka sama cowo bs main musik itu keren :) makanya selalu dapatnya pasti anak band :) mas kenzo bisa musik jg mba?atau ngga? makanya mba enno skrng hanya menganggap itu kayak dorama :) hehehe
kenzo suka musik, tapi bkn pemusik...
enggaklah, aku ga pernah nganggap kisahku sm kenzo kayak dorama...
skrg mah aku realistis :)
Post a Comment