Sunday, August 29, 2010

Since I'm Only Human

Kemarin seseorang menatap saya dengan pandangan curiga. Kenapa? Tanya saya. Karena saya sudah memperingatkanmu akan sesuatu?
Ia tampaknya mengira saya terlalu ikut campur pada hidupnya.

Barangkali saya terlalu keras padanya. Saya, orang yang sudah mengalami banyak kepahitan ini. Ya, saya mengakuinya. Saya tak pernah ingkar. Hidup saya separuhnya penuh onak dan duri, menjadikan saya seperti ini. Separuh dari diri saya yang kata orang sensitif dan penuh cinta, sebenarnya menyembunyikan kelemahan, kesedihan, kesepian dan kepahitan. Saya tidak tumbuh dari gadis kecil yang hidupnya penuh kepolosan. Sepanjang hidup saya, beban dan harapan telah ditumpukkan di bahu saya yang ringkih.

Ia jauh lebih beruntung dari saya. Keceriaannya itu berasal dari gadis kecil yang tumbuh dalam dunia tanpa mendung. Rumah yang indah dan layak, makanan dan pakaian terbaik, lingkungan yang bersih dan berfasilitas lengkap, sekolah di luar negeri dan otak yang tak sekalipun memikirkan besok adakah uang untuk ongkos ke sekolah.

Sedangkan hidup saya, kebalikan dari semua itu. Ibu saya pernah menjual sebotol shampoo yang belum dipakai ke tetangga sebelah agar saya punya ongkos ke sekolah. Waktu kuliah, saya pernah dimaki-maki ibu kost karena terlambat membayar sewa.

Tapi ia dan saya punya kesamaan. Kesamaan sekaligus perbedaan.

Kamu, Nie, kamu pernah merasakan luka yang sama dengan saya.
Luka yang ditorehkan seseorang tanpa perasaan ketika kita sedang mencintainya setengah mati. Kita pernah merasakan mati rasa. Kesamaan di antara kita, dear. Tapi juga perbedaan. Mungkin kamu hanya mengalaminya sekali, sedangkan saya berkali-kali.


Saya memang pahit. Kadang-kadang kepahitan itu muncul ketika saya cemas, khawatir, panik. Saya bereaksi ketika saya peduli.

Dan saya peduli padamu.

Saya akui. Saya mungkin menegur terlalu keras. Karena saya orang yang pahit, yang lemah, penuh kesedihan dan penderitaan. Tak perlu sepasukan psikolog atau filsuf untuk membenarkan teori itu. Toh saya tak pernah mengingkarinya. Saya mengakuinya. Tertulis baris demi baris di lembaran cyber ini.

Well, ia menatap saya dengan tatapan kesal. Seakan-akan menganggap saya ikut campur dalam hidupnya karena saya telah menegurnya.

Tapi saya tak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan. Catatlah itu.

Kamu seperti matahari, Nie. Matahari yang hanya bersinar saja. Memberi dengan kepolosan sejati. Kamu tidak pernah berpikir orang-orang akan memanfaatkan sinarmu untuk kepentingan mereka sendiri, bukan? Kalaupun terpikir olehmu, kamu tak peduli karena kemurahan hatimu. Kamu jadi tidak berhati-hati.

Saya keras karena cemas. Saya pikir itu satu-satunya cara agar ia mendengarkan. Saya memilih cara ini. Mengingatkannya pada luka yang pernah dirasakannya. Bertanya padanya apakah ia tega menorehkan sakit yang sama pada orang yang mencintainya.

Harus bagaimana lagi? Kamu ingin mendengarkan hal yang sebenarnya? Apakah saya harus membeberkan daftar semua orang yang pernah ada dalam posisimu sekarang?
Padahal saya tidak mau membuka aib orang lain. Tapi baiklah. Dengarkan ini. Saya sudah menyaksikannya. Sebuah pola yang sama ketika sedang terjadi masalah. Saya menyaksikan akibat yang paling parah. Seseorang yang menunggu bertahun-tahun tapi sia-sia. Seseorang yang menulis berlembar-lembar surat cinta tapi hasilnya nol besar.


Saya bukan benteng, bukan pengawal pribadi. Saya bukan panglima perang yang menusukkan pedang kepedihan di hati orang lain. Saya hanya manusia yang peduli, manusia yang menjadi saksi segala akibat yang pernah terjadi.

Lihat itu. Bulan yang bersinar lembut di helai malammu. Ia yang benar-benar menjadi keseimbanganmu. Bulan dan matahari. Yin dan yang. Air dan api. Gunung dan awan-awan yang dilintasi seekor elang membumbung terbang. Keindahan yang nyata, bukan mimpi yang kau agung-agungkan.

Kemarin seseorang menatap saya dengan kesal. Ia mungkin tersinggung, marah dan merasa urusannya dicampuri. Atau mungkin ia marah karena saya membeberkan kebenaran di depan matanya. Ia mungkin menganggap saya sok tahu. Padahal saya memang tahu. Hari ini saya menghampirinya dengan sebuah daftar di tangan.

Ini daftarnya, Nie. Semua orang yang bergelimpangan karena mimpi-mimpi semu yang sama. Kamu mau namamu tercantum disini juga? Apa ini namanya ikut campur? Apa ini namanya saya sedang menyalahkanmu? Apakah kamu masih mau mempertaruhkan kehidupan nyatamu yang baik-baik saja demi bayang-bayang? Terserah kamu saja. Memangnya saya bisa berbuat apa.

Saya tak perlu filsuf untuk memahami sesuatu. Saya cuma ingat firman Allah yg disampaikan guru mengaji saya kemarin malam.

Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kamu tetapi kebanyakan di antara kamu benci pada kebenaran itu. (QS. Az-Zukhruf: 78)

Kebenaran itu seringkali dibenci. Ya.




foto dari sini

Image and video hosting by TinyPic

14 comments:

Apisindica said...

seringkali orang-orang salah mengartikan langkah yang kita ambil untuk melindungi mereka.

Seringkali kita justru disalahkan padahal sebenarnya kita ingin menyelamatkan.

berjalanlah dengan keyakinan bahwa yang kita lakukan adalah benar, demi kebaikan. Niscaya dia suatu saat akan mengerti, meski sering kali terlambat.

saya benar-benar suka dengan tulisan ini! Hugs...

qq said...

Memang kadang apa yang kita anggap baik dan benar, belum tentu bisa diterima,padahal itulah wujud rasa sayang kita.
Karena kita tidak ingin saat mimpi indahnya berakhir, dia baru bilang ternyata apa yang kemarin kita sampaikan benar.. tapi udah tellaatt..
Sulit emang ngomong sama pemimpi...

empe said...

hmm.. berat nih...

padahal di satu sisi kita ingin memberikan orang tersebut kebenaran, tapi sayang dia menutup telinga...

coba saja kalo dia mau mendengar sedikit kata-kata kita

De said...

Paling tidak, mbak sudah memperingatkannya. Sesama manusia bukankah kita memang harus saling mengingatkan. Apapun selanjutnya itu keputusan dia.

^_^

-Gek- said...

tulisan yang mengalir laksana air.. fiuh... keren abiez.
Ga pa pa Mbak, terkadang, orang baru sadar kalau dia sakit.
Sakit itu proses, kalau pun dia harus merasakannya...
Itu akan membuatnya lebih kuat mbak.
:)

TS Frima said...

betul juga ya.

Puak Cullen said...

Percaya aku, dia tahu ini adalah ungkapan rasa sayang dan perhatianmu.
Hanya, tidak mau mengakui saja.. :)

Nice post,Enno..

lilliperry said...

katakanlah kebenaran itu walau pahit..

mungkin penyampaiannya yang tidak tepat, mungkin juga kebenaran itu benar2 menohoknya..
ah, sebagai orang peduli, menyenangkan rasanya kalo ada yg menegur saya ketika saya akan jatuh.

selama yang kita katakan benar dan yang kita lakukan untuk tujuan yang baik, lanjut...

nice post, selalu menyenangkan membaca tulisanmu mbak.. :D

Enno said...

@all: guys, thx for your comments! semoga yang bersangkutan juga mengerti seperti kalian, demi kebaikannya.

salaaaam!!!

:)

Elsa said...

ya karena kebenaran itu pahit, maka sebagian orang lebih memilih membutakan diri dari kebenaran
cari manisnya aja gitu

Baby Dija said...

Tante Enno...
Dija mau merayakan ulang (setengah) tahun lhoo...

Tante Enno diundang juga.
tunggu yaaa

Enno said...

@elsa: biasanya begitu, elsa... sayang sekali ya :)

@baby dija: haha tante elsa ni ulang taun mulu ya... tante enno minta kuenya yg paling besar ya :)

owly said...

ah. sebuah tulisan yg dalam. kadang kita menjadi orang yg dibenci karena memberi tau hal yang nyata.
sepertinya kita lebih suka hidup dalam bayangan semu yang indah, yang ketika bayangan itu hilang berganti luka, kita akan menyalahkan orang lain yg tak memberi tau :)

Enno said...

@owly: ya bener, kamu bener banget. Imaji itu padahal seringkali menipu ya :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...