Monday, May 24, 2010

Kau Tidak Diundang

Tak percaya dirinya membaca surat itu berulang kali. Hatinya mencelos, jantungnya berdebar, lehernya tersekat. Bibirnya gemetar dan air matanya nyaris tumpah. Ia tak percaya kalau orang yang selama ini begitu murah hati bersedia menjadi temannya tiba-tiba meradang dan mencercanya dalam surat itu.

"Kau jahat. Penyebar fitnah. Kau menuduh aku berkhianat padahal kaulah orang yang melakukannya pada temanmu sendiri. Seharusnya kau malu dan introspeksi. Tapi yang terjadi kau malah bersikap sok suci dan sok tidak bersalah. Dasar tak tahu malu!"

Dibaca dari sisi manapun, isi surat itu tak berubah. Tajam, menusuk. Ia gemetaran dan terduduk lemas di sudut toilet tempatnya bersembunyi.

Anehnya, ia tak merasa bersalah. Bertahun-tahun ia mengembangkan kepongahan dalam dirinya, sehingga membuatnya kebas dari segala macam pendapat, nasehat, kritik, bahkan caci maki. Ada sesuatu dalam struktur otaknya yang membuat cara berpikirnya berbeda dengan orang lain. Kemarahan orang kepadanya dianggapnya sebagai bentuk perhatian. Semakin sering seseorang memarahinya, semakin lengketlah ia padanya karena mengira orang itu menyayanginya.

Tapi kali ini, ia merasa sedikit berbeda terhadap si penulis surat. Ada kebenaran dalam isi suratnya, yang membuatnya merasa malu. Tapi lagi-lagi kepongahan membuatnya buta dari sikap rendah hati dan mawas diri. Lagipula perempuan itu, si penulis surat, adalah orang yang tengah dekat dengan laki-laki pujaan hatinya. Ia sebal dan cemburu. Bagaimana mungkin perempuan itu bisa mendapatkan perhatian penuh dari pujaan hatinya, padahal ia saja yang bertahun-tahun berjuang tak kunjung bisa meraih hati si lelaki.

Pakai pelet apa sih perempuan itu? Memang si perempuan lebih cantik darinya. Tapi tahu tidak, kakinya besar. Dadanya dan bokongnya juga besar. Sedangkan lihatlah dirinya yang langsing dan kakinya yang kecil. Bukankah ia lebih imut? Bukankah laki-laki suka perempuan yang imut?

"Jangan ganggu saudara laki-lakiku," ancam perempuan itu dalam suratnya.

Terus terang ia bingung. Apa sih salahnya pada orang-orang di luar sana? Kenapa ia dianggap mengganggu mereka? Memangnya salah kalau ia merasa takut dilupakan kalau salah satu temannya punya pacar? Memangnya salah kalau ia punya alasan supaya mereka putus karena tak ada satupun yang sesempurna dia sebagai pasangan atau teman?

Dan apa-apaan si dada besar itu menyuruhnya tidak mengganggu saudara laki-lakinya yang ganteng itu! Ia memang tertarik padanya, dan mau saja menukar pujaan hatinya seandainya si ganteng itu belum punya tunangan. Ia sesumbar akan mengejar si ganteng sampai dapat pada teman-temannya. Meskipun dalam hatinya ia tak yakin akan bermodalkan apa.

Lagipula si ganteng itu baik padanya. Ia jauh berbeda dengan si dada besar, saudaranya yang judes itu. Si ganteng tipe laki-laki hangat dan sopan pada perempuan. Biar saja si dada besar itu marah, pikirnya tak peduli. Ambil saja pujaan hatinya itu! Ia mau bersenang-senang dengan si ganteng. Tetap akan bertamu ke rumahnya, muncul di tempat nongkrongnya dan menyapanya dengan cerah ceria.

Ia sudah cukup teraniaya ketika seseorang merusak rumahnya, menjarah isinya dan menghancurkan perabotnya. Kesalahannya apa? Mengkritik orang-orang yang bertamu ke rumahnya? Salah mereka sendiri tak berusaha memahami dirinya. Mereka bilang ia tak konsisten, terlalu bangga pada pendapat sendiri dan tidak menghargai pendapat orang lain. Padahal merekalah yang bodoh itu. Kalau diajak berdebat selalu menghindar. Katanya karena ia selalu berputar-putar dalam kerangka pikiran yang tak jelas.

Masa bodoh dengan mereka. Masa bodoh dengan si dada besar dan pujaan hatinya. Ia harus tetap keep in touch dengan si ganteng, supaya jadi diundang ke pesta di rumahnya di luar kota. Ia bangga sekali ketika si ganteng berkata akan mengundangnya. Dibayari tiket pesawat dan akomodasi ke luar kota yang belum tentu sanggup dibayarnya sendiri. Ia jadi bisa menyombongkan diri pada para pemuja si ganteng bahwa dialah yang diundang.

Ya betul, masa bodoh juga dengan surat ini! Ia meremas-remas surat itu tepat ketika seseorang mengetuk pintu. Ia keluar dan mendapati seorang kurir dengan sepucuk surat lagi. Ia membuka lipatannya, langsung ingin mem-flush dirinya ke lubang toilet setelah membaca isinya.

"NGGAK USAH GE-ER DEH. KAU TIDAK DIUNDANG!"

----------------

Disclaimer: ini cuma fiksi lho ya....

Image and video hosting by TinyPic

10 comments:

De said...

Fiksi. Kok rasanya nyata ya, mbak. hehe...

kristiyana shinta said...

nulisnya dari hati nih,, hehehe

Ila Schaffer said...

ini pengalaman pribadi atau apa no.. real banget. atau salah satu bukti skill nulis eno sudahh expert banget. TOP no!

dv said...

waa..lama ni gag jalan2 kesini..
*walopun gag diundang :D
pa kabar mbak enno?

Lisha Boneth said...

kesian sekali..

dapet surat menyebalkan begitu.. :))

Arfi said...

kelihatannya real banget ceritanya.. ikut kontes juga tha??? kalo gitu gud lak aja ya???

Anonymous said...

hmmm, saya ko malah merasa tokoh utamanya egois ya.....and negative thinking.........

seemed like she deserves that bad ending..........

Enno said...

@wiwit: based on true story soalnya :)

@shinta: dari hati pake tangan :P

@ila: halah... expert ngegombal sih iya hahaha... :P

@dv: kabar baik.. ga perlu undangan kan, mampir aja... lebih bagus lagi klo bawa oleh2 hihihi

@lisha: ini fiksi lho, inga inga :D

@arfi: enggak ikutan kontes apapun lho haha :D

@anonim: saya memang sengaja bikin tokoh yg seperti itu ;)

Azhar said...

Disclaimer: ini cuma fiksi lho ya....
======

BOHONG AH....masa siiih

Enno said...

hahahaha provokator banget deh lo zhar!

:))

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...