Tuesday, March 4, 2008

Bunga Rumput

Di telaga ini
adakah yang terpantul bening
selain
bayang biji bola mata

-Ida Ayu Oka Suwati Sideman-
__________________________

“Kalau hari ini sedang tidak pergi dengan awan, bisa mengantarku tidak?”
“Kemana?”
“Memotret angin yang parade di jalanan kota.”
“Mengapa aku? Bukankah kamu pandai memotret?”
“Mau saja mengajakmu. Kamu tidak mau melihat angin berdansa di pucuk-pucuk pohon angsana? Ada matahari menyumbangkan cahaya warna-warni. Langit sudah berjanji akan cerah. Dan awan… dia sedang cuti kan?”
“Kalau tiba-tiba saja aku ingin turun?”
“Jangan! Merusak acara saja!”

Pria Hujan mencibir. Bunga Rumput tertawa senang. Ia tahu Pria Hujan pasti mau ikut.

Mereka pergi berdua. Berboncengan di atas motor. Bunga Rumput membawa kamera.
“Berhenti di sini saja. Lebih bagus memotret dari sini!”
Pria Hujan menghentikan motornya di depan hotel dan kafe-kafe yang berderet sepanjang jalan.
Tanpa berkata-kata, ia meraih kamera di tangan Bunga Rumput. Mengarahkannya pada angin yang berdansa di pucuk-pucuk angsana.
“Tak ada turis.”
“Memangnya kenapa kalau ada turis?”
“Suasananya akan lebih hidup.”
“Kita tunggu sebentar lagi. Barangkali ada yang akan lewat.”
Pria Hujan menunggu sabar dengan kamera di tangan.
Di punggungnya, Bunga Rumput bersandar. Tertawa riang.

Kamera itu terisi banyak momen.
Bukan tentang parade angin. Tetapi tentang kebersamaan mereka.

Sore menjelang. Pria Hujan mengantar Bunga Rumput pulang.
Mereka berdiri bertatapan dalam senja yang temaram.
“Terima kasih sudah menemaniku hari ini.”
“Terima kasih sudah mengajakku melihat parade angin.”
“Terima kasih sudah membantuku memotretnya.”
“Terima kasih sudah menghiburku dengan tawamu.”

Pria Hujan tersenyum. Lembut seperti awan yang berarak di atas gunung.
“Sampai ketemu.”
“Mimpi yang indah tentang tarian angin.”
“Jangan meluapkan sungai besok.”
“Tidak. Aku masih cuti. Menarilah bersama matahari. Aku ingin menonton lagi.”
“Janji?”
“Janji.”
Pria Hujan lenyap ditelan malam. Meninggalkan Bunga Rumput di pelataran temaram.
Tak sabar menanti matahari menghapus kelam.
________________________

Aku selalu ingat parade angin yang kita abadikan. Dan matamu yang sewarna senja saat berkisah di kafe itu...


Image and video hosting by TinyPic

6 comments:

Anonymous said...

shit! ak pengen bilang, waaah ini postingan paling romantis yg pernah gue baca, eeh taunya besok2 saya bakal nemuin yg lebih romantis!!

Aakkh terbuat dari apa c hatimu itu No?

Enno said...

hehehe... dari apa ya?

Anonymous said...

salam kenal ya.
tulisannya bagus2 :)
kapan ya gw bisa nulis kayak gini, hehehe ....

Enno said...

salam kenal mita,
makasih ya :)
banyak membaca dan latihan pasti bisa :)

-Gek- said...

Tulisan Mba Enno, merupakan inspirasi saya!
Hebat.

Enno said...

makasih gek :) seneng banget bisa menimbulkan inspirasi hehe

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...