Monday, March 3, 2008

Pria Hujan

Tak ada obat yang mujarab untuk cinta,
kecuali mencintai lebih dalam lagi.

-Henry David Thoreau-

______________________________

Bunga Rumput melambai dari balkon hotel.
“Selamat pagi!”
“Pagi!” Pria Hujan berdiri di pelataran sana, balas melambai. Dengan sikapnya yang tenang dan bersahaja, dalam siraman mentari pagi hari. Bunga Rumput masih terpukau dengan pesona itu, tak menyadari Pria Hujan perlahan menaiki undakan tangga untuk menemuinya di balkon.
“Belum mandi?” Tiba-tiba saja ia sudah ada di belakangnya.
“Ah, kamu bikin kaget saja!”
Ia tersenyum. Lembut. Tenang. Seolah ada danau beriak pelan di matanya. Ada langit amat biru di wajahnya. Ada curah hujan yang menyejukkan. Tetapi juga ada samudera tak terselami dan cuaca yang tak bisa diprediksi.
“Kamu itu complicated sekali ya?”
“Apa?”
“Ah, tidak. Maaf, hanya pikiran yang melintas. Mau kemana hari ini?”
“Ada acara bersama awan dan badai. Mungkin turun di suatu tempat. Dan kamu?”
”Bercanda dengan matahari, mengobrol dengan langit… menari dengan angin, mungkin.”

Mereka bertatapan sejenak. Bunga Rumput memperhatikan wajah yang keras dan tak terawat itu. Yang mulai sering muncul dalam mimpi-mimpinya. Kumis dan janggut yang tumbuh liar, tahi lalat kecil di ujung hidungnya yang bangir. Ia ingin mengulurkan tangan. Menghapus sepi yang kadang hadir di danau matanya. Menghalau murung yang melintas di wajahnya.

Lagi-lagi Pria Hujan tersenyum. Ia yang mengulurkan tangan. Menepuk pipi Bunga Rumput dengan lembut.
“Menari saja. Lebih cocok untukmu.”
“Uhmm ya… Omong-omong, nanti sore ada waktu?”
“Belum tahu. Mungkin malam. Kalau kamu belum tidur.”
“Aku akan menunggu.”
Menunggu demi menatap mata yang teduh itu. Sebelum membawanya ke dalam mimpi tentang masa depan.
“Kalau begitu sampai nanti.” Pria Hujan beranjak.
“Ya sampai nanti.”
Di ujung tangga, ia berbalik. “Oh ya, selamat menari. Nikmati liburanmu ya…”
“Selamat bertualang juga. Tidak boleh bikin banjir, oke..”

Bunga Rumput menatap Pria Hujan berjalan pergi. Punggungnya yang kukuh dibalut mantel hitam lusuh. Langkah-langkahnya yang perlahan tetapi tegap. Di pelataran, ia menyalakan motor tuanya. Melaju. Menghilang di belokan jalan.

Aku mencintainya, Bunga Rumput berbisik kepada awan. Tolong katakan kepadanya. Aku akan selalu mencintainya.
____________________________

Masih ingatkah kamu tentang suatu pagi yang nyaris sama?

3 comments:

Ayu said...

ah, enno... kok bagus sih^^. suka deh postingan yang ini :D

ifa said...

iya ih, kok bagus sih ^o^

mbak enno, minta dong obat mujarab untuk cinta... huhuhu...

Enno said...

ayu; selalu tentang hujan ya kita :)

ifa: udah abis fa :p

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...