Wednesday, April 22, 2015

Kabut di Puncak Bukit Leluhur

Hujan rintik-rintik yang tadi membuat kami terpaksa berteduh di warung, akhirnya berhenti. Saya memberanikan diri keluar dari warung, sementara teman-teman masih duduk mengobrol riuh rendah. 

Benar, hujan berhenti. Namun langit yang tadi cerah saat kami baru tiba kini mendung.
Ayo menjelajah lagi, kata saya dalam hati. Melangkah memasuki area pemujaan kuno itu. Saya masih harus melihat banyak, memotret banyak, mempelajari banyak.
Beberapa teman seperjalanan diam-diam mengikuti saya di belakang.


Tetiba, angin dingin berhembus kencang dan segumpal asap dingin melayang di atas kepala. Semakin lama semakin tebal. Membawa titik-titik air. Kabut! Seru saya. Ini kabut!
Saya tak mengira akan datang kabut. Dan tahukah kalian seperti apa kabut yang datang itu? Ia tebal, pekat, dingin dan basah. Seperti selimut yang memerangkap tanpa bisa dilepas. Sekeliling kami mendadak gelap dan tampak menyeramkan. Saya merasa sedang terjebak dalam sebuah film horor.
"Ayo kita foto rame-rame!" Teman-teman berseru gembira. Sama sekali tak merasa takut. Saya merasa lega. Setidaknya, mereka tidak melihat apa yang saya lihat bermunculan dari balik kabut.

......

Siang itu, kami berada di atas sebuah bukit yang sebenarnya adalah punden berundak zaman nenek moyang. Kami mengunjungi Gunung Padang, Cianjur. Situs megalitikum terbesar di Asia Tenggara.
Sudah lama saya kepengin ke sini. Tahu kan, saya ini si Reina yang suka banget arkeologi. Syukurlah akhirnya kesampaian juga, setelah berhasil membujuk Julie untuk merancang open trip ke tempat ini. Waktu tahu kami mau pergi ke Gunung Padang, teman termuda dalam grup kami-Adit-kepengin ikut juga. Senanglah hati karena banyak teman.

Tempat ini persis seperti yang saya bayangkan dan saya baca di internet. Bukit dengan anak tangga curam dan terjal dari susunan bebatuan tanpa semen (untungnya sekarang ada besi susuran tangga), teras-teras berundak, dan batu-batu hitam andesit dengan bentuk columnar jointed (pasak tegak) berserakan dan bertumpukan, sebagian lagi tampak membentuk formasi tertentu.
Ketika yang lain mengerumuni guide yang mengantar kami ke atas, saya berkeliling di teras pertama untuk melihat-lihat dan mengambil foto. Alam di sekitar bukit sangat indah, sungguh. Ada beberapa bukit lain di sekitar Punden Berundak Gunung Padang. Konon, di bukit-bukit itu juga ditemukan artefak-artefak yang mirip dengan artefak di Gunung Padang. Ada punden berundak lebih kecil, juga columnar jointed yang serupa.

Saya berkeliling sendiri, tak mempedulikan orang-orang. Tapi masih sempat sih menyuruh si Juleha alias Julie pasang aksi buat difoto. Dia ini model saya (selain Ricky), dalam setiap perjalanan grup traveling kami. Adit juga saya suruh bergaya bak model. Saya suka ekspresi ala anak SMA-nya. Culun, polos, dan setengah bingung. Hahahaha.

Keindahan seluruh situs pemujaan ini baru tampak jelas ketika saya naik ke Teras Tiga. Teras ini ditandai dengan sebuah pohon tua (saya lupa tanya pohon apa). Pohon ini mungkin juga beringin, menilik akarnya yang bertonjolan dari dalam tanah, mencengkeram bebatuan di sekitarnya.

Berdiri membelakangi pohon ini, akan tampak seluruh teras pertama di bawahnya. Tampak susunan batu-batu kuno membentuk segi panjang, yang menurut guide kami adalah tempat mementaskan ritual kesenian. Di luar formasi batu itu, tepat menghadap ke depan ada dua buah batu memanjang yang jika dipukul dengan batu lagi berdenting seperti bunyi gamelan dan memiliki nada. Batu itu mengandung besi, kata Pak Guide. Dulunya berfungsi sebagai alat musik.

Jadi, saya berdiri di situ. Memejamkan mata. Mencoba membayangkan apa yang dulu terjadi. Sekumpulan orang menari, dua orang menabuh batu, dan yang lain menonton. Saya rasa, mungkin ada raja dan para pendeta.

Di Teras Tiga sampai Teras Lima, kami menemukan batu-batu pasak tegak berserakan. Ada yang rebah tapi masih menampakkan formasi sesuatu, ada yang berlubang disebut Batu Tapak Macan (karena ada lekukan seperti telapak macan), yang mitosnya bekas duduk seorang petapa sakti. Ada sisa-sisa jalan setapak dan lantai batu, lalu guide menunjukkan kepada saya sepetak tanah di tepi Teras Lima yang tampak baru saja diratakan, ketika saya menanyakan bekas eskavasi yang dilakukan arkeolog di tempat itu.

"Apa yang ada di dalam, Mang?" Tanya saya.

Kata guide kami, di bawah sana ditemukan susunan batu andesit lain. Semacam lorong atau apalah, yang usianya jauh lebih tua dari artefak di atasnya. Uji karbonnya dilakukan di Miami, Amerika, katanya. Setelah itu lubang eskavasi ditimbun kembali, sampai penelitian lanjutan ditetapkan.
Gunung Padang diyakini sebagai tempat pemujaan dan berkumpulnya para tetua adat Sunda kuno. Tapi umurnya jauuuh sangat tua dari peradaban Sunda yang kita kenal sekarang. Para arkeolog itu memperkirakan punden berundak ini sudah ada antara periode 2.500-4.000 SM. Tapi batuannya berusia 4.000-9.000 SM.
Artinya, situs ini lebih dulu ada 2.800 tahun sebelum Borobudur, dan lebih tua dari Machu Picchu di Peru.
Diduga sezaman dengan piramida Giza di Mesir. Huwow!

Pokoknya situs ini keren banget, buat yang tergila-gila sama arkeologi kayak saya. Bisa belajar tentang arkeologi, tentang benda purbakala, tentang kebudayaan leluhur
.
Sayangnya, zaman kekinian gini, traveler-traveler muda nggak banyak yang niat mengenal sejarah. Banyak anak muda traveling cuma buat numpang foto-foto di tempat bagus, lalu diunggah ke sosial media. Buat pamer kalau udah pernah ke sana ke sini.


Cih! Kayak lo nggak upload aja, No!
Iye, gue juga suka upload di Instagram. Tapi tujuan gue buat ngenalin keindahan Indonesia ke dunia. Makanyaaa, captionnya pake bahasa Inggris, sampe gue dibilang sok gaya.

Soriii kalau saya agak sinis. Tapi memang begitu kenyataannya. Beberapa kali saya traveling, di tempat wisata yang saya datangi, mayoritas orang cuma datang untuk numpang foto dan selfie. Nggak ngerti konservasi, nggak paham sejarah lokasi, nggak peduli soal sanitasi.
Nggak heran kalau banyak gunung dan cagar alam berubah jadi tempat konser (karena berisik) dan sekotor TPA Bantar Gebang

.......

Saya sedang mengamati sebuah lantai batu di Teras Tiga. Tiba-tiba angin basah berkesiur di sekitar. Kabut kembali datang, kali ini lebih tebal, kelabu dan membawa titik air yang lebih rapat. Dingin dan menggigilkan.

Kali ini, teman-teman saya mulai beranjak satu per satu. Lalu seperti ada yang memberi komando meninggalkan teras-teras atas.

"Pulang, pulang! Keburu hujan!"

Mereka turun menyusuri tepi bukit, menuruni tangga semen yang berbeda dengan tangga batu untuk naik.

Saya dan Adit masih berdiri sejenak di tengah kabut. Tempat itu berubah, terasa lebih magis. Kabut membawa bunyi-bunyian dari masa lalu, dari ribuan tahun sebelum saya lahir di sebuah lereng gunung api purba yang kini menjadi sebuah kota bernama Bandung.

Di dieu asal muasal sakabeh anjeun. Di dieu awal kahirupan.
(Di sini asal mula kalian semua. Di sini awal kehidupan)

Pohon tua itu seakan berbisik. Menyuarakan pesan para leluhur.

"Adit, ayo pergi." Saya menggapai lengannya. Ia masih saja berdiri mematung menatap teras bawah di tengah kabut. Di tangannya, action camera-nya dalam keadaan merekam. "Adit!"
"Ya, Mbak?"
"Ayo! Bantuin jalan, ya. Aku lupa nggak pake kacamata".

Kami berdua turun beriringan. Di belakang saya ada Eva, Aldi, dan Aries, yang akhirnya juga turun setelah keasyikan memotret artefak (Aries peminat sejarah juga).

Kabut tidak mengikuti kami. Ia bergulung-gulung di puncak  punden berundak kuno itu, seolah melindungi tempat itu dari mata manusia.
Ada yang berdiri di bawah pohon besar, menatap lurus ke kejauhan. Sosoknya tak jelas, tetapi tampaknya seorang pria.
Mungkin tadi dia yang berbisik itu. Leluhur.

......

FAKTA GUNUNG PADANG, CIANJUR

Lokasi: Desa Karyamukti, Kec. Campaka, Kab. Cianjur.

Ketinggian: 885 mdpl

Luas: bangunan purbakala 900 m2, areal 3 ha. Tetapi diperkirakan areal sebenarnya meliputi 25 ha.

Jenis batuan: andesit, basaltik, basal.

Arti kata padang: padang = terang, atau bisa juga dari kata padahyang = tempat agung para leluhur.

Mitos setempat: reruntuhan dan artefak yang ada di sana adalah peninggalan Prabu Siliwangi yang gagal membangun istana dalam semalam.

Laporan tentang keberadaan situs: dokumen penelitian arkeolog Belanda tahun 1914. Tahun 1979, dilaporkan lagi oleh penduduk setempat ke pemerintah setempat.

Tiket masuk: Rp 4.500/orang, parkir mobil Rp 10.000

Pemandangan dari Teras Tiga

7 comments:

Julie Simanjuntak said...

Selalu ada cerita horor di setiap perjalanan sama lo mba >.<

sekar said...

Tante ennoku yang antimainstream,

Pengalaman ke Gunung Padangnya seru banget! Echa juga ingin ke sana!

Tahukah tante, Echa ingin melanjutkan kuliah bidang Antropologi Budaya. Kelak Echa juga ingin melakukan banyak perjalanan, disertai interaksi dengan masyarakat dan juga alam.

Saat itu, ingatkan Echa untuk tetap menulis, ya. :)

Enno said...

Julie: mau ada cerita lucu tp sayangnya gw ga bs ngelawak jul wkwkwk

Echa: seneng bangeeeet ada yang mau nerusin cita2 tante di bidang sejarah dan kebudayaan! Tante doain cita2 Echa tercapai yah. Oh soal menulis, jgn kuatir. itu ada dalam darahmu, gak akan pernah padam dan berhenti. *peluks*

The People of Medina said...

Agak merinding membacanya, tapi sumringah membayangkan indahnya :)

have a nice weekend :)

Enno said...

@the people of medina: memang indah, dan gak bikin merinding kok. makasih sdh berkunjung, have a nice weekend too! :)

Arif Maulana said...

mbak eno...kapan jalan-jalan barengnya?? :D

Ester said...

Seru mba baca ceritanya.. Tp koq ujungnya jd horror ��

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...