Sore ini hujan. Listrik padam. Aku duduk di sini, dalam temaram kamar yang hampa cahaya.
Apa kabar, Sayang?
Akhir-akhir ini, hidupku seperti roda. Menggelinding tanpa henti. Sepanjang waktu, selama jalan membentang sampai ke kejauhan.
Aku pergi ke mana saja aku bisa. Aku bahkan naik gunung lagi. Kau percaya itu? Aku sudah berhenti melakukannya sejak lulus kuliah, lama berselang. Fisikku tidak sekuat tekadku sejak aku masih kecil. Aku mungkin senang main bola dan memanjat pohon seperti anak lelaki, tetapi bukan berarti aku tidak pernah jatuh. Sering.
Aku sedang mencoba menguatkan diriku, Sayang. Mengembalikan diriku lagi seperti dulu, sebelum kau ada.
Kepergianmu mengoyak diriku menjadi jutaan serpihan, yang kukira tak bisa lagi direkat menjadi utuh.
Serpihan-serpihan itu akan menjadi bubuk yang berhamburan terbang tertiup angin, jika aku tak segera memungutinya satu per satu, meskipun itu mustahil.
Maka, kuputuskan untuk berjalan, menyusuri tepian dunia. Mencari setiap serpihan yang tercecer itu, memungutnya, memeluknya dalam dekapan agar terlindung dari badai kenangan, yang selalu mengincar berputar-putar di sekelilingku. Tentu saja kau tahu aku. Aku tidak mudah menyerah hanya karena badai picisan. Dan di sinilah aku sekarang, Sayang. Masih di tengah perjalanan, tetapi kuputuskan untuk berhenti sejenak.
Aku ingin mengenangmu sebentar. Merindukanmu sungguh menyakitkan.
Seluruh diriku yang telah hampa terisi lagi penuh oleh emosi. Datang begitu deras, seolah hendak menghanyutkan diriku dalam sungai berair gelap.
Apakah kau senang bermain di sana? Aku membayangkan kau sedang duduk memandangiku dari tepi awan-awan senja di luar jendela. Lihat, aku melambaikan tanganku. Kau lihat? Apakah saat ini kau tengah tersenyum lebar dengan mata berbinar?
Maafkan aku tak bisa memelukmu saat ini. Aku ingin sekali, tetapi belum saatnya bagi kita untuk itu. Aku memelukmu dengan doa, Sayang. Dan doakanlah juga aku.
Aku akan melanjutkan perjalananku lagi. Di jalan yang membentang sampai entah di mana.
Di ujungnya kita akan bertemu.
Ambillah rumah yang bagus di sana. Dan berikan satu kamar saja untukku. Kecil pun tak mengapa, tetapi letakkan di sebelah kamarmu. Agar aku bisa masuk diam-diam, dan memandangimu saat terlelap.
Sesuatu yang sangat ingin kulakukan sekarang, tetapi tak bisa.
Langit sudah gelap. Aku harus berjalan lagi, Sayang. Masih banyak serpihan yang harus kucari di luar sana.
Bermainlah dengan gembira. Dan jangan nakal, ya.
A thousand words won't bring you back
I know because I've tried
Neither will a thousand tears
I know because I've cried
-Kily Dunbar
pic from here |
4 comments:
Semangat yah, begitulah hidup. Ada jatuh bangunnya :)
Dija gak nakal kok Tante Enno...
Dija pinter kok
@fadly: tentu. makasih :)
@elsa: kemaren ke blog dija trus kaget sendiri liat dija udah gede ajaaa... haduh udah lama gak blogwalking sih. titip cium buat dija ya elsaaa :*
Terharu aku bacanyaa
Post a Comment