Thursday, May 15, 2014

East Trip. Visiting The Old Beauty


Well, saya tahu kenapa mereka ngeliatin kami dengan tatapan heran campur nggak habis pikir.
Kami sedang memasuki gerbang sebuah hotel yang katanya berhantu.
Dan Tantri, dengan mantap dan tak ragu, begitu saja memasuki gerbangnya? Hahaha.

Kalau tadinya ada sedikit keraguan di hati saya (meskipun saya yang punya ide ini), tiba-tiba tidak lagi. Begitu memandang bangunan berlantai lima yang dicat warna merah pucat itu, semangat saya terhadap sejarah dan bangunan-bangunan kuno langsung menyala. Yes, kami berada di halaman Hotel Niagara, di kawasan Lawang, kota Malang. Kawasan Lawang ini mirip Puncak-nya Bogor. Dataran tinggi sejuk yang dikelilingi pegunungan dan perkebunan teh. Meskipun kesejukannya masih kalah dengan kawasan Batu sih.

Parkiran motor ternyata ada di sebuah beranda rumah lama, di sisi kanan bangunan hotel. Rumah itu berarsitektur sezaman dengan hotel, namun kumuh dan tampaknya agak terbengkalai. Bagian depan yang dijadikan tempat parkir tampaknya tidak terpakai. Berbeda dengan bagian sampingnya, yang tampak sedikit diwarnai 'kehidupan.'

Begini rencananya. Kami akan berpura-pura memesan makanan atau minuman, sambil melihat-lihat keadaan. Syukur-syukur kami bisa berkeliling tanpa harus menyewa kamar dulu.
Kami memasuki lobi resepsionis yang sangat sederhana. Tidak tampak keantikan di sana. Memesan minuman, dan kami dipersilakan menunggu di ruang makan, yang berada di balik dinding lobi. Begitu masuk, saya langsung tercengang. Barulah terasa keantikannya di mana-mana.

Itu adalah ruang makan yang tampak asli seperti zaman dulu kala. Dengan jendela-jendela lebar berkaca patri dan berlis lengkung. Langit-langit yang sangat tinggi, pintu ke bagian dalam yang lebar dan tinggi dari kayu jati terbaik (saya mengetuk-ngetuknya, terasa sangat padat dan tebal), dan terutama karena dinding-dindingnya menguarkan aroma masa lampau yang menerpa saya dengan suara musik klasik dari gramofon, denting alat-alat makan perak dan gelas-gelas kristal berisi anggur, dan gumaman percakapan dalam bahasa Belanda dan Mandarin.

Seketika itu saya langsung memutuskan. "Kita nyewa kamar aja deh. Biar bisa lihat-lihat bebas."
Selagi Tantri masih melongo, saya berjalan ke resepsionis dan memilih kamar. Harga kamar-kamarnya sangat mencengangkan. Murah sekali untuk ukuran bangunan semegah itu, antara 100-300 ribu. Saya pilih yang tengah-tengah, 125 ribu deh kayaknya, kalau nggak salah. Katanya kamar mandinya di luar. Ya nggak apa-apa. Malah lebih mirip aslinya. Sebab, saya pernah baca... asli zaman dulunya, semua kamar di hotel ini tidak pakai kamar mandi dalam. Kamar mandinya bersama, di lorong.

Habis itu, seorang petugas hotel cowok mengantar saya ke kamar, yang ternyata pintu masuknya menghadap ruang makan. Kirain di lantai atas hihihi...
Kami masuk dan voila! Kamarnya lumayan besar, dengan springbed modern yang nggak terlalu empuk. Langit-langitnya tinggi. Ada kipas angin berdiri, sofa panjang, meja sudut, dan meja lain yang di atasnya ada tivinya. Asyiknya, channel tivinya bagus. Nggak bersemut, meskipun siarannya lokal semua (nggak pake tivi kabel).

Kamar itu juga punya pintu kedua, yang pas kami buka bunyi deritnya mengerikan. Persis kayak di film-film horor! Hahaha... Begitu dibuka, ternyata langsung menghadap ke undakan teras samping, berhadapan muka dengan tempat parkir motor. Lalu di ujung lorong ada kamar mandi. Saya masuk ke sana untuk sekedar merasakan air (dan atmosfirnya). Airnya dingiiin, kayak air di rumah saya hihihi... dan bentuk baknya lucu. melingkar separuh bulatan, menempel di dinding. Dilapisi keramik hitam putih, dengan gayung plastik zaman sekarang warna oranye! What a colour! :))

Balik ke kamar, Tantri sedang gogoleran sambil mainan hape. Saya menyambar ransel yang berisi kamera di dalamnya. "Yuk, yuk!" Saya menggamit Tantri. "Kita liat-liat ke atas. Aku mau motret."
Dalam hati saya, saya nggak mau buang kesempatan menjelajah di hotel yang katanya berhantu ini. Lagipula hari masih siang. Nggak terlalu serem laaah hehehe...

............

Hotel Niagara ini dulunya adalah vila.pribadi milik keluarga Liem Sian Joe, pengusaha Tionghoa kaya pada era Hindia Belanda. Gedung ini dibangun tahun 1918 dengan rancangan arsitek Frits Joseph Pinedo, yang berkebangsaan Brazil. Baru selesai setelah 15 tahun kemudian. Inisial LSJ tertera di beberapa sudut bangunan. Ada di palang kayu dinding, tetapi yang jelas terlihat ada di kaca setiap jendela.

Baru tahun 1964, vila ini diubah menjadi hotel. Kepemilikannya juga sudah beralih dari keluarga Liem ke keluarga Ong. Namun, sejak itu renovasi hotel ini berjalan sangat lambat. Karena memperbaiki sebuah hotel dengan nilai cagar budaya yang tinggi butuh biaya sangat besar. Saya sih menduga, keluarga Ong ini sangat sadar sejarah, makanya mereka tidak merenovasi dengan membabi buta.

Saya melangkah ke atas, melalui tangga dengan pegangan besi yang anehnya bersih tak berdebu. Belakangan, saya tahu, ternyata para petugas hotel rajin mengelap susuran tangga dengan air dan sabun. Teladan banget! Padahal hotelnya sepi dan nyaris nggak ada tamu, tapi kebersihannya sangat dijaga.

Lantai dua masih belum ada apa-apa. Lantai ini masih merupakan lantai yang digunakan dan beberapa kamarnya disewakan. Tiba-tiba, kami berpapasan dengan seorang petugas hotel. Mas-mas yang tersenyum ramah, bahkan ketika melihat kamera di tangan saya. By the way, semua petugas hotel Niagara ramah-ramah. Setidaknya ke saya ya. Entah kalau ke orang lain, yang biasanya suka sengaja datang sok berburu hantu.

"Mau keliling, Mbak?" Dia nanya. "Mari, saya antar melihat-lihat."
Wow! Jelas dong, saya nggak keberatan! Kami ngikutin si petugas hotel itu menuju lantai berikutnya. Dan ia bahkan membukakan pintu kamar yang kosong, yang sedang tidak disewa, agar kami bisa melihat isinya.
"Memangnya tamu boleh melihat-lihat, ya Mas?" Tanya saya.
"Mbak kan tamu yang sewa kamar."
Oh... saya lantas ambil kesimpulan. Kalau nggak sewa kamar, tentunya nggak boleh sembarangan kelayapan di dalam hotel.

Si Mas menjelaskan tarif hotel, dan menunjukkan beberapa hal menarik di sudut-sudut hotel, antara lain gambar-gambar hewan yang tercetak di lantai. Saya memekik senang melihat seekor kupu-kupu di lantai ruang duduk, seekor harimau di lantai balkon, seekor anjing spaniel di lantai lemari penyimpanan barang. Dan seekor singa jantan gagah di dalam sebuah ruangan kecil, yang pintunya hanya selutut saya dan berupa pintu jeruji seperti sel.

"Lho, ini ruangan apa, Mas?" Ruangan dengan singa di lantai itu hanya cukup buat dua orang berdiri berdesakan.
"Dulunya ruang instalasi listrik, Mbak," sahut si Mas kalem. Saya membayangkan dulunya ada generator atau semacam itulah di ruangan sempit ini. Oke, bisa dipahami. Saya segera menutup kembali pintu jerujinya dan berdiri dari posisi membungkuk saat melongok ke dalam. Di pojokan ada sesuatu yang memperhatikan, saya abaikan saja.

Tetapi, mulai dari situ... saya mulai merasa sedang diawasi. Sebetulnya, nggak aneh kan. Setiap bangunan, yang lama pasti memiliki kehidupan lain yang tak terlihat. Jangankan hotel kuno seperti Niagara, di rumah setiap orang juga ada.

Kami menaiki lantai empat yang tidak digunakan. Sungguh mengenaskan keadaannya. Dinding yang catnya mengelupas, kamar mandi yang rusak, dan kamar-kamarnya dikunci. Ada satu kamar yang saya coba buka, dan memang terkunci. Yang pernah saya baca, kamar terkunci di lantai empat adalah kamar yang dpernah dipakai seorang nyonya Belanda bunuh diri. 

"Ini kamar apa, Mas?" Tanya saya.
"Ini tempat simpan perabotan pribadi pemilik hotel, Mbak. Makanya dikunci."
Oh. Mengertilah saya.

Lantai lima juga keadaannya tidak lebih baik. Namun di sini saya menemukan ballroom dengan kaca besar menghadap ke pemandangan pegunungan di kejauhan. Dulu, pastinya belum ada jalan raya dan deretan rumah penduduk serta toko-toko di depan jendela itu. Mungkin hanya pepohonan, rerumputan dan pegunungan. 

Oh iya. Hampir lupa. Yang paling diperhatikan pengunjung hotel Niagara adalah lift-nya yang kuno dan dijalankan secara manual dengan tuas yang digerakkan manusia (seperti di film-film barat lama). Sayangnya, lift itu sudah nggak bisa dipakai lagi. Kondisinya sudah rapuh dan membahayakan bagi pengunjung.

Halo

Saya mendengar orang berbisik tepat di telinga saya. Tak mungkin pura-pura tak mendengar. Suara itu suara perempuan yang lembut dan berlogat asing.
Wie ben jij? (Kamu siapa?)

Terdengar tawa halus. Oh, saya bisa bahasa Indonesia kok. Boleh mengobrol? Kebanyakan tamu di sini tidak bisa diajak komunikasi.

Tidak. Sahut saya dengan malas. Pandangan saya masih menatap ke luar jendela. Agar si mas pegawai hotel dan Tantri tidak melihat saya sedang 'ngomong sendiri'.

Cuma sebentar. Suaranya terdengar kecewa. Hidup di sini membosankan. Keluhnya.

Kamu nggak hidup. Balas saya. Lupa?

Oh jaa! Dia tertawa lagi. Suara yang normal, tidak menakutkan. 

Saya memutuskan kontak dan mengajak si mas dan Tantri pindah ke ruangan lain. Saya tidak menoleh dan sibuk berseru kagum, memotret dan tanya ini itu pada si mas pegawai.

Dari lantai lima, kami menuju ke rooftop. Di sana, berdiri sebuah tangki penampungan air yang sangat besar. Di atas tangki itu ada menara pengintai yang anak tangganya curam, terbuat dari besi tempa. Tentu saja saya naik ke sana. Dari tempat yang tinggi itu, saya bisa menatap ke mana-mana. Tampak pegunungan yang mengelilingi kawasan Lawang, lalu lintas di sekitar hotel dan rumah-rumah penduduk. Angin yang sejuk menerpa tubuh saya dan rasanya ingin merentangkan tangan sambil berseru senang.
Masalahnya, kami berdiri di atap saja, orang-orang di bawah sudah pasti memperhatikan. Hotel yang konon berhantu di atapnya ada dua cewek nongkrong foto-foto.
Kalau tiba-tiba saya berseru-seru, jangan-jangan dikira kesurupan.

Si Mas menunggu kami dengan sabar sampai akhirnya kami turun dari menara pengintai yang konon dulu digunakan tentara Belanda dan Jepang untuk mengintai situasi sekitar.
Tur berakhir, dan kami kembali ke kamar di lantai dasar. 

"Eh, tunggu di sini, ya," kata saya pada Tantri. "Aku mau motret dulu bagian belakang hotelnya." 
Sekilas saat baru datang, saya melihat sebuah bangunan lain di belakang hotel. Entah itu bekas istal atau kapel. Tapi saya lebih cenderung menduga itu tadinya semacam kapel untuk berdoa.

Saya sedang memotret di antara rerimbunan tanaman pagar hijau cemerlang, ketika perempuan bertubuh transparan itu datang lagi. Dia masih penasaran kepada saya rupanya.
"Iya deh," kata saya. Mumpung saya sendirian. "Cerita deh."
Lalu dia bercerita. Lebih tepatnya mengeluh bahwa dirinya menjadi arwah yang tidak tenang dan terjebak di tempat itu. Anehnya dia tidak mau menyebut namanya.

"Saya dipanggil Ilse," katanya. Ilse bisa berarti singkatan dari Lisa, Elsa, Elizabeth, atau Elize. Dia tersenyum lebar membaca pikiran saya yang sedang mengira-ngira. "Saya sudah melupakan nama asli saya. Entah siapa itu. Nama itu membawa kenangan pahit dari akhir kehidupan saya."
"Terus kenapa mau menceritakannya ke saya sekarang?"
"Oh, lihat tangan-tangan itu..." Ia melambai ke arah tangan-tangan saya yang sedang menggenggam kamera. "Itu tangan seorang penulis," ujarnya lembut. "Seorang sahabat saya dulu juga penulis. Ia punya tangan-tangan mungil dengan jari-jari montok seperti bayi, tetapi lentur dan lincah jika menggenggam pena dan menarikannya di atas kertas. Kamu datang ke sini untuk menulis sesuatu, kan?"

Saya menghela napas dan mengangguk. Ini obrolan dua arah yang mulai menyenangkan. Seperti bercakap-cakap dengan mahluk hidup. Saya membayangkan Ilse yang masih hidup adalah sosok perempuan Eropa dewasa, bergaun penuh renda dan mengembang seperti kurungan ayam, dengan topi lebar berpita dan payung hias kecil berwarna krem, berjalan-jalan di taman hotel ini yang dulu tentu sangat indah.

"Memotretlah," ujarnya. "Jangan berhenti, sementara saya akan menceritakan kehidupan saya di masa itu."

................................

Saya akan mempersingkat obrolan saya dan Ilse, dengan statement ini:
Saya tidak akan menceritakan kembali apa yang dikisahkan Ilse kepada saya, meskipun saya sempat bercerita secara lisan pada beberapa teman yang saya percayai.
Kenapa? Karena saya ingin orang-orang melihat hotel ini sebagai peninggalan sejarah-cagar budaya yang harus dinikmati keindahannya. Bukan ditakuti sebagai sarang hantu, seperti yang didesas-desuskan orang selama ini. Yang diceritakan Ilse kepada saya, sesungguhnya hanyalah penggalan masa lalunya sebagai manusia hidup, yang tidak berkaitan langsung dengan hotel indah ini.

Begini deh.
Semua tempat tidak pernah kosong dari 'penunggu' yang tak terlihat. Bahkan, di tempat-tempat ibadah ada jin-jin baik yang turut menjaga kesucian tempat itu dan ikut beribadah jamaah bersama umat manusia. Di setiap rumah juga ada penghuni lain yang tak terlihat. Jadi kenapa harus takut? Karena kalau kita baik-baik saja, mereka tidak akan mengganggu. Kalau hati kita bersih dan niat kita lurus, dan selalu ingat kepada Allah, tidak akan ada satu pun mahluk halus yang berani mengganggu, karena Allah memberikan penjagaan-Nya.

Saya ingin sekali, hotel ini suatu hari nanti menjadi bangunan heritage yang megah dan dibanggakan, seperti halnya hotel Majapahit dan hotel Tugu. Sungguh sayang kalau semua pernik asli dari masa kolonial di tempat ini rusak dan hilang ditelan zaman.

Sejarah adalah cermin kehidupan.

Ciyeee... gue jadi serius gini. Yah, pokoknya gitu deh.
Sori kalau ada yang nggak puas dengan akhir ceritanya. Hehehe...
Kalau penasaran, berkunjung aja ke hotel ini. InsyaAllah, nggak ada apa-apa, selain bangunan indah yang menanti dipugar.

Ruang makan merangkap restoran

Bangunan luar yang masih asli dan hanya dicat dengan warna sesuai warna aslinya

Pintu antar ruangan yang tinggi dan bergaya Latin

Lukisan harimau di lantai balkon

PS:
Dengan ini East Trip dinyatakan selesai :)




Image and video hosting by TinyPic

7 comments:

Anonymous said...

Iiihhh seruu. Sewaktu kuliah di Malang sering bgt lewat hotel ini dan asli selalu merinding disko klo memandangnya. Ternyata didlm hotelnya arsitektur bangunannya menarik ya mbak. Sayangnya foto2nya kurang banyak ;)

-Ika-

Armae said...

Whaowww... di bagian awal tadi saya masih menilai-nilai ini fiksi atau nyata. Ternyata...

Masih penasaran ingin memvisualisasikan segala deskripsi tentang hotel ini. Sejauh ini hanya melihat dari depan saja.

Dedaunan Hijau said...

hotelnya dari fotonya bagus, dinding merah nya itu unik
ketemu hantunya ramah banget ya mba'
tidak menakutkan
ceritanya seru hehe

Enno said...

@ika: males ngediiit hehe... semua foto traveling ada di Instagram. Punya instagram gak? :)

@armae: masuk aja... pura2 numpang istirahat dan beli minuman di restonya. Lumayan liat ruang makannya :)

@dedaunan: kebetulan aja nggak serem :p

Hans Febrian said...

ennoooooooooooooooo, ternyata udah nyampe hotel niagara aja. gimana disana?
aduh, aku ga kebayang lagi deh gimana jadinya kalo ketemu mbak liz.

Enno said...

haaaans! ga seserem itu koook hahahaha...

Anonymous said...

hotel Niagara..keren.., sy suka ceritamu...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...