Pulau Sabang, Aceh, 27 Januari 1933
Laut di perairan Sabang tampak jernih. Warna langit pagi yang sangat biru memantul cemerlang di permukaannya. Sebuah kapal perang Belanda yang tengah berpatroli di bagian barat Sumatera bersandar di pulau Sabang. Di lambungnya tertulis besar-besar ‘Zeven Provincien’. Sebagian perwira kapal masih berada di kabinnya, sementara para kelasi bawahan telah sibuk menjalankan tugas masing-masing.
Sebuah telegram dari Surabaya diterima markonisnya pagi itu. Berita yang membuatnya tersentak dan segera memanggil kelasi yang selama ini menjadi teman baiknya.
“Hei Boshart, ada telegram penting dari Surabaya barusan,” bisik Karel. Di ruang radio hanya ada mereka berdua. Berita itu datang beberapa menit yang lalu, komandan kapal perang itu pun belum diberitahu.
“Berita apa, Karel?” Maud Boshart adalah kelasi muda berpangkat kopral, yang bertubuh tinggi, kurus, dengan wajah ramah. Dibandingkan mayoritas marinir Belanda di kapal itu, pemikiran Boshart dianggap paling radikal. Ia selalu condong berpihak pada para kelasi pribumi.
“Demonstrasi besar di Surabaya, Maud. Kemarin ratusan pelaut melakukan pemogokan menentang kebijakan Angkatan Laut Hindia Belanda yang menurunkan gaji pegawai pribumi dan orang-orang indo.”
Memang benar. Ratusan pelaut di Surabaya melakukan pemogokan umum tanggal 27 Januari 1933 untuk memprotes keputusan penurunan gaji pegawai pemerintah Hindia Belanda bagi pribumi dan indo Belanda/Eropa sebesar 17%, yang diumumkan pada tanggal 1 Januari. Dan berita itulah yang ditelegramkan markonis dari Surabaya ke seluruh kapal laut Belanda yang sedang berpatroli di luar Surabaya.
Sebetulnya ketika pemogokan itu terjadi, para perwira pelaut Belanda berusaha menutupi kejadian ini. Segala pemberitaan mengenai pemogokan dilarang, dan orang-orang dilarang membicarakan kejadian itu.
“Akhirnya terjadi juga,” gumam Maud. “Kau teruskan telegram itu pada komandan sepuluh menit lagi. Beri aku kesempatan memberitahukan ini pada yang lain.”
“Baiklah,” ujar Karel.
Maud Boshart meninggalkan ruang radio menuju buritan. Tadi ia melihat Martin Paradja sedang memeriksa sesuatu di sana. Martin harus tahu berita ini. Beberapa hari yang lalu, mereka telah membicarakan soal penurunan gaji yang menyebabkan ketidakpuasan di kalangan pelaut pribumi. Meskipun gajinya tidak ikut turun, tapi Boshart bisa merasakan kemarahan terpendam teman-teman pribuminya di kapal itu. Sesuatu yang dianggapnya sebagai ketidakadilan dan perbedaan perlakuan dari pemerintahnya, yang sejak lama membuatnya muak.
Martin masih ada di sana. Ia sedang bicara dengan seorang kelasi Belanda. Boshart memberinya isyarat untuk mengikutinya ke tempat yang aman dari kecurigaan orang. Diceritakannya apa yang didengarnya dari markonis Karel.
“Apa yang akan kita lakukan?” Tanya Boshart. Sudah lama ia menghargai Martin Paradja sebagai orang yang punya kemampuan dan inisiatif di antara kelasi-kelasi pribumi lainnya di kapal perang itu.
“Sudah waktunya kita mendukung mereka, Kopral Boshart.”
“Maksudmu?”
“Zeven Provincien harus kembali ke Surabaya dan bergabung dengan pemogokan umum itu.”
“Kau gila, Martin. Kapal ini sedang tugas patroli. Bagaimana caranya mempengaruhi Komandan supaya kembali ke Surabaya?”
Martin Paradja tersenyum tenang. “Kita akan temukan caranya. Besok malam kita adakan rapat.”
Esok malamnya, 28 Januari 1933, menjelang hari raya Idul Fitri, para pelaut pribumi dan Belanda menggelar rapat tertutup, mempersiapkan pemogokan. Kepada para perwira kapal mereka beralasan rapat itu untuk membahas rencana penyambutan hari raya lebaran.
Tetapi, perwira-perwira Belanda sempat mencurigai rapat itu, karena beberapa pelaut Belanda yang dipimpin Boshart juga ikut rapat. Beruntung, sebuah kebakaran besar terjadi di pusat kota, sehingga Polisi Belanda dikerahkan ke sana dan tidak jadi menggerebek rapat itu. Rapat berjalan lancar, diisi dengan pidato-pidato. Pertemuan ditutup dengan menyanyikan lagu “Internasionale,” lagu gerakan buruh internasional yang terkenal itu.
…………….
Perairan Ulee Lheue, Aceh, 30 Januari 1933
Zeven Provincien angkat sauh meninggalkan Sabang. Markonis Karel kembali memanggil Boshart.
“Pemogokan masih berlangsung, Maud!” Bisiknya waswas. “Telegramnya tiba beberapa menit yang lalu.” Ia menunjukkan telegram yang disalinnya itu dengan tangan gemetar. Ia menyadari sesuatu akan segera terjadi di Zeven Provincien, karena ia mengetahui rapat rahasia yang digelar Boshart dan para pelaut pribumi.
Benar saja. Begitu mendengar berita itu dari Boshart, para pelaut pribumi di kapal perang itu kembali mengadakan rapat. Namun mengetahui bahwa kabar ini sudah tersiar, komandan kapal mengumpulkan semua anak buah kapal untuk briefing.
Kapten Eikenboom, komandan kapal itu, berdiri di depan mereka. “Saya harap kalian tidak meniru contoh buruk orang-orang di Surabaya untuk mengadakan pemogokan juga di kapal ini. Saya tidak mau dengar alasan bahwa kalian tidak menyetujui penurunan gaji,” katanya tegas bernada ancaman.
Peringatan itu tidak menurunkan semangat perlawanan anak buah kapal berdarah pribumi. Martin Paradja dan temannya, Rumambi, sepakat memimpin pemberontakan dan membawa kapal perang itu ke Surabaya.
Para kelasi pribumi dan teman-teman Belandanya yang mendukung mulai menyusun rencana.
-bersambung….
Kapal perang AL Hindia Belanda, Zeven Provincien |
5 comments:
tumben saya jadi pertamax. masih bersambung. jd bikin greget.
btw no, ini ada lomba menulis.
http://www.penulislepas.com/the-life-awards-2011-lomba-karya-jurnalis-tentang-pencegahan-dini-penyalahgunaan-narkoba
kalau2 kamu tertarik ;)
loh...kenapa masih bersambung? ckckckck...seneng bgt to bikin penasaran?
@maya: wah tengkyuh, udah ku cekidot ke sana.... kamu ikutan may? :D
@glo: emang ceritane puanjang je :P
*HEUKH! OH NO! Sy punya firasat kalo sy bakal cinta mati sm Maud Boshart, dan Maud bakal punya nasib buruk. O_O;
Skrg sy bingung, bakal baca lanjutannya apa nggak.. Sy ga mau patah hati.. @_@
hihihi... brani jatuh cinta ya hrs brani patah hati nez..
ayo baca terus ah! :))
Post a Comment