Menahan mual dan pusing, saya bersandar di pagar dekat buritan bersama beberapa penumpang lainnya. Menatap ke barat, memperhatikan matahari yang memerah dan turun perlahan di cakrawala, seolah hendak tenggelam di lautan.
Tiba-tiba terlintas dalam benak saya. Sunset seperti inilah yang dipandangi para pelaut zaman dahulu yang mengarungi samudera, mencari dunia baru. Seperti Vasco da Gama. Seperti Columbus. Seperti Laksamana Cheng Ho.
……………………
Zhu De adalah kaisar Cina paling ambisius di zaman Dinasti Ming, di era Yongle (Kegembiraan Abadi) yang berdiri tahun 1402. Ia ingin kekaisaran Cina diakui dunia luar dan dihormati sebagai penguasa besar. Maka tercetuslah ide untuk mengadakan pelayaran besar-besaran ke Samudera Barat.
“Kau yang memimpin armadaku,” titahnya pada Cheng Ho, salah seorang kepercayaannya. “Bangunlah armada yang besar, buat kapal-kapal raksasa dan pilih pelaut-pelaut paling tangguh untuk berlayar denganmu.”
Atas mandat dari Kaisar, Cheng Ho mulai membangun armadanya yang raksasa. Kapal-kapal kayu yang besar dibuat. Ukurannya raksasa, bahkan lebih besar dari kapal penjelajah Eropa sesudah era penjelajahannya. Sebagai perbandingan, kapal-kapal induk armada Cheng yang disebut baochuan berukuran panjang 122 meter dengan lebar 52 meter. Sedangkan kapal-kapal induk Vasco da Gama, penjelajah Portugis terkenal itu, hanya sepanjang 23 meter dengan lebar 5 meter.
………………
Kapal yang saya tumpangi adalah jenis kapal cepat yang ukurannya lebih kecil dari kapal penumpang biasa. Dengan kapal ini, kami bisa menghemat perjalanan satu hari lebih cepat, meskipun ongkosnya lebih mahal. Saya juga senang karena dua orang tetangga saya yang asal Kalimantan mudik dan seperjalanan dengan saya.
“Dek, lekas masuk ke dalam, tiduran dulu. Sunsetnya sudah selesai. Nanti mabuknya makin parah lho,” kata Bang Jalil, penumpang asal Tangerang yang bepergian dengan isterinya.
“Iya, sudah pucat gitu. Kalau mau muntah, keluarkan saja. Biar perutnya lega,” sahut Kak Deta, isterinya.
Saya mengangguk dan bergegas meninggalkan geladak. Memalukan. Baru berlayar menyeberangi selat saja sudah mabuk. Bagaimana kalau mengarungi samudera selama bertahun-tahun? Saya pasti mampus.
…………………
“Laksamana Cheng,” ujar Kaisar. “Ingatlah bahwa engkau membawa amanat kerajaan. Yakni membawa ketertiban ke empat penjuru bumi. Ini adalah misi yang mulia. Tunjukkanlah kepada dunia kemuliaan dan kekuasaan kekaisaran Cina.”
Pada 11 Juli 1405, pelayaran pertama Laksamana Cheng Ho dimulai. Armadanya yang dijuluki ‘Armada Harta’ bertolak dari pelabuhan Nanjing (ibukota Cina sebelum pindah ke Beijing), terdiri lebih dari 300 kapal besar menuju Samudera Barat. Menjelajahi rute Asia, Timur Tengah sampai Afrika. Diawaki sekitar 30 ribu pelaut, ratusan pejabat, tabib, ahli nujum, teknisi, tukang kayu, pandai besi, akuntan dan penerjemah.
Kapal-kapal itu memuat berton-ton sutera, uang logam, emas, perak dan keramik, yang nantinya akan ditukar dengan rempah-rempah, bahan tambang, batu berharga bahkan satwa.
Sang laksamana berdiri tegak di haluan, menatap ke depan. Sementara di sekitarnya para pelaut sibuk menjalankan tugasnya masing-masing. “Hong! Ukurlah kecepatan kapal!” Serunya pada seorang ABK.
Di masa itu, cara mengukur laju kecepatan kapal adalah dengan memerintahkan seorang awak berjalan di geladak, menghitung langkah dari haluan ke buritan mengikuti pelampung di laut.
Admiral Cheng Ho |
Tinggi tubuhnya dua meter dengan suara yang lantang, namun wajahnya ramah dan tutur katanya lembut. Itulah Cheng Ho atau dikenal juga dengan ejaan Zheng He. Ia seorang muslim, yang saat masih kecil diambil paksa oleh tentara kekaisaran dari tanah kelahirannya di provinsi Yunan, Asia Tengah, dikebiri untuk dijadikan kasim istana. Ia menjadi orang kepercayaan Pangeran Yan, yang kelak menjadi Kaisar Zhu De. Karirnya menanjak sejak menjadi ahli strategi sang kaisar. Nama aslinya Ma He. Ma berarti Muhammad.
Sepanjang 4.000 tahun, Laksamana Cheng Ho adalah tokoh yang berpengaruh dalam sejarah negeri Cina. Ia menjalin kerja sama, perdagangan dan hubungan politik internasional dengan negara-negara lain, jauh sebelum Dunia Barat memulai pelayarannya dan imperialismenya. Ekspedisi-ekspedisinya mengubah kekaisaran Cina menjadi kekaisaran yang terbuka bagi perdagangan dan hubungan internasional.
Meski demikian, ia adalah sosok yang bersahaja, menjunjung tinggi kebaikan dan toleransi beragama. Itu semua ia teladani dari Haji Ma, ayahnya.
“Ayah Ma tidak tertarik pada kekuasaan dan kedudukan. Ia puas hidup sebagai orang kebanyakan. Ia berani dan tegas dalam kehidupan sehari-hari. Ketika ada orang yang tidak beruntung, yang tidak punya tempat bersandar, ia selalu menawarkan perlindungan dan bantuan pada mereka. Ayah Ma adalah teladan kemuliaan.”
Itu adalah gambaran Cheng Ho tentang sang ayah yang dipahatkan di batu nisan Haji Ma, di tanah kelahirannya Kunyang, provinsi Yunan.
…………
“Sudah mendingan?” Kak Deta menyapa saya di ruang makan, saat kami antri mengambil makan malam.
“Lumayan, Kak,” sahut saya sambil nyengir malu. Kepala saya masih pusing, perut saya masih mual. Belum pernah saya merindukan daratan sehebat itu.
Saya tidak mungkin berlayar bertahun-tahun, pulang pergi sampai tujuh kali seperti Laksamana Cheng Ho. Wong baru segini saja sudah ‘tewas.’ Padahal tadinya saya berharap ini akan menjadi pelayaran yang menarik, seperti bayangan saya tentang pelayaran Armada Harta.
……………
Armada Harta yang dipimpin Cheng Ho |
Yang besar adalah replika kapal Cheng Ho, yang kecil kapal Columbus. Bandingkan :) |
Tahun 1407, Selat Malaka dikuasai armada bajak laut yang dipimpin Chen Zuyi. Cheng Ho telah menerima laporan itu dari anak buahnya, ketika armada mereka sedang mengarah ke sana. Chen bermarkas di Palembang. Ia menjadi bajak laut paling ditakuti yang menguasai jalur perdagangan strategis itu. Menghadang setiap armada yang lewat, merampok dan menenggelamkan ratusan kapal, membunuh ribuan awaknya. Kejahatannya tak terkendali.
Cheng Ho hanya berkata dengan tenang. “Kita hadapi mereka. Carilah orang yang bisa memberikan informasi tentang pergerakan pasukan Chen,” katanya pada para perwira maritimnya. “Janjikan kedudukan dan hadiah emas jika bisa memberikan keterangan berharga. Chen bukan orang bodoh. Ia pasti juga menyusun strategi.”
Chen memang sudah menyusun rencana licik yakni suatu serangan mendadak saat dirinya pura-pura menyerahkan diri pada pasukan Cheng Ho. Namun rencana itu sudah bocor duluan berkat informasi orang dalam yang disuap Cheng Ho, sehingga seluruh pasukan Chen dihancurkan. Chen Zuyi sendiri dibawa ke Nanjing dan dieksekusi.
Di Sri Lanka, armada Cheng Ho juga bertempur dengan salah satu suku pemberontak beragama Buddha, yang lebih dulu menyerang anak buahnya saat baru turun dari kapal. Ia berperan dalam resolusi damai antara tiga agama di negeri itu, lalu membuat prasasti perdamaian antara agama Islam, Hindu dan Buddha yang dipahat dalam bahasa Tamil, Cina dan Persia di atas lempengan batu.
Cheng Ho juga menjadi saksi perang saudara di kerajaan Majapahit antara keluarga Wikramawardhana dengan Bhre Wirabumi, ketika tahun 1405-1406 armadanya singgah di Pulau Jawa. Perang itu bahkan ikut menewaskan 170 orang anggota rombongan Cheng Ho. Ia juga singgah di Kerajaan Samudera Pasai dan menghadiahkan sebuah lonceng kepada raja. Lonceng itu diberi mana Cakradonya dan kini tersimpan di Museum Banda Aceh.
…………………
Sholat di atas kapal laut adalah sesuatu hal yang baru bagi saya. Untuk mengetahui arah kiblat, saya terpaksa bertanya-tanya pada ABK. Arah kiblat terkadang berubah-ubah sesuai arah kapal. Pengalaman yang baru itu ternyata membuat saya lebih merasa dekat pada Yang Maha Kuasa.
Ya Allah, di atas kapal ini hanya kepada Engkau aku berpasrah. Begitu kecilnya kami, begitu tak berdayanya. Hanya dalam lindungan Engkau kami berserah diri. Lancarkanlah perjalanan ini agar kami selamat sampai tujuan. Amin.
……………..
Sebagai seorang muslim, Cheng Ho tidak melupakan kota Mekah dalam rencana pelayarannya. Itu adalah pelayarannya yang ketujuh, yang menjadi akhir dari rangkaian ekspedisi raksasa kekaisaran Cina. Cheng Ho meninggal dua tahun setelah pelayaran armadanya ke Semenanjung Arab.
Ma Huan adalah orang kepercayaan Laksamana Cheng. Ia juga seorang Cina muslim, meski dari provinsi yang berbeda. Ma pandai berbahasa Arab dan bertindak sebagai penerjemah senior di Armada Harta. cheng Ho mengutusnya ke Mekah.
Ma Huan menerbitkan catatan pelayarannya tahun 1416, yang dalam bahasa Inggris berjudul “The Overall Survey of the Ocean’s Shores.” Buku itu bagaikan ensiklopedi lengkap tentang negeri-negeri yang pernah mereka kunjungi.
Ia menulis introduksi untuk catatannya "Tahun ke sebelas Kaisar Yung Lo, Kaisar menerbitkan imperial order kepada kasim Cheng Ho untuk memimpin kapal angkut harta dan berlayar di laut barat demi membacakan perintah kaisar dan memungut upeti. Aku turut serta sebagai penerjemah kemanapun ekspedisi ini pergi, tak terhitung jutaan li, berbagai negeri dengan beda iklim, musim, topografi dan penduduk. Aku melihat keragaman ini dengan mata sendiri dan menjalaninya sendiri dengan kakiku. Banyak lagi keanehan dan keajaiban yang bisa disaksikan. Maka aku menulis penampilan orang-orang asing ini setiap negerinya, adat istiadat mereka dan membuka wawasan pembaca nantinya seberapa jauh pengaruh Kaisar kita dibandingkan dengan dinasti-dinasti sebelumnya."
……………..
David Mwinyi adalah kenalan saya yang dulu bekerja di Kedubes AS di Jakarta. Keluarganya berasal dari Kenya. Orangtua ayahnya berimigrasi ke Amerika di tahun 60-an.
Ia bercerita bahwa nenek moyangnya masih memiliki darah Cina, meski secara fisik sudah tak terlihat lagi.
“Kok bisa orang Cina nyasar ke Kenya?” Tanya saya.
“Mereka pelaut yang kapalnya tenggelam di perairan Kenya. Lalu menetap dan menikah dengan gadis-gadis setempat.”
Waktu itu, saya belum mengetahui sejarah ekspedisi Cheng Ho secara lengkap.
………………..
Di tengah hutan, di Pulau Pate, Kepulauan Lamu, Kenya, ada sebuah kompleks pemakaman tua. Arsitektur atapnya bergaya Cina klasik dari masa Dinasti Ming. Di tempat itulah konon para pelaut Cheng Ho yang kapalnya tenggelam dikuburkan. Mungkin salah satunya adalah leluhur David.
Makam Cheng Ho sendiri masih simpang siur. Sebagian sejarawan meyakini batu nisan bertuliskan namanya di lereng bukit Nanjing itu kosong, sama sekali tidak menyimpan jasad sang laksamana. Ada dugaan Cheng Ho meninggal dalam perjalanan pulang dan dimakamkan di pantai Malabar.
Nisan Cheng Ho di Kunyang, Yunan, yang dianggap kosong |
………………….
Pelabuhan di depan mulai tampak jelas. Kesibukan yang tak asing. Kuli-kuli panggul, kegiatan bongkar muat, peti-peti kemas yang sedang dipindahkan melayang di udara, para penjemput dan calon penumpang berbaur. Daratan Kalimantan bagian barat! Berakhir sudah pelayaran saya!
“Daratan! Daratan!“ Saya berseru girang. Mabuk laut yang menimbulkan penderitaan itu mendadak hilang. Mata saya sibuk mencari-cari kakak ipar saya yang berjanji akan menjemput.
Seperti inikah rasanya kegembiraan para penjelajah lautan itu saat kembali ke darat setelah bertahun-tahun berlayar?
Kami telah mengarungi lebih dari 100 li kawasan air yang sangat luas, dengan ombak-ombak yang sangat besar laksana gunung yang menjulang ke langit. Kami bertatapan dengan wilayah kaum barbar yang jauh tersembunyi dalam kabut tipis kebiruan, saat layar-layar kami terkembang laksana awan di siang dan malam hari.
-prasasti Cheng Ho, dipahat dalam sebuah pilar batu, bertahun 1431-
____________________________________________________________
Catatan:
Li = satuan jarak tradisional di Cina
100 li = sekitar 65.000 km
11 comments:
kereeennn mbak enno...
Kok bisa dpt inspirasi secerdas itu
darimana mbak referensinya sehingga bisa menghasilkan tulisan sebagus itu...
keren nih...
jadi ceritanya ttg org mabuk lauk yg terkoneksi dgn cerita pelayaran masa lalu, hehe :D
mba enno....klo tulisan ini aq rekomendasiin km mending jg daftar jd penulis buku sejarah nya anak2 sekolah...hehhee...sumpah..aq paling benci pelajaran sejarah, pikirku "masa lalu koq diungkit2" dan selalu ngebet tiap ulangan sejarah...hahhahaa...mungkin klo buku sejarahnya yg nulis kmk bs +menarik pelajaran sejarahnya...hehehhe
menarik... jadi sekalian belajar sejarah. hehehe.
btw, gua udah berkali2 naik kapal baik yang gede maupun feri, tapi cuma sekali ngalamin mabok laut parah. itu pas lagi mau balik dari pulau sepa ke ancol. ampun deh itu perjalanan 1 jam berasa kayak 1 minggu. pas begitu daratan mulai keliatan rasanya legaaaa banget. hehehe.
@ika: hehe ga tau nih tiba2 aja pgn nulis ttg Cheng Ho. referensinya dari mana2. aku kan doyan baca buku2 sejarah :)
@adhi: hehe... iya, ga sangguplah klo berlayarnya tahunan kayak org2 jaman dulu :P
@glo: hahaha... usulin atuh ke depdiknas :P
@arman: yaelah itu baru sejam doang ya man... gue dua hari 3 malem dari jkt ke kalimantan, udah berasa 10 taun gak nyampe2 hahaha...
wuihh.. panjang bener no tulisanmu x ini. mungkin gk bakal mual lg klo km sering berlayar.
fuihh... hari kejepit nasional begini, kantor ane sepiiiiiiiiii :((
*lohkokbahaskantor
hahaha... tau neh, udah dipangkas, msh panjang juga... klo dipangkas lagi esensinya malah ga dapet... :P
emang begitu nasib org yg kerja di media dan publisher, mana kenal sama harpitnas... kerja teruuuus sampe tepar! #pengalamanpribadi
:))
angin laut sepoi2 pastilah membuat gairah - apalagi perjalanan yg sangat menarik - hebat euy :P
sangat menarik klo gak pake mabuk laut :)
wadaw. kasian banget ya enn dikebiri. :c
gak kawin dong berarti dianya ya? ckckck..
hahaha... hans, komentarnya malah ttg kawin! :))
Post a Comment