Aku dijuluki ’kuda kore’ atau kuda liar karena jarang sekali berjalan tetapi pecicilan. Dan mereka memanggilku apa lagi ya? Aku sering tertawa keras-keras, hingga gigiku kelihatan.
- Kartini -
..................
Jepara, Jawa Tengah, 1903.
Perempuan berparas ayu itu mengajukan syarat kepada lelaki yang meminangnya. Tidak ada upacara berlutut dan menyembah kaki mempelai pria dan ia akan berbahasa Jawa ngoko dengan suaminya. Syarat yang terlampau radikal bagi kaum ningrat di masa itu.
Lelaki itu, Bupati Rembang Raden Mas Adipati Aryo Djojo Adhiningrat menyetujuinya. Maka, 11 November 1903, sang bupati menikahi perempuan itu sebagai isteri keempat. Setelah menikah, perempuan itu pindah ke Rembang mengikuti suaminya.
Perempuan ayu yang tak biasa itu bernama Raden Ajeng Kartini, dilahirkan pada 21 April 1879 di Mayong bagian Jepara, Jawa Tengah. Ia anak perempuan Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat,dan merupakan anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri.
Di masanya, kewajiban kaum perempuan hanya menjadi ibu rumah tangga serta mengasuh anak-anaknya. Gadis-gadis sejak dini dididik untuk berbakti kepada suaminya, mereka harus pasrah dan sabar menghadapi segala masalah di tangan kaum pria.
Sejak kecil, Kartini senang membaca buku, terutama buku-buku berbahasa asing. Ia menyerap semua pengetahuan kaum Eropa dan punya motto pribadi: "Aku mau." Wawasannya yang luas membuatnya ingin melanjutkan sekolah ke Belanda dan menjadi guru di Betawi. Namun ia tahu betapa sulitnya untuk mewujudkan hal itu. Jauh-jauh hari ia sudah membayangkan peristiwa yang akan terjadi pada dirinya sebagai perempuan yang tak berdaya.
Dalam salah satu suratnya pada sahabat penanya Nyonya Abendanon, ia menulis: "Pasti tiba saat di mana aku akan disandingkan dengan seorang suami yang belum kukenal. Di Jawa, cinta hanya sebuah khayalan. Orang Jawa yang sangat beradab bisa dihitung dengan jari, tapi budaya dan pendidikan belum diperhitungkan dalam hal immoralitas. Carilah dan mintalah sesuatu dari dunia aristokrasi laki-laki itu tapi bukan ini, moralitas, karena akan sia-sia. Aku benci. Aku memandang rendah mereka semua."
Kartini hanya bisa menunda pernikahannya sampai usia 24 tahun, lalu terpaksa mengalah pada adat. Usia yang di masa itu termasuk telat untuk menikah. Namun, niatnya untuk memajukan kaum perempuan Jawa melalui pendidikan tak pernah surut.
Ketika saya masih anak-anak, ketika kata ‘emansipasi’ belum ada bunyinya, belum berarti bagi pendengaran saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh dari angan-angan saja, tetapi di kala itu telah hidup di dalam hati sanubari saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan akan bebas, merdeka, berdiri sendiri.
- Surat Kartini kepada Estelle ‘Stella’ Zeehandelaar, 25 Mei 1899 -
Kemoderatannya tercermin pula dalam pergaulannya dengan keluarga. Ia berusaha mengubah adat istiadat yang lama. Terhadap keluarganya yang lebih tua, Kartini masih menggunakan bahasa kromo inggil (bahasa halus) bila bercakap-cakap. Tetapi ia meminta adik-adiknya berbicara sesama mereka dengan bahasa Jawa ngoko (bahasa sejajar). Sikap setara itu dianggap lebih bersahabat dan akrab.
Kartini juga tidak terpengaruh pada kebangsawanannya. “Bagi saya ada dua macam bangsawan, yaitu bangsawan fikiran dan bangsawan budi. Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut pendapat saya daripada melihat orang yang membanggakan asal keturunannya.” Demikian ia menulis kepada Stella, 18 Agustus 1899.
Pada sahabat penanya Estelle ‘Stella’ Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Ia juga mempertanyakan tentang agama (Islam) yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah dan tersedia untuk dimadu pula.
Tapi ia sangat yakin, suatu saat akan tiba zaman di mana pemahaman agama mempunyai perspektif keadilan pada perempuan, juga zaman baru yang memberikan kebebasan hak-hak dasar bagi perempuan dan keadilan bagi kaum pribumi. Menurut Kartini, Islam memberi ajaran yang baik, tetapi telah dinodai pemeluknya yang tidak tahu ajaran Islam yang suci dan menjadikan agama sebagai topeng perbuatannya.
Betapa hebatnya Kartini, puteri Bupati Jepara itu. Ia telah menyuarakan rekonstruksi terhadap ajaran agama yang menindas kaum perempuan pada zamannya, jauh sebelum gagasan-gagasan rekonstruksi ajaran agama yang berkeadilan pada perempuan disuarakan oleh para cendekiawan muslimah Aminah Wadud Hasim, Fatima Mernissi, Asghaar Eli Engineer, Rifaat Hasan, pada era 1980-an dan 1990-an.
Surat-surat Kartini kemudian hari dikumpulkan dan diterbitkan dengan judul “Door Duisternis Tot Licht” oleh Mr. J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda, yang juga adalah sahabat Kartini. Pujangga Baru Armijn Pane kemudian menerjemahkan dengan judul “Habis Gelap Terbitlah Terang: Buah Pikiran.”
Buah pikiran Kartini tidak hanya mengundang kekaguman, tapi juga kritik. Ketika ia menyuarakan kesetaraan gender, ia dianggap mengkhianati perjuangannya dengan menerima poligami, sebagai isteri keempat suaminya.
Tetapi sebenarnya saat menjelang pernikahan, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu.
Dan terbukti bahwa suaminya, lelaki yang ia biarkan menikahinya, adalah orang yang memahami pemikiran dan cita-citanya. Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Pada 17 September 1904, Kartini meninggal di usia 25 tahun, empat hari setelah melahirkan putera pertamanya. Namun masa hidupnya yang singkat itu tidak serta merta menguburkan pemikiran-pemikirannya yang progresif untuk memajukan kaum perempuan bumiputera.
_____________________
Suatu kenangan yang tak akan hilang bagi sebagian besar kaum perempuan Indonesia saat mereka masih duduk di sekolah dasar: mengenakan baju daerah (sebagian ada yang berkebaya ala Kartini lengkap dengan sanggul), berjalan perlahan-lahan dituntun ibunda menuju sekolah.
Entah kenapa, Hari Kartini yang jatuh pada 21 April selalu diperingati sekolah-sekolah dengan dengan lomba busana daerah atau lomba kebaya ‘mirip Ibu Kartini’, sementara alunan musik mengumandangkan lagu “Ibu Kita Kartini" yang semua orang hapal di luar kepala.
Tapi tahukah mereka apa yang sudah dilakukan Kartini? Tahukah pemikiran-pemikirannya yang progresif yang mendorong 'kaum pria' untuk memberikan kesempatan dan hak-hak setara bagi kaum perempuan?
Bagi saya, Hari Kartini lebih dari sekedar memperingati hari lahir sang puteri bupati Jepara. Hari Kartini adalah hari saya bersyukur karena telah mendapatkan kesempatan begitu besar menjadi perempuan yang merdeka.
Selamat Hari Kartini, gals!
20 comments:
mbak en, aku baru baca crita selengkap ini tentang kartini dri blog mu loh. beneran. dari kecil jarang ikut kartini-an, udah gitu ga suka sejarah, aku masuk skolah kimia pula, dan kebanyakan tulisan ttg kartini lebih nekanin ke emansipasinya dibanding cerita perjalan kartini sendiri.
thx mbak! :D
aq dulu sih pernah tau sejarahnya..hehe...tp ini merefresh kembali pengetahuanku yg isinya skrng tinggal minyak dan kilang..hahhaha...makasi ya...oya, ini ngga dipake bwt ikutan giveawaynya maya kan mba? klo iya, bakal kalah dong akyuu...hehehhehehehe...soalnya br maw posting bsk sih ttg bgini2an :)
kalau buku sejarah anak SD tulisannya dibikin cerita kaya Mba enno pasti seru deh...
aku jadi merefresh kembali ingatan ttg Kartini.
suka deh sama tulisannya. :)
kartini emang top dah tokoh panutan negeri ini
wah, ini itungannya ikut giveaway yg aku bikin bukan? hihii... btw, i love ur writing as always.
ehm, soal kartini dan emansipasi, sebenarnya kenapa ya ikonnya kartini, padahal ada dewi sartika yg bahkan sudah mendirikan sekolah utk perempuan, lalu ada lagi cut nya dhien, dll. mungkin alasannya karena publikasi (media surat dan buku) itu tadi ya, Habis Gelap Terbitlah Terang dan surat2 kartini dengan teman2 eropanya. jadi, kalau pada akhirnya hari emansipasi perempuan di indonesia harus jatuh pd tgl lahir kartini, rasanya tidak mengherankan.
tapi, sy juga bingung kok anak2 SD disuruh pake pakaian adat tiap tgl 21 ini ya. harusnya itu dilakukan pd tgl 17 agustus donk ya :D
Nooo, aku lebih suka diceritain macam ini loh daripada disuruh baca bukunya sendiri :D
Mau ya cerita lagi. Hehehe.
BTW, ini aku di kantor loh. Lagi available (no client engagement) :D
iy, mestinya hari kartini diperingati dengan lebih dari sekedar parade. sudah saatnya sekolah lebih menekankan pemahaman dariapada sekedar perayaan kosong.
Aku berterimakasih sama Ibu Kartini--udah dari dulu... Karena dengan adanya dia, perempuan bisa 'dilihat' jelas oleh kaum pria, gak cuma sekadar objek nafsu dan jadi pelayan belaka.
Di tempat asalku, mbak Enno, (segelintir tapi masih lumayan banyak)orang masih luar biasa bangga sama kasta dan jenis kelaminnya. Kasta dan jenis kelamin jadi alasan seseorang bersikap arogan.
Dulu saya selalu membantah, bila ada orang berkata, "laki-laki daerah saya malas-malas, istri yang bekerja," tapi setelah hidup dan menceburkan diri ke masyarakat, saya sadar apa yang orang bilang tentang para laki-laki itu benar--meskipun sudah banyak juga yang menyadari kesetaraan berumahtangga.
Tapi perempuan2 itu, meskipun, (sebagian) diperlakukan tidak adil, mereka tetap berusaha semampunya untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tetap mengasuh anak-anaknya, tetap bisa bermasyarakat, tetap menerima dan melayani para laki-laki itu, tanpa pamrih sama sekali.
Saya sadar, betapa 'super'nya seorang wanita, saat dia memiliki tekad teguh untuk memberikan kebahagiaan pada orang-orang yang disayanginya.
dan saya bangga jadi salah satunya.
Wah mbak, kalo semua guru sejarah punya gaya cerita kayak tulisan mbak ini, dijamin banyak anak yang tergila-gila ama sejarah...
Mbak Enno emank T.O.P.B.G.T. daaah...
Aku juga berterima kasih sekali ama ibu Kartini. Nggak kebayang kalau ampe sekarang kita perempuan Indonesia nggak bisa bebas berekspresi dan berkreasi...
selamat hari Kartini ya!!!
@all: hai selamat hari kartini yaaa hehehe...
buat maya: terserah ente deh, may.. sebenernya sih emang terinspirasi sama give away mu.. mau dong novelnya! haha.. ;)
buat jean a.k.a monik: kerja yg rajin deh, kan emansipasi hahaha :P
selalu suka sama tulisannya enno...
iya ya kenapa pemaknaan terhadap Kartini itu sangat dangkal tidak diresapi lbh jauh dari apa yg telah dia perbuat :)
udah lama ga masuk ke blog sini, jadi inget kangennya baca tulisan mbak enno yang kayak gini :)
met hari kartini mbak enno...
@azhar: ipul, pa kabar? :P iya soalnya buku sejarah isinya ga menarik dan isinya juga dangkal... atau kebanyakan guru sejarah cuma bisa nerangin secara textbook, nah itu kritik gue buat para guru tuh! :P
@tha: hai tha! kemana azaaa? :D met hari kartini juga ya :D
Oh no...! Malah disuruh kerja lagi... Huaaa...
habis gelap terbitlah terang. selanat hari kartini untuk seluruh perempuan Indonesia. maaf ucapanx telat soalx baru mampir lagi nich :)
asik... bs menginspirasi enno, twink.. twink.. btw ya, ane mo bikin award ah, blog2 yg inspire. hmm... km jg byk menginspirasi loh no ;)
@selfish jean: hehehe.... pis mon! :))
@billy: hai bil, pa kabar? thx udah mampir :)
@batikking: hello...
@maya: wah aku pengen bgt bikin award, tapi ga sempet bikinnya... ahaha... asik, aku bakal dapet dong? pesen lima ya! plus voucher makan :))
Untuk dijaman itu pemikirannya memang luar biasa..
Tapi No, walo zaman udh maju skr and lu blg lu bs meredeka, gak sedikit perempuan yg tertindas dlm bentuk penjajahan baru oleh pria :D but they just don't talk about it..
iya... tapi penjajahan itu bkn krn kondisi jaman, tapi krn kebodohan perempuan ybs, yg ga bs memberdayakan dirinya.
Post a Comment