Well, saya juga sih. Tapi saya kan tidak senorak dia.
Sialnya lagi kami sekelas, dan mejanya tepat di depan meja saya. Setiap kali Alex bermain basket sepulang sekolah, ia akan mengintip dari jendela kelas kami yang menghadap ke lapangan dan mulai berkicau. "Itu! Itu Kak Alex! Oh my God! Keren banget! Main basket dulu, nggak langsung pulang!"
Kata-katanya itu ditujukan kepada saya, tapi saya membuang muka dan pura-pura sibuk memeriksa PR. Jelas-jelas dia tahu saya juga naksir Alex. Saya menganggapnya jahat karena sengaja memanas-manasi. Bersikap seolah-olah cuma dia yang punya hak naksir kakaknya Abe. Huh!
Dinda, Abe dan Tedy sering menertawakan saya. Abe menjuluki saya dan Evi 'dayang-dayang Alex.' Julukan yang membuat saya akan menendang kakinya sampai dia mengaduh dan meringis.
Anak perempuan 'saingan' saya itu namanya Evita alias Evi. Ya betul, Evi yang itu. Adiknya Hedy, si panitia galak. Takdir yang aneh mempersatukan saya sekelas dengan adik si penjahat dan adik si pahlawan saat OSPEK dulu.
Yang lebih menyebalkan, karena Evi adik Hedy dan Hedy adalah teman Alex, ia jadi punya kesempatan 'jual tampang.' Beratus kali saya mendengar ocehannya tentang kunjungan-kunjungan Alex ke rumah mereka. Tapi Abe selalu punya cara sendiri untuk menghibur saya.
"Bilang aja sama dia, lu sering main ke rumah Alex," katanya sambil mengunyah pisang goreng di kantin sekolah.
"Gue kan mainnya sama elu, bukan sama Kak Alex."
"Tapi kan sama aja. Rumah gue itu rumah Alex juga. Udah, ntar kapan-kapan ngomong gitu di depan dia."
"Tapi kan gue nggak sesering itu main ke rumah elu," saya masih membantah.
"Yaelah. Itu sih gampang. Mulai besok, lu nyegat angkot dari depan rumah gue!"
"Hah?"
"Iya, serius. Kita motong jalan dari sekolah ke rumah gue. Yang belokan deket danau itu, tau kan? Jalan jauhan dikit nggak apa-apa deh. Banyak anak-anak yang suka motong jalan lewat situ kok."
"Niat banget..."
"Mau nggak? Kalau nggak mau ya udah."
Tapi saya memang ingin membungkam keganjenan si Evi sekali-kali. Apa salahnya menuruti saran Abe. "Iya, iya. Mau." Sahut saya akhirnya.
Abe nyengir. "Nah gitu dong. Mau makan bakso? Gue traktir deh, soalnya lu jadi kurus kering gitu gara-gara cemburu."
Saya meninju lengannya.
Saya memang berhasil membuat Evi kelabakan beberapa hari, ketika angkot yang ditumpanginya melewati rumah Abe dan Alex, dimana ia selalu melihat saya berdiri di depan pagar rumah mereka bersama Abe. Berseru-seru pada teman-teman yang lewat di dalam angkot, melambai-lambaikan tangan sambil minum teh botol dingin yang diambilkan Abe dari dalam.
Abe selalu menghibur saya. "Tenang aja. Cewek kayak si Evi bukan tipenya Alex," katanya. "Paling juga si Alex lupa kalo Hedy punya adik cewek bernama Evi."
"Ya sama aja. Paling juga Kak Alex lupa kalo dia pernah nolong gue waktu OSPEK."
"Eh, siapa bilang!" Bantah Abe. "Dia inget kok. Dia pernah nanyain elu sama gue."
Perasaan saya langsung melambung. "Bener? Serius lu? Apa katanya? Apa katanya?" Saya melonjak-lonjak.
"Dia nanya cewek yang dulu pengen nonjok Hedy gimana kabarnya. Dia bilang supaya gue hati-hati nggak bikin lu marah biar nggak lu tonjok."
"Sialan! Emang gue preman!"
Abe terbahak-bahak.
Meski sering disindir anak-anak lain, Evi cuek bebek. Ia bahkan berusaha akrab dengan Abe. Mengajaknya ke kantin, mengobrol atau pulang bareng. Tapi Abe yang setia kawan pada saya selalu menghindar. Ia akan mencari banyak alasan, kadang dengan jawaban halus, kadang jahil. Yang selalu saya sukai dari Abe adalah ia bukan anak lelaki yang kasar pada perempuan. Meskipun badung dan sering dipanggil kepala sekolah karena berbagai ulah, ia selalu bersikap baik pada teman perempuan.
Tapi Evi tidak bisa dibungkam. Sepanjang kelas satu, saya harus menahankan semua celoteh centil dan narsisnya tentang Alex. Semakin lama semakin heboh setelah suatu hari ia berhasil membujuk Hedy untuk meminta Alex mengantarnya ke suatu tempat.
Ia sedang sibuk menceritakan kisahnya saat diantar pergi Alex pada teman-teman di kelas, entah untuk keberapa ratus kalinya, membuat saya muak dan berjalan ke luar kelas.
Di koridor depan kelas, tiba-tiba seseorang melingkarkan lengan ke bahu saya. "Hey, tenang aja lagi. Kan masih ada gue."
Saya menoleh dan melihat wajah yang mirip Alex tersenyum. Ia, Abe, membelokkan langkah saya menuju kantin.
Yoo Ah-in. Senyum yang sama dengan Abe ^^ |
10 comments:
mampir ah,sehari ga baca postingan mbak en rasanya ada yg kurang, bela2in ke warnet nih, huhu.
mumet belajar muluuu =.=a
selalu senyum" sendiri klo baca postingan tntang abe, hehehehe ;D
no.. masa sih dulu lu gak berasa kalo si abe suka ama lu?
Kl si Abe mirip Ah In, bilangin mbak aku ngefans bgt....hihihi
never ending story about abe. Tapi ceritanya selalu asik untuk dibaca kok mbak...
anw, dulu sma nya di bandung?? bisi we kita sa almamater :P
horeeee,,.....abe lagi...xixixixi.....btw, saya setuju sama arman...masa uda dibegituin jg km gag nyadar sih mba? ckkckckck....
ennoo.... cuma mau nyapa. bosen nyapa di chat box. huahahhaa....
udah sembuh kan? gimana notebooknya udah nyampe belon :D *inikoknanyainhallaensih
Kayaknya ada yang nunggu waktu yang tepat aja nih....
@lia: lho, mau UN masih main ke warnet... btw semoga UN nya lancar yaa....
@vmee: coba tengak tengok dulu, diliatin org ga? tar dikira salah makan obat :P
@arman: kayaknya sih berasa, tapi dia kan pny pcr... jd gw sll mikirnya 'masak sih? masak sih?' gituuu... :))
@wury: memang mirip... jadi nitip salam? :P
@apis: hehehe sekolah di jakarta yud... dari pertengahan SD :P
@gloria: hahaha... tuh udah dijwb di arman :P
@maya: notebooknya baru dikirim senin ini ehehehe...
@fadly: heh? ini mah cerita nostalgia... ya udah telat kali :P
saya juga masih ada. hehehe peace!
thanks,
Dea Situmorang
Post a Comment