Bersembunyi di dalam pelukannya selalu terasa aman dan hangat. Tercium samar wangi aftershavenya yang saya kenal. Tommy Hilfiger.
Ia sungguh tampan. Saya tidak bohong.
Sosoknya seperti seorang pangeran yang melompat keluar dari buku komik. Dan tentu saja dia populer. Kalau saya bersama dengannya, pasti semua perempuan di jalanan itu menatap saya dengan sewot. Saya tahu mereka iri. Perempuan tidak cantik seperti saya mana sebanding dengan si tampan ini. Hahaha.
Tapi silakan saja iri. Si tampan tidak akan berpisah dari saya kok. Waktu kami masih kecil, ia suka menggelitiki saya sampai kami berkejar-kejaran di halaman. Saya harus pura-pura menangis supaya ia menghentikan keisenangan. Kalau melihat saya menangis, ia akan merasa bersalah lalu membelikan saya kue.
Hari ini, tiba-tiba saja ia datang. Turun dari mobilnya dengan mata berkaca-kaca. Setelah memeluk dan mencium saya, ia hanya berdiri saja di beranda dengan tangan di dalam saku celana.
Si sensitif. Persis saya. Bahkan caranya tertawa dengan mata menyipit segaris itu. Jiwa petualangnya yang membawanya bekerja sampai ke mancanegara. Segerombolan kucing di rumahnya. Caranya melepas marah dengan melakukan sesuatu (saya menulis, ia ngebut dengan mobil). Bagaimana bisa orang lain yang bukan siapa-siapa begitu mirip satu sama lain?
"Itu siapa? Gilaaa... ganteng banget! Kenalin dong!" Biasanya begitu teman-teman saya ribut melihat dia.
"Abang gue."
"Abang apa abang? Nggak mirip. Lagian kan kakak lu cewek. Pacar lu ya?"
Saya tertawa. "Mau sih punya pacar yang ganteng kayak dia. Tapi dia beneran abang gue."
"Oh, sepupu lu ya?"
"Sepupu ya sepupu. Abang ya abang. Dia kakak gue. Nggak percaya amat sih!"
"Bagus dong. Minta nomor hapenya boleh?"
"Ck! Ganjen!"
Ia masih saja berdiri di beranda. Matanya merah.
"Mas, masuk yuk. Sudah makan? Aku masak lho."
"Masak apa?" Ia menoleh, mencoba tersenyum. "Makin pintar masak ya sekarang? Yuk, Mas cicipi deh!" Ia merangkul bahu saya dan menarik saya masuk ke dalam.
Tubuhnya makin kurus setelah saya perhatikan baik-baik. Makannya lahap, tapi wajahnya kuyu. Sejak dipindahkan boss-nya ke Singapura, kami jarang bertukar berita.
"Mas, kenapa belum nikah?"
Ia menghentikan suapannya.
"Hm?"
"Kenapa belum nikah?"
"Belum ada yang mau."
"Bohong. Yang ngantri dari dulu banyak. Cantik-cantik pula."
Ia tersenyum. "Sok tau. Tau dari mana? Ngintip fesbukku ya?"
"Hehehe. Nggak usah ngintip fesbuk. Dari jaman kita masih kecil, fans mas kan udah segerombolan."
Saya ingat waktu dia SMA, sementara saya masih kelas enam SD. Setiap pulang sekolah, selalu ada beberapa cewek yang ikut pulang ke rumahnya, pura-pura mengerjakan PR bersama. Haha.
"Masakannya enak. Persis masakan Ibu." Lalu mukanya sedih lagi.
"Mas jangan sedih gitu dong. Nanti aku jadi ikut sedih. Aku nggak mau nangis nih. Kasihan Ibu kalau kita sedih terus..."
Tangannya terulur, mengusap kepala saya. "Oke, sayang."
"Makan yang banyak." Saya menambahkan sayur pada piringnya.
Dulu, mendiang Ibu memanjakannya. Sama seperti memanjakan adik lelaki saya si bungsu. Setiap Lebaran, Ibu selalu menyisihkan makanan-makanan yang disukai anak-anak lelaki itu agar mereka tidak kehabisan.
"Kue yang di lemari dapur buat Mas Danang. Jangan dihabiskan ya. Katanya baru bisa meninggalkan Singapura hari kedua Lebaran." Biasanya begitu pesan Ibu.
Ia minum seteguk air sehabis menandaskan isi piringnya. Saya hapal, setengah jam kemudian ia akan minum lagi segelas besar. Itu juga kebiasaan yang sama dengan saya.
Mungkin gara-gara kami punya gen yang sama karena menyusu pada perempuan yang sama?
Ya. Jangan salah sangka dengan segala adegan peluk dan cium itu. Ia saudara sesusuan saya. Numpang menyusu pada ibu saya dulu, waktu masih bayi. Saat itu Ibu sedang menyusui kakak saya Usi. Ibunya sedang punya masalah keluarga sehingga stres dan ASI-nya tidak keluar. Jadilah ibu saya merawatnya hingga beberapa bulan. Merawat dua bayi sekaligus. Ia dan Usi, yang umurnya hanya terpaut sebulan.
"Mau backpacking ke Bali naik kereta api?" Ia mengkonfirmasi isi SMS saya dua hari yang lalu saat ia masih di Singapura.
"He eh."
"Wah asyik tuh!" Ia tersenyum bangga. Ya, bangga. Bukankah ia yang selama ini mengajari saya berani? Ia dan hobi offroadnya, yang membuat saya muntah-muntah waktu dipaksa ikut. Ia dan hobi ngebutnya, yang membuat saya nyaris menangis waktu terjebak dalam situasi bad mood di perjalanan dengannya. Ia dan hobi naik gunungnya, yang membuat saya ingin mencoba dan jadi ketagihan.
"Tadinya mau nyoba Papua, tapi naik kapal laut sendirian selama 4 hari nggak diizinkan bokap."
"Ya jangan sendirian. Aku juga kuatir. Kapan-kapan backpacking ke Singapura, ke tempatku mau?"
"Mauuuu!"
Ia tertawa. "Ya, nanti. Ke Bali dulu sana!"
Kata orang-orang, ia adalah lelaki yang paling ideal untuk dinikahi. Menantu idaman. Tentu saja. Saya setuju. Ia ganteng, punya pekerjaan bagus, baik hati, dan tidak pelit. Haha. Tapi kami bukan untuk satu sama lain. Bukan semata-mata karena dalam Islam, saudara sesusuan dilarang menikah. Tapi memang kami benar-benar merasa seperti kakak beradik. Situasi dan kondisi yang sudah diciptakan para orangtua kami sejak kami masih kecil.
Saya mencintainya sebagai kakak. Ia mencintai saya sebagai adik. Hal itu bahkan sudah dikonfirmasi.
"Mas, masih belum melupakan Mbak Ambar? Mbak Ambar sudah menikah, Mas. Masa mau ditungguin jandanya?"
"Hus, kamu itu!" Ia menyenggol saya sambil melirik Ayah. Pasti tidak mau diceramahi.
Padahal saya ingin melihatnya segera menikah. Supaya wajahnya yang setampan pangeran itu tidak lagi murung dan sedih. Supaya orang-orang tidak lagi salah sangka, mengira kami berdua sama-sama belum menikah karena cinta terpendam. Haha.
"Sini!" Ia menarik tangan saya, menyeret saya sampai ke dapur. Jauh dari jangkauan mata Ayah.
Sesuatu yang tebal dilipat diselipkan di saku celana pendek saya. "Buat ongkos ke Bali. Selamat backpacking lagi. Bersenang-senang ya, sayang."
Saya ingin memeluknya, menyuruhnya untuk bahagia lagi. Tapi ia sudah kembali menemui Ayah. Wajahnya entah kenapa jadi penuh tekad. Mudah-mudahan bukan karena ingin menunggu mantan kekasihnya menjadi janda. Duh!
Kok fotonya Jang Geun Suk? Ya suka-suka saya dong... :D
18 comments:
jadi... abang apa 'abang' nih? huehehe.... just kidding... :P
abang..abang..sini sama eneng aja, masih single kog. sumpah
wkwkwkwkwkwkwkwwkkwwk
haha. salam deh buat si abang ganteng enn.
*LOH?? hahahahaha :p*
senangnya bisa punya abang seperti abangnya mba enno...
No! no! minta yang tebel tebel itu no!
uh-oh..seperti satu kisah nyata yang pernah terdengar di telinga henny. dan sekarang henny bisa ngebayangin raut wajah sedihnya si abang ganteng. hiks..cari yang baru aja lah bang..
fotonya, kirain foto cewek,, qiqiiqiq
yahh..asal abangnya buka jang geun seok seh gpp mbak.. #KikirKuku #GandengJangGeunSeok :))
Tiba-tiba kebayangnya Terry nya Candy-Candy *korban komik masa masih bocah*
@arman: haha lu bisa aje deh ah! :P
@tha: wuih langsung ngiler kalo ganteng ya... :P
@hans: hans! ternyata kamuh? :P
@kiiki: seneng dong... ganteng! hehe
@poppus: dasar emak2 matre! :))
@henny: tenaaang, lagi dicariin sama adeknya yg keren inih hohoho
@gek: hihi.. fotonya jang geun suk yg sama gantengnya...:)
@chie: soalnya kamu pasti ngiri kan? kan? :))
@elizabeth: waaah aku juga suka terry! sukaaaaa banget! ahhahaha
enno, mau dong kenalan sama abangmuu :)
aku mau jalan-jalan ke singapore, kan enak ada temennya hihihihi :p
Mau dunk punya abang ganteng!! Bdw, baca blog ini bener2 fun loh..
Sallam kenal ya mb enno.. :)
@owly: ehehe...jln2 bareng nyok? :)
@eliza: haha ya lucky me! makasih udah baca ya... salam kenal juga :)
keren abizzzzzzzzzzz
@Daydeh: thank youuuu :D
mm...enak ya punya abang....kakak cowo....jd kepengen :(
pasti asik bs seseruan bareng...hahaha...aq punyanya adek cowo sih....masi abege pula...bukannya dikasi duit malah minta duit mulu deh :(
betewe, semoga si abang cakep cepat menemukan jodohnya...sayang bgt klo cakep2 tp "nganggur" hahahaha
@gloria: haha tar klo adeknya dah dewasa bs seru juga kok, percaya deh :D
Post a Comment