Monday, November 15, 2010

Firasat

Selama ini ternyata saya telah menumpulkan diri. Saya, yang biasanya selalu waspada dan hati-hati dengan pertanda, tiba-tiba saja begitu awam dan tak peduli. Sejak sebelum Ibu sakit, firasat itu sudah meraja. Tapi saya menyingkirkannya jauh-jauh dari pikiran. Seolah-olah yang ada hanyalah hari-hari yang biasa. Kehidupan kami yang selama ini penuh warna, dan kemudian sedikit terusik keprihatinan karena sakitnya Ibu.

Sebelum jatuh sakit, Ibu sudah tampak pucat. Ibu juga jadi agak pendiam. Dan entah kenapa, setiap Ibu mau berangkat entah ke pengajian atau ke pasar, hati saya seolah tak terima. Tiba-tiba saya takut Ibu tidak pulang.

Saya masih ingat hari terakhir Ramadhan. Saya sedang menatap keluar jendela ruang tamu yang menghadap ke halaman dan jalan raya. Saya melihat Ibu di tepi jalan, pulang dari warung hendak menyeberang kembali ke rumah. Tiba-tiba saya merasa sangat menyayanginya dan berlari keluar. Di seberang sana Ibu tersenyum dan mencegah saya menyeberang. Ibu bisa kok, katanya sambil mengibas-ngibaskan tangan. Ketika lalu lintas sepi, ia menyeberang dengan langkahnya yang tertatih karena kaki yang sedang bengkak oleh asam urat. Saya menggandengnya ke rumah. Dengan hati penuh sesal karena membiarkan Ibu pergi ke warung sendirian,

Mungkin itu firasat. Seperti juga setiap kali saya berbicara tentang Ibu pada orang lain, saya selalu memakai kalimat lampau (past tense). Ibu 'dulu' begini. Ibu 'dulu' begitu. Saya sampai sering menghentikan kalimat di tengah percakapan karena terkejut sendiri, kenapa saya menggunakan kata 'dulu' padahal Ibu masih hidup.

Dan saya yang tidak pernah sekalipun mau berpakaian hitam saat menjenguk orang sakit karena merasa takut itu menjadi pertanda, di hari kepergiannya menjenguk Ibu dengan tshirt hitam. Tak sedikitpun terbetik perasaan janggal. Bahkan saya sekarang ingat, sebelum Lebaran tiba-tiba saja saya mengumpulkan kerudung hitam, menumpuknya di lemari. Saya juga memilah-milah kerudung sutra Ibu yang sudah tidak lagi dipakainya dan memindahkannya ke lemari saya.

Hey, hey, buat apaan tuh? Tanya Ibu. Itu kerudung bagus semua!
Ini kan warisan, sahutku sambil nyengir.

Mungkin Ibu juga punya firasat sendiri, karena beberapa bulan lalu ia pernah bertanya padaku begini:
Kalau Ibu sudah meninggal, piring dan gelas-gelas Perancis Ibu mau dikemanakan?
Buat aku dong, sahutku.
Saudara-saudara kamu nggak dikasih?
Dikasih, tapi sedikit. Aku tertawa.
Nah, nah, itu nggak boleh begitu.
Usi sudah punya kan? Koleksinya lebih banyak dari Ibu. Lebih bagus-bagus.
Tapi adikmu gimana?
Ah dia kan anak lelaki. Istrinya minta aja warisan dari ibunya sendiri. Kalau ibunya nggak punya gelas Perancis ya salah sendiri.
Ibu tertawa karena tahu aku cuma bercanda. Ia mencubitku. Nggak boleh gitu dong, Ret.
Iyaaa, nanti dikasih. Tapi sedikit aja ya hehehe

Selama sakitnya, Ibu selalu saja mengabsen orang-orang yang disayanginya dan menitipkannya pada saya. Si Nova kasih makanan ya. Jangan lupa kasih uang jajan kalau mau sekolah.
Nova adalah anak mantan pembantu kami yang sudah meninggal. Ibu mengasihi anak itu seperti keluarga sendiri. Sudah tidak punya ibu, kata Ibu. Dan sekarang saya senasib dengan anak itu...

Saya sungguh-sungguh menumpulkan diri, bahkan sehari sebelum Ibu terserang stroke dan saya memotret dirinya yang tampak begitu pucat pasi, duduk di sebelah adiknya.

Kalau tahu begini bodoh dan tumpul, seharusnya sejak dulu saya menuruti nasehat seseorang untuk mengasah indera keenam saya. Supaya saya tahu Ibu akan pergi dan saya tak akan pernah melepaskan diri dari sampingnya.

Kalau melihat lagi ke belakang, firasat demi firasat itu begitu banyaknya. Membuat saya merasa tolol dan bersalah.

Ibu, maafkan Retno ya. Di akhir kebersamaan kita, Retno seharusnya lebih banyak memelukmu dan mengatakan betapa sayangnya Retno pada Ibu. Maafkan Retno, Bu...





foto dari sini



Image and video hosting by TinyPic

9 comments:

BABY DIJA said...

Tante Enno jangan sedih terus yaaa

Tante Enno masih jauuuh lebih beruntung dibanding Dija lhoooo

Dija gak pernah ketemu Ibu
Dija gak pernah tau rasanya punya Ibu

Arman said...

dont blame on yourself no...

gua yakin ibu lu gak akan pernah nyalahin elu... dan gak akan seneng kalo ngeliat lu menyalahkan diri lu sendiri...

owly said...

sabar dan yang kuat ya, no :)

Hans Febrian said...

so far there, i believe your mom is so proud of you. :)
be strong ya!
:)

-hans

etalife.blogspot.com said...

mbak enno, jangan sedih terus ya..dan bener kata ko arman, bukan salah di mbak retno kog. Emang Tuhan sudah punya jalanNya sendiri.
Semangat mbak :)

Enno said...

@semua: dear all, thx ya... aku cuma butuh waktu sebentar lagi utk menuntaskan sedih.. ya, aku tau ga bagus menyalahkan diri sendiri terus. tapi begitulah adanya perasaanku...

*hug*

dhi said...

*big hug mbaaa...*

Hans Febrian said...

warm hug enn.
:D we all here if you need us.

Enno said...

@dhi & hans: thx so much ya :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...