Saturday, October 23, 2010

Mesin Kenangan

Bagiku ia cuma anak kecil. Anak kecil yang tingginya 179 senti dan senang berperan sebagai pengawalku. Enam bulan sebelumnya, tiba-tiba saja ia menjadi bagian dari hari-hariku yang sibuk sebagai reporter yunior.

Kami berkenalan di stadion bulutangkis, ketika aku sedang mengejar wawancara dengan seorang pebulutangkis muda yang tengah naik daun. Ia teman si pebulutangkis itu, sedang duduk-duduk bersama yang lainnya, meskipun semestinya ia tidak berada di sana melainkan di lapangan basket. Ia itu pebasket yunior di Pelatnas.

Si pebulutangkis yang angkuh ogah-ogahan melayani wawancara. Cuma 15 menit. Aku membereskan perekam dan alat tulisku, memasukkannya ke dalam tas ketika bayangan tubuhnya menghalangi cahaya matahari di depanku.

"Ya?" Aku mendongak. Menatap si jangkung yang nyengir padaku itu.
"Wawancaranya nyebelin ya?"
Ia pasti memperhatikan wajah jengkelku sejak tadi.
"Ah sudah biasa," sahutku mencoba tersenyum. "Sifat orang kan macam-macam."
"Sudah lama jadi wartawan?" Tanyanya sambil duduk di sebelahku.
"Lumayan. Tapi masih harus belajar..."
"Retno ya?" Ia menatap id card yang tergantung di leherku. "Adrian." Ia mengulurkan tangannya.

Belakangan aku bertanya kenapa ia mengajakku kenalan. Ia bilang aku lucu. Seperti anak SMP yang sedang wawancara untuk majalah dinding sekolah. Apa karena aku kelihatan bodoh waktu bertanya? Tanyaku. Bukan, sahutnya. Tampangmu itu yang lucu.

Adrian masih kuliah. Umurnya baru 21. Tetapi sejak awal ia tidak pernah memanggilku 'mbak' atau 'kak'. Ia memanggil namaku saja. Enno, jalan-jalan yuk! Enno, sedang apa? Enno, nonton latihanku ya?

Kalau sedang ada wawancara dengan atlet dan harus ke Stadion Senayan, aku selalu menyempatkan diri mampir ke tempatnya latihan. Ia tidak pernah bilang 'ini kakakku' atau 'ini wartawan kenalanku' pada teman-temannya. Ia selalu bilang 'ini Enno' sambil merangkul pundakku dan tertawa.

Adrian ganteng? Tentu saja. Tubuhnya yang tinggi menjulang itu membuat nilainya semakin tinggi. Belum lagi ia pebasket di sebuah klub basket terpandang di Bandung dan dipanggil Pelatnas. Di pinggir lapangan basket tempatnya latihan dengan teman-temannya, selalu ada sekumpulan cewek-cewek abege yang suka berseru-seru centil kepada mereka. Adrian suka tersenyum dan melambaikan tangan pada mereka, lalu menoleh padaku dan nyengir.

Kalau sedang tidak ada latihan, ia suka meneleponku dan bertanya aku sedang dimana. Aku akan menggodanya. Sedang di Hotel X, kataku. Makanannya enak nih!
Tunggu aku! Serunya. Ia akan menyusulku dimanapun aku berada, meskipun tahu aku sedang bekerja, menunggu seorang narasumber di tempat itu. Hus! Sana! Usirku. Aku sedang kerja, tahu!
Tetapi ia cuma tertawa dan bahkan malah mengobrol dengan rekan-rekan wartawan yang lain. Ia bilang pekerjaanku menyenangkan dan penuh tantangan. Kalau saja bisa, ia ingin menukar kuliahnya di fakultas teknik dengan fakultas jurnalistik.

Suatu hari ketika ada heboh soal video porno sepasang mahasiswa dan aku ingin mengembangkannya menjadi laporan investigasi tentang seks bebas di kalangan mahasiswa, Adrian membantuku mencarikan videonya. Suatu malam, ketika aku sedang lembur, satpam kantor memberitahuku ada seseorang mencariku. Aku keluar dan menemukannya berdiri di lobi dengan sebuah bungkusan.

"Ini video yang kamu cari. Jangan disalahgunakan lho. Aku nggak bisa lama, ya. Aku harus balik lagi ke Bandung. Besok ada kuliah."
Aku menerima bungkusan itu sambil tertegun. Menatap punggungnya yang berlalu menuju pintu putar. Lalu bagaikan tersadar, aku mengejarnya.
"Adri, kamu nyetir dari Bandung kesini cuma mau ngasih ini?"
"Iya. Kan katanya kamu butuh banget buat tinjauan cerita."
"Kamu sedang di Bandung? Kirain kamu di Pelatnas."
"Pertandingannya kan masih lama. Lagian aku kan masih ujicoba. Besok aku ada kuliah." Ia tersenyum. Menepuk pipiku dan pergi.

Teman-temanku mulai bertanya ada hubungan apa antara aku dan Adrian. Sebab kalau anak itu sedang di Jakarta, ia selalu menguntitku kemana-mana, bahkan ketika aku sedang bekerja. Sampai hampir semua temanku kenal dia. Selain itu, Adrian juga sering membantuku. Kalau aku butuh informasi atau data yang hanya bisa diperoleh di Bandung, ia suka mencarikannya untukku. Ia bahkan mencarikan informasi tentang selingkuhan mantan pacarku, hanya karena aku penasaran dan tahu bahwa gadis itu sekampus dengan Adrian.

Ia datang dengan informasi yang kuminta. Ya, gadis yang bernama X itu memang pacaran dengan mantanku sejak ia masih jadi pacarku. Ya, gadis itu memang tidak disetujui orangtua mantanku. Ya, gadis itu tahu tentang aku... Lalu Adrian dengan wajah aneh bertanya padaku. "Penting ya semua informasi ini? Kamu masih suka sama mantanmu itu?"
"Tidak," sahutku. "Aku cuma penasaran. Biasalah, insting jurnalistik. Dan sekalian ngetes kamu, bisa nggak investigasi ala wartawan."

Seorang teman di kantor bilang Adrian pasti menyukaiku. Ia menganggapku lebih dari sekedar sahabat. Ia jatuh cinta padaku. Aku geleng-geleng kepala. Anak kecil itu? Mana mungkin. Aku lebih tua beberapa tahun darinya. Aku sudah lama bekerja, sementara ia masih kuliah. Badannya memang lebih besar dari aku. Tapi tetap saja, waktu ia baru lahir, aku sudah sekolah. Sudah bisa membaca dan menulis.

Tapi suatu hari, ketika ia kembali di Jakarta untuk latihan basket lagi, ia mengajakku ke duduk di bangku stadion paling atas. Tak ada siapa-siapa di sekitar kami, sementara teman-temannya sedang berlatih di tengah lapangan sana.

Ia berkata, "Enno, aku nggak mau kita cuma jadi teman. Aku mau lebih dari itu."
Aku terpana. "Maksudnya?"
"Kamu itu pura-pura bodoh ya? Aku jatuh cinta sama kamu dari dulu. Makanya aku ajak kamu kenalan."
"Hah?"
"Kok hah?"
"Jangan bercanda ah! Nggak lucu, tahu!"
Ia menatapku. Tatapannya jengkel. "Aku serius kok."
"Hm..." Aku menatap jam tanganku. "Nggak bisa lama-lama nih. Satu jam lagi ada wawancara di DPR. Aku cabut ya. Bye!" Aku kabur.

Teman-temanku bilang aku terlalu banyak berpikir. Pacaran saja dengannya, kata mereka. Toh untuk senang-senang Adrian itu oke. Tapi aku tidak berpikir begitu. Adrian itu anak kuliahan. Ia memang kemungkinan besar mencari pacar untuk senang-senang. Padahal aku tidak lagi ingin mencari pacar untuk senang-senang. Sejak lulus kuliah dan bekerja, aku sudah berubah menjadi orang yang serius dan terencana. Aku ingin menata karirku, dan menemukan orang yang akan menjadi pendamping hidupku. Dan terutama, karena saat itu aku masih wartawan yunior, aku penuh ambisi untuk bekerja sebaik mungkin.

Dari luar, kami mungkin kelihatan serasi, terutama karena penampilanku yang kelihatan lebih muda dari umurku yang sebenarnya memang sering mengecoh orang. Kami sama-sama periang, suka jalan-jalan dan easy going. Tapi aku tetap saja lebih tua. Kami berbeda visi. Aku, si wartawan baru yang ambisius, dan Adrian, si atlet muda yang masih kuliah. Aku tidak mau menarik Adrian ke duniaku yang serius. Jangan. Tidak boleh. Itu tidak adil untuknya.

Padahal, aku juga menyukai Adrian. Mungkin mulai jatuh cinta padanya. Sedikit. Pada cengirannya nakalnya. Pada gaya cueknya. Pada perhatiannya dan ketulusannya. Ya, aku tahu perasaannya tulus.

Like a wake up from amnesia. As if my memory apart.
This feeling overcome me. This is the date. This is the pleasure.
My blood's flowing and my heart is beating. I feel that spring is coming...
Want a change in my heart.
Why do I feel like this?
Here, today, standing near this kid?
This kid here at my side
It's my fear that I would see him as a man.
Feels that I'm dating again after hundreds of years.
If only there is a miracle.
Tomorrow, suddenly we become peer...

-Lee Shin Young, kutipan dari film The Woman Who Still Wants to Marry-

Benar, dulu aku pernah berpikir seperti tokoh Lee Shin Young itu. Seandainya ada keajaiban, bahwa ketika bangun besok pagi tiba-tiba saja kami sebaya.

Aku mungkin terlalu banyak berpikir. Dan Adrian kecewa karena aku tidak menanggapi perasaannya dengan serius. Kami tetap berteman, tapi lama kelamaan menjadi renggang. Aku yang menjauh, tapi kurasa ia juga mengerti. Ketika aku mulai dipromosikan sebagai editor, ia lulus dari kuliahnya. Tak ada kabar tentang Pelatnas dan basketnya. Ia meneleponku dari Bandung dan bilang akan pergi ke Kalimantan untuk bekerja. Aku tak datang ke bandara untuk mengantarnya meski ia memintaku datang. Aku melepasnya pergi dalam hati. Adrian. Sahabatku. Akan selalu begitu di dalam hatiku.

Sakitkah rasanya? Ya, sedikit. Seperti kehilangan sesuatu yang berharga. Yang selama ini menjadi pegangan. Dan ketika semua temanku mengataiku bodoh, aku cuma tersenyum. Aku tidak menyesal kok. Jalan anak itu kan masih panjang. Ia baru akan menemukan jati dirinya, dan pasti setelah ia bekerja ia akan mengerti kenapa aku menolaknya. Aku cuma tidak ingin menghambatnya.

Waktu menonton The Woman Who Still Wants to Marry, tiba-tiba rasanya seperti berhadapan dengan mesin kenangan. Kim Bum yang berperan sebagai Ha Min Jae itu memang terlalu ganteng dibandingkan Adrian. Tapi tetap saja film itu mengingatkan aku pada Adrian.

Seperti Min Jae, dulu Adrian juga pernah bilang, ia akan bersamaku sampai akhirnya aku menemukan seseorang yang kuanggap cocok menjadi pendamping hidup. "Kalau kamu menganggap aku masih terlalu kecil, aku akan nunggu sampai kamu menemukan yang kamu cari. Tapi sebelum itu, aku akan terus sama kamu..."

Manis ya? Tapi tetap saja menyedihkan.

Seorang reporter dan seorang mahasiswa yang jauh lebih muda? Ck! Kok penulis skripnya seperti sedang menyindir aku ya? :)

foto dari sini


Image and video hosting by TinyPic

16 comments:

Freya said...

duh jatuh cinta ama anak berondong? Aku juga pernah. Sedih juga sih. Tapi emang gak enaknya selalu gak sama di visi dan cara berpikirnya. Gak imbang.

Di sini yang suka bikin capek kalo bercinta ama berondong.

Apisindica said...

dan aku trauma jatuh cinta sama brondong... :)

Ms Mushroom said...

Serius no, Sin Young itu bukan kamu ? hehehe, mirip pol ya :D

-Gek- said...

aduh... kenapa ga diterima cinta Adrian mbaaaaa?
:p

Ruthie said...

Ya ampun.. gw td malem baruuu aja nonton film Korea itu. Tapi klo brondongnya secakep Kim Bum, gw pasti ngga akan nolak, No.. Hidup Kim Bum!

Azhar said...

makanya jgn keseringan nonton Kdrama beginilah efeknya hahahaha

Enno said...

@freya: bener nes...visinya ga bakal nyambung. dia pengen senang2, kita udah serius aja :)

@apis: haha... trauma nih? bagi2 atuh ceritanya yud :P

@fenty: iya sumpah, aku kaget pas pertama nonton dvdnya fen. jln ceritanya nyaris sama... bbrp kalimatnya jg. bedanya shin young itu reporter tv, aku kan majalah :)

@gek: kan itu udah dicritain alasannya gek hehehe...

@ruthie: kalo kim bum yg naksir, aku jg mau.. ups! hahahaha...

@azhar: itu kejadiannya sebelum gw keranjingan K-drama, ipuuul :P

chiekebvo said...

aq g akan koment ttg si brondong itu mba..yg aq mw bilang cuma...
SEKARANG MBA ENNO DOYAN NONTON KOREA2AN??
#Toss :))

vany said...

sedih bacanya, mbak enno..
kisahnya hampir mirip kisah saia...hehehe
dulu mantan pcr saia brondong (beda 1 th), namanya juga adrian (entah kenapa nama adrian biasanya orgnya cakep), tinggi (192cm),dan jago basket juga....hihihi
meski dia lbh muda, tapi dia lbh dewasa dan saia merasa nyaman brg dia. tapi, ya memang itu td, mbak. kalo bicara ttg masa depan, memang pcrn dg brondong agak gak enak ya....hahaha.
mbak, itu filmnya di dvd ya?
jd pgn nonton nih... :)

Enno said...

@chie: haha dari dulu kalee... cuma pas kejadian crita diatas, belum doyan :P

@vany: iya, yg namanya adrian biasanya cakep.. haha.. filmnya lagi diputar di Indosiar tiap jam 15.30. tapi enakan nonton dvdnya sih... cari aja, judulnya The Woman Who Still Wants to Marry atau Still Marry Me. Yang main Kim Bum dan Park Jin Hee :)

fika said...

lucu banget deh mbak ceritanya tapi kenapa yah kok sedih hehe mnkn aku pengennya hepi ending. kalau film koreanya gimana akhirnya sama gak????

Enno said...

@fika: sedih krn ga hepi ending ya? :) klo yg di film sih hepi ending pasti ^^

dansapar said...

wah jd pgn liat serialnya itu
hehehe

Ina said...

aku suka banget serial will you still marry me, aku suka banget waktu si ceweknya bilang kalo kamu ngeyel aku siram mukamu dengan coffee."
Trus si Kim Bum bilang, "Kalo kamu lakuin itu, aku cium kamu...." ha...ha...bukan karena yg bilang Kim Bum loh yg ehem...ehem...tapi biasanya cowok kalo digalakin malah kabur, dia malah ngegemesin....You are right Enno, bukannya ngga suka...pacaran ama brondong, tapi kita juga ngga ingin egois, perjalanan dia masih panjang...lagian sebagai cewek kita juga ngga desperate2 banget kan, masih banyak cowok2 seumuran yg suka kita...
kedip...kedip

owly said...

hmmm...
ga semua brondong itu menyusahkan lho.
ada yang ngerti dan bisa nyambung sama kita.
age doesnt matter hihihi.
been there :)

Enno said...

@dansapar: ayo liat, bagus kok :P

@ina: iya, bukannya ga suka tp kondisinya ga tepat. waktu itu aku lagi bener2 ngejar karir dan dia masih mencari2 jati diri. aku gak mau menghambat :)

@owly: hihihi pengalaman pribadi juga ya? :P

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...