Terima kasih sudah melontarkan cacian itu pada saya melalui telepon. Membentak-bentak keras, mengatakan saya ini anak yang tidak punya tanggung jawab. Sungguh, itu gelar yang hebat sekali. Yang disematkan pada tubuh yang lelah ini, yang tulang-tulangnya nyaris patah karena harus mengurus segalanya sendirian selama Ibu sakit.
Jangan khawatir. Saya tidak marah. Sakit hati sedikit mungkin. Tapi saya mengerti, Anda dan yang lainnya di belakang sana selalu begitu. Menghakimi orang tanpa mencari tahu duduk persoalannya. Itu sudah mengalir dalam darah keluarga, ya? Untungnya tidak dalam darah saya.
Marahi saja saya sepuas hati Anda. Karena saya belum sempat menjaga Ibu sejak pulang dari rumah sakit dan tinggal bersama Usi. Karena seharusnya saya tinggalkan saja ayah saya yang asam uratnya sedang kambuh dan tidak bisa berjalan itu. Benar, seharusnya saya tinggalkan saja adik ipar saya yang terbaring kena gejala tipus dan anemia itu, biar ia merangkak mengurus dirinya sendiri. Dan tak perlu saya urus adik saya yang demam dan membelikan obat untuk radang tenggorokannya. Saya sendiri yang juga sedang demam seharusnya memaksakan diri naik angkutan umum ke rumah Usi, meskipun harus pingsan di jalan.
Kami berempat di sini sakit. Tahukah Anda hal itu? Tentu tidak. Yang Anda tahu adalah segera memutar nomor telepon saya begitu mendengar laporan Usi bahwa belum satu pun dari kami yang datang sejak Ibu di rumahnya.
Tolong tanyakan pada kakak saya yang berhati mulia, sabar, tabah dan bijaksana itu. Apakah ia sudah membaca pesan pendek yang saya kirimkan malam sebelumnya? Saya memberitahunya bahwa kami semua sakit di sini. Saya minta maaf belum bisa ke sana dan harap ia bersabar sampai dua hari ke depan. Kalau ia tidak menerima pesan itu, suruh ia membakar saja ponselnya yang tak berguna. Atau kalau ia tidak mengerti isi berita saya, tolong tanyakan harus dalam bahasa apa saya mengirim pesan untuknya.
Tak ada yang memaksanya menempatkan Ibu di rumahnya. Kalau tak sanggup, katakan saja sejak awal. Mohon bawa Ibu kembali ke rumah ini saja. Akan saya urus Ayah dan Ibu sendirian, tanpa harus merepotkan kalian. Meski harus mati kelelahan pun saya ikhlas.
Tadinya saya kira kami akan menjadi tim dalam menghadapi ini semua sampai Ibu sembuh. Ternyata saya salah. Ada yang tidak tabah, tidak sekuat yang saya kira. Yang akhirnya berkeluh kesah sehingga Anda meradang dan mencaci kami di sini.
Anyway, terima kasih untuk caci makinya. Itu adalah pertama kalinya seseorang mencaci maki saya seumur hidup. Selamat ya, Anda sudah memecahkan rekor.
Besok saya akan ke sana. Membawa pulang Ibu ke rumah kami lagi. Supaya Usi kakak saya tercinta bisa istirahat dan mengurus lagi keluarganya dengan tenang. Supaya tak ada lagi hal-hal seperti ini, karena bahkan saya tak punya waktu dan terlalu lelah untuk bertengkar.
foto dari sini
7 comments:
hhhmm,,
aq cuma bisa bilang,, yang sabar ya mba,, semaannggaaaatt
nanti pasti ada balasan buat sabarnya mba enno \(^,^)/
love love
mba enno yg tabah..sabar ya..
kalo orangnya tw gimana keadaan sebenarnya..palingan ntar malu sendiri..
semoga cepat sembuh ya mba org2 di rumah..
#MelukMbaEnno :)
Dia kan bukan Tuhan, jadi terserah dia mau bilang apa kan :)
"Anyway, terima kasih untuk caci makinya. Itu adalah pertama kalinya seseorang mencaci maki saya seumur hidup. Selamat ya, Anda sudah memecahkan rekor."
Turut bersedih atas pemecahan rekor ini. Mari, kasih tahu saya, apa yang bisa saya perbantukan...
@shinta: thx ya dek... kamu selalu setia doain aku :)
@chie: makasih ya chie... sini, kamu kupeluk juga :)
@ra-kun: bener. anjing menggonggong kafilah berlalu, dan kita tau siapa anjingnya :)
@mas faizi: makasih mas, bantu doa supaya aku tetep sabar ya :)
*kesasar di posting ini* *membaca* *kemudian bingung mau komen apa*
@annesya: krn kamu tll bingung utk ngeledek ya? haha
Post a Comment