Coffee or tea you say
I look at you in dismay
You mean I must make a choice
I can not seem to find my voice
Coffee or tea you say
Maxwell House or Earl Gray
I am in need of caffeine intake
Just pour me some for goodness sake
Coffee or tea you say
My reply is come what may
Either would ease my need
Coffee or tea indeed?
......
Kulihat cuaca berkabut. Dan gunung yang selalu kupandangi hilang dari cakrawala. Aku teringat berkilometer jalan yang pernah kutempuh bersamamu. Suatu hari, di masa yang hilang dalam ingatan yang mulai berkarat.
Sebuah meja di sebuah kafetaria. Aku dan kamu, dan sebuah laptop yang menyala dengan segulung kabel tersambung pada kamera Nikon yang kamu beli dengan uang tabungan.
Lihat, ini India, katamu bangga. Lihat reruntuhan istana tua itu dan festival mencari jodoh gadis-gadis bersari merah dan kuning menyala.
Kau tunjukkan foto seorang gadis hitam manis sedang menari, dengan gelang-gelang gemerincing di tangan dan kakinya. Seekor gajah berdiri di dekatnya dengan belalainya menunjuk angkasa. Lalu, sebuah masjid tua dengan serombongan laki-laki berwudhu di kolam berair keruh.
Ini India, katamu kala itu.
Lalu mana Taj Mahal? Kenapa tak kau ambil fotonya untukku? Aku ingin ke sana.
Ah! Menikmati Taj Mahal sendirian hanya akan membuatku sendu. Kamu mengeluh.
Ya ampun! Kamu tak pernah secengeng itu, tahu!
Membacamu wajahmu selalu sama. Bibir yang menghitam karena nikotin, mata yang berkantung karena jam tidur yang sedikit, dan telapak tangan kasar yang menuntunku menyeberang jalan, ketika kita menghindari taman.
Karena kita sama-sama tak suka bunga. Kamu adalah kepik bersayap merah totol hitam yang membawaku terbang ke negeri-negeri awan yang dengan sihir kau perangkap di layar digital.
Dan malam-malammu yang masih saja terganggu oleh tangisku.
Kamu tidak keberatan bukan?
Kamu tidak keberatan bukan?
Segelas kopi yang kuminum setiap pagi, yang kamu tertawakan karena lebih suka wangi teh melati. Kau minum dengan sepotong gula kristal dari poci tanah liat.
O, aku hidup di tanah Sunda! Aku lebih suka teh tanpa gula di cangkir keramik, tahu!
Pahit! Kamu terkekeh.
Hey, dengar! Aku punya cita-cita. Kita pergi berkelana, menyusuri rute kuno itu.
Jalan Sutra. Pegunungan Himalaya sampai Cina. Kamu puaskan egomu dengan kameramu. Kupuaskan diriku dengan petualangan baru. Jalan lupa, bawa gula kristalmu!
Kalau lelah, kita berhenti di persimpangan. Di kaki Himalaya. Di bawah atap salju dan langit biru. Ada chaikhana di tepi savana. Cangkir-cangkir kuno, teko tanah liat yang dicoklati karat teh, daun-daun wangi mengambang di wajah air yang mengepulkan uap doa ke udara. Disajikan tangan-tangan keriput yang berabad-abad menyeduhkan rindu untuk para pengembara.
Kita berhenti di chaikhana. Di tenda-tenda beralas karpet persia atau gubuk papan bermeja kayu berbau asap tembakau lama. Di tepi jalan yang hanya bermeja satu dan dua bangku. Di manapun. Kamu mau?
Ajak pacarmu! Aku tak mau disangka membawa kabur gadis orang, tahu!
Aku tertawa.__________
*Chaikhana: kedai teh yang biasa dijumpai di sepanjang jalur perdagangan legendaris Jalan Sutra, yang terbentang dari daratan Cina sampai Timur Tengah dan Eropa.
8 comments:
aku ikut... aku mau naek gajah...
ikut ya bang..
:P
kau yg nuntun gajahnya!
weee :P
kalo ke himalaya, aku gak mau ikutan ah..pasti dingin kan??
hehehe elsa, gak mendaki gunungnya kok. cuma lewat doang
hahaha
Aku pengen ke desa tertinggi di dunia, boleh ikut yaa...*ngarep.com*
Salam kenal...
boleeeh.... ongkos sendiri ya..
:P
Nooo
gue gak mau cuma ceritanya.
kapan ke himalaya?
gue mo ketemu yak
ikuuuuuuuuuuuuuuuuuut
ah ogah gue! bentar2 pasti minta brenti cari cermin buat ngaca
weee :P
Post a Comment