Tuesday, April 28, 2009

Antara Aku, Ayah dan Agnes


: ayah terhebat di dunia


“Hah? Mbok, rambutnya jadi sependek apa lagi?” Ridwan berseru ngeri dari Jogja sana.
“Cepaklah...,” sahut saya kalem. “Pendek kayak si Agnes.” Agnes yang kumaksud adalah Agnes Monica, penyanyi cantik yang energik itu.

Tidak. Tentu saja aku tidak mirip Agnes yang itu, Yah. Aku tidak secantik dia. Ayah selalu bilang: “Hey, kamu semakin lama semakin mirip ibumu, Retno.” Oh yeah. Terima kasih, Yah. Sepertinya Ayah salah deh.

Aku adalah anak perempuan Ayah yang berbeda.

Coba lihat anak perempuan Ayah yang satu lagi. Anak sulung Ayah yang feminin, keibuan dan sangat hobi memasak. Hebat sekali dia. Memasak makanan apa saja bisa. Membuat kue-kue yang sulit juga jago. Ia mirip Ibu kan, Yah?

Sementara aku? Oh Ayah sudah tahu. Sejak kecil teman-temanku lelaki semua, dan Ayah selalu berdiri di bawah pohon mangga besar di belakang kompleks kita setiap sore, hanya untuk menyuruhku segera turun dan pulang.

Dan apa komentar Ayah setiap aku berlari keluar rumah sepulang sekolah, setelah dengan terburu-buru mengganti pakaian seragam dengan kaos dan celana pendek?
“Jangan bersepeda terlalu jauh, jangan meluncur dari jembatan, dan pulang sebelum magrib.”
Dan Ayah pasti juga tahu, aku tetap saja bersepeda ke kampung sebelah, meluncur menuruni jembatan kompleks dengan tangan lepas dari stang sepeda sambil menjerit-jerit gembira… dan pulang tepat saat azan magrib.

Tetapi akulah anak yang paling Ayah manjakan, bukan? Aku tahu, karena Ayah selalu membawakan oleh-oleh setumpuk buku cerita jika pulang dari luar kota. Ayah mau menemani aku menonton film televisi sampai larut malam. Ayah juga yang membelikan aku mesin tik ketika tahu aku senang menulis cerpen dan puisi. Ayah mendengarkan dengan takzim ketika aku berlatih membaca naskah drama yang akan dipentaskan klub teaterku. Ayah juga mau mendengarkan aku membaca puisi-puisi kesukaanku setiap sore sambil duduk di pinggir jendela.
“Jangan duduk di jendela.” Ayah menegurku, tetapi aku tetap saja duduk di situ dan membaca puisi-puisiku.

Ayah selalu menghiburku jika aku terpaksa membantu Ibu di dapur. Menurut Ibu, itu adalah bagian dari pembelajaranku sebagai perempuan. Menurut Ayah, itu bagian dari kewajibanku berbakti pada Ibu.

“Waktu Ibu melahirkan kamu, itu yang paling sakit dibandingkan melahirkan anak-anak kami yang lain.” Tuh kan. Ayah paling tahu kelemahanku. Membuatku merasa bersalah. Tetapi saat aku sudah bisa memasak, Ayah memuji dengan tulus.
“Enak nggak, Yah?”
“Enak.” Ayah mengangguk-angguk sambil menyuap.
“Nggak enak ya?”
“Enak.”
“Keasinan nggak?”
”Nggak.”
“Enak mana sama masakan Ibu?”
Lalu Ayah menatapku. “Masakan itu sama dengan seni dan sifatnya personal. Kalau berbeda itu wajar.”
“Ah, berarti masakanku nggak enak.” Aku cemberut.
Ayah menunjuk piring di meja. “Kalau nggak enak masa habis?”

Ayah juga yang mengajariku menghormati perbedaan. Aku menemukan Alkitab di laci meja kerja Ayah. Aku bertanya, kenapa Ayah menyimpannya dan apakah Ayah membacanya? Ayah bilang, kerukunan tidak akan terwujud jika tak ada saling pengertian. Aku juga mengenal beberapa lagu Natal dari Ayah, yang suka menyenandungkannya menjelang Natal. Mungkin karena Ayah menghabiskan masa sekolahnya di sekolah Katolik, maka Ayah menjadi orang yang begitu pengertian dan tidak fanatik.

Tetapi ketika aku semakin dewasa, Ayah menjadi lebih protektif. Aku masih ingat komentar-komentar Ayah setiap aku memakai pakaian yang terlihat seksi.
“Nggak ada yang lebih pendek dari itu?” Sindir Ayah. Atau, “Bajunya kurang bahan, ya?”
Dan aku selalu menukas. “Ayah kuno ah! Ini kan lagi tren.”

Dan sekarang, saat aku memotong rambutku sangat pendek seperti laki-laki, Ayah bertanya di telepon, “Agnes yang mana?”
“Agnes Monica. Yang penyanyi itu.”
“Memangnya dia seperti apa?”
”Rambutnya sependek aku.”
“Ah, Ayah nggak hapal si Agnes yang itu. Memangnya kamu mau jadi laki-laki terus ya?”
”Berambut pendek kan supaya praktis, Yah. Bukan berarti mau jadi laki-laki.”
“Lebih bagus rambut panjang.” Bisa kubayangkan dari suara Ayah yang terdengar tidak setuju. Ayah kan memang lebih suka perempuan berambut panjang ya, Yah. Buktinya Ayah menikahi seorang gadis berambut sepunggung. Ibuku.

Kemudian di belakang Ayah kudengar suara Ibu meminta bicara denganku.
“Retno, nih Ibu mau bicara.”
“Oke Yah.”
“Anak perempuanmu yang badung nih. Baru potong rambut kayak Agnes Monica katanya.” Kudengar suara Ayah melapor pada Ibu saat memberikan teleponnya.
Aku nyengir.
___________________

Ayah, kangen.....

6 comments:

Hazel Eyes said...

Bilang ke ayahmu, untung nga cukur kayak sinead o'connor penyanyi itu internasional itu lho...he3x

Enno said...

wah wah! kayaknya model yang patut dicoba tuh kekekek

:-P

kosong said...

deman agnes
dulu demam demimore

Anonymous said...

Yang penting masih punya rambut No !

cie..cie... yang dady's fave gal ;)

Enno said...

@soewoeng: gak papa kan, asal bukan demam berdarah :)

@eka: iya duonk... I'm always daddy's fave gal ;)

qq said...

hmm.. baru smlm gw jg dibilang, kok rambut km pendek bgt, jd keliatan makin judes. Tp klo gw kan jago masak.. secara kwajiban yak klo ga anak gw gmn?? hehe....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...