Monday, February 23, 2009

Kenangan


Di seberang jalan kenanganku berdiri.
Ia masih sama seperti dulu ketika masih berlalu lalang di benakku.
Kuda hitamnya sudah lama berkelana.
Hanya topi penyairnya yang kuingat
dari masa yang telah berlalu.


"Non!"
Siapa lagi yang memanggilku seperti itu? Senyumnya lebar, terpatri seperti bulan sabit di wajahnya yang segelap malam. Matanya masih bintang kejora. Menyapu wajahku dengan sinarnya yang lembut.
"Non!" Ia melangkah menghampiriku. Tangannya terentang, seolah hendak memelukku. Ternyata tidak. Ia hanya memegang kedua bahuku. Tawanya berguncang. "Masih semungil dulu. Ah, tidak, tidak. Sekarang lebih...."
"Gendut?" Aku menyeringai.

Dulu, tubuhnya yang jangkung seringkali mengintimidasiku. Jangkung, kurus. Kadang-kadang aku membayangkan angin kencang menerbangkan tubuhnya. Aku selalu mengikuti dorongan hatiku dengan mengaitkan lenganku pada lengannya. Berjalan agak di depan. Terkadang seperti menyeretnya. Ia hanya menurut saja, seolah-olah aku penunjuk jalannya.

Kami pernah mengikuti festival teater. Berbeda klub tentu saja. Ia dan klubnya mementaskan A Midsummer's Night Dream yang sudah diadaptasi. Sementara aku dan teman-temanku mengadaptasi novel Wuthering Heights menjadi kisah yang lebih sederhana untuk dipentaskan.

Ia menungguku setelah pementasan berakhir. Tersenyum dan memanggilku Cathy. Tiba-tiba saja ia menjelma menjadi Heathcliff. Karakter yang sungguh tidak cocok untuk seseorang yang hangat, penyayang dan pemaaf seperti dirinya. Begitu berbanding terbalik dengan karakter Heathcliff yang tragis dan menyimpan dendam.

"Non!" Suaranya mengembalikanku ke masa kini. "Apa kabar? Tiga tahun ya tidak ketemu. Sudah tidak suka teater?"
"Tidak sempat." Aku menggeleng. Memutar ingatan ke masa-masa latihan di klub teaterku. Berlatih menangis, tertawa, berteriak-teriak. Seolah-olah menjadi orang tak waras.
"Masih mendengarkan Kitaro?"
"Kasetnya entah dipinjam siapa. Selalu lupa membeli yang baru."
Kitaro. Musiknya selalu menemani kami berlatih. Kami mencintai Kitaro, seperti mencintai karakter-karakter yang kami mainkan di atas panggung. Karakter-karakter yang kadang stereotip. Aku selalu menjadi perempuan baik, dan ia selalu menjadi laki-laki antagonis.

"Masih di teater?"
Ia mengangguk. "Masih. Ngomong-ngomong, anakku sudah dua."
"Isterimu masih satu kan?"
Ia terbahak. "Selalu sinis ya. Mentang-mentang dulu aku playboy. Aku sudah dewasa, Non. Sudah tua."
Padahal umurnya hanya berbeda beberapa tahun saja dariku.
"Non, kapan-kapan main ke klub."
"Masih yang dulu?"
"Tidak. Sudah pindah. Nanti kukirim alamatnya, kalau kamu memberiku nomor ponselmu."
"Tentu." Aku mengaduk tas dan mengulurkan kartu namaku padanya.
"Editor eh?" Ia menyeringai. "Kamu tahu, sejak dulu aku tahu kamu akan menjadi seperti sekarang. Aktingmu tidak pernah berkembang."
"Sialan!" Aku memukul bahunya.

Bus yang kutunggu datang.
"Bang, aku duluan. Telpon aku. Awas kalau tidak."
Ia tersenyum. "Pasti."
Aku naik ke dalam bus. Meninggalkannya di trotoar, tersenyum dan melambai kepadaku dengan riang.

Kenanganku menjauh. Tertinggal di antara kepulan asap knalpot bagai kabut. Meninggalkan jejak masa remaja ketika aku memiliki ia sebagai kakak. Hatiku lega karena ternyata ia tak pernah menjadi Heathcliff, meski aku pernah menolaknya. Karena aku lebih suka ia sebagai saudara.


Image and video hosting by TinyPic

3 comments:

Anonymous said...

mencerabut kembali akar2 kenangan lewat pertemuan... hmmmm beribu kantong kenangan yang tertimbun dalam pun niscaya ke permukaan memori untuk sekedar kilas balik... hmmmm ...

Enno said...

ya hanya kilas balik, nggak lebih :)

-Gek- said...

Ah, jadi ingat kotaro lagi.. saya juga dulu suka ber-teater ria, mengubah diri menjadi orang lain..
Kilas balik memang indah ya mbak.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...