Thursday, December 11, 2008

Kakek

Lebaran. Suara bedug bertalu-talu. Takbir bergema dari masjid di dekat rumah. Tetapi seorang gadis kecil terisak sendirian di belakang rumah. Wajahnya coreng moreng oleh debu dan air mata. Ia berjongkok di sana sejak berjam-jam yang lalu. Tak mau dibujuk masuk ke dalam. Tetap di sana sampai waktu sholat dzuhur tiba dan mau tak mau ia harus beranjak untuk menunaikan sholat.

Di dalam rumah, keluarga besarnya sedang berkumpul seusai sholat Ied. Suara tawa mereka terdengar gembira. Mereka dengan pakaian-pakaian indah dan sepatu-sepatu mengkilap yang membuat hatinya sakit. Di tengah ruang keluarga, ia membayangkan, seorang laki-laki tua bertubuh jangkung dan berwajah dingin duduk di antara mereka. Di kursi goyang besar dari rotan kesayangannya.

"Anak tak tahu diri!" Begitu kata kakeknya beberapa jam yang lalu. "Masih minta dibelikan baju baru, padahal orangtuamu tak punya uang."
"Saya cuma ingin kaus kaki baru," gumamnya lirih. Melirik kaus kaki koyak yang dipakainya.
Tetapi kakeknya tak mendengarkan, malah menudingkan telunjuk ke arahnya dengan wajah marah. Membuat gadis kecil itu meringkuk ketakutan.
"Gara-gara kamu penyakitan, makanya uang orangtuamu habis untuk biaya doktermu, tahu tidak! Makanya tidak usah merengek minta dibelikan baju baru!"

Gadis kecil itu mulai terisak. Hatinya perih. Adakah yang tahu rasanya ketika ia sedang sakit? Apakah kakeknya mengira sesak di dadanya yang membuat ia tersengal-sengal setiap menghirup udara itu menyenangkan? Apakah semua orang tahu betapa ia ingin berlari-lari dan main hujan-hujanan dengan bebas seperti anak-anak lain, tanpa harus takut sakit asmanya kumat?

Ia tidak mau sakit. Tidak mau. Ia tidak minta menjadi anak yang sakit-sakitan. Ia juga sedih melihat betapa besar biaya berobat yang harus dikeluarkan orangtuanya, sementara ibunya pernah bilang gaji ayahnya kecil.

Jangan membuatku merasa berdosa pada orangtuaku, Kakek...

Lelaki tua yang ia panggil kakek itu masih memelototinya. "Jangan menangis. Dasar anak cengeng, rewel!"

Isak gadis kecil itu mulai berubah menjadi tangis. Melolong, menyayat hati, seiring rasa sakit di hatinya. Ibunya yang sejak tadi berdiri di belakang Kakek, datang menghampiri. Matanya juga basah.
"Sudah, sudah. Besok Ibu belikan. Maaf, tadi di pasar Ibu lupa membelikan. Belanjaan Ibu banyak sekali."

"Tidak mau!" Gadis kecil itu menjerit. Ia tidak mau lagi kaus kaki baru, atau apapun yang baru untuk dikenakan di hari Lebaran itu. Tidak peduli sepupu-sepupunya memakai baju dan sepatu baru yang indah-indah itu, sementara ia dan adiknya memakai pakaian usang. Ia hanya ingin kakeknya menarik lagi ucapannya yang menyakitkan itu.

Dua puluh tahun kemudian

Ada telepon dari kampung. Suara Ibu bergetar di ujung sana.

"Nak, Kakek meninggal..."
"Inalillahi wa inaillaihi rojiun." Cuma itu. Suaranya datar, sedatar perasaannya, meski ibunya terisak di ujung sana.
"Kamu harus pulang hari ini juga. Besok Kakek dimakamkan."
Ia ingin membantah. Ingin bilang sibuk, ada urusan penting yang tak bisa ditinggalkan. Tetapi terbayang wajah ibu dan ayahnya yang pasti tengah berduka di kampung sana, di samping jenasah kakeknya. Oke. Baiklah. Ia pulang.

Wajah kakeknya yang dingin itu kini benar-benar beku. Hanya tinggal jasadnya terbujur kaku di ruang tengah. Dikelilingi tangis anak-anak dan cucu-cucu yang dia sayangi semasa hidupnya. Kasih sayang yang bukan untuk dirinya. Bukan untuk adiknya. Bukan untuk orangtuanya. Keluarga kecilnya tak pernah dijangkau kasih sayang itu. Mereka barangkali terlalu miskin untuk menerima anugerah itu.

Saudara-saudaranya yang kaya, yang datang dari kota dengan mobil-mobil terbaru, berkerudung hitam dari sutra dan gelang-gelang emas bergemerincing, masih menangis sesenggukan saat mengantar kakeknya ke pemakaman.

Ia berjalan sendirian di belakang. Wajahnya datar, matanya kering. Ia tidak memakai pakaian hitam berkabung seperti yang lain. Hanya jins dan kaus putih lusuh, tanpa kerudung.

"Kakek..." Seorang sepupunya menangis terhuyung di depannya.
"Dia sudah mati," ujarnya dingin. "Jangan diratapi. Haram. Begitu kan kata Nabi?"

Peristiwa dua puluh tahun lalu itu masih melintas-lintas dan rasa sakitnya masih terasa membekas. Tetapi kebencian itu kini sirna. Laki-laki tua, yang pernah menudingkan telunjuknya pada seorang gadis kecil sakit-sakitan yang ingin kaus kaki baru, kini sudah meninggal.

"Kenapa kamu membenci Kakek?" Tanya seorang saudaranya.
"Kalau kamu menjadi cucunya dari menantunya yang paling miskin, yang tak pernah bisa memberikan materi apapun kepadanya, yang dipandangnya tak mampu menyejahterakan hidup anak perempuannya, maka kamu akan tahu kenapa aku membenci dia."

Dan kalau kamu pernah ditudingnya dengan jari telunjuk dan dikatai anak tak tahu diri dan menyusahkan orangtua, kamu akan mengerti kenapa aku sangat sulit memaafkannya....

Dua hari yang lalu

"Kalau kamu menjadi orangtua, kamu akan jadi orangtua seperti apa?" Seseorang bertanya kepadanya.
"Orangtua yang tidak pernah menyakiti hati anaknya. Yang berhati-hati untuk tidak mengasarinya dan tidak akan berkata-kata yang melukai perasaannya. Karena itu akan membekas sampai ia dewasa." Ia menjawab.
_________

Dear Popi, ini dari curhat kita semalam :)

13 comments:

mr.snugglemars said...

just be a wise parents..

or at least try to be..

Dita Oktamaya said...

woww..^^

Poppus said...

Mama : pi, soeharto meninggal!
Popi : Oya? YIPPIIIII!!!!


itu respon gw waktu suharto meninggal hehehehhe. Tapi kupikir wajar. Keberkabungan itu ada ketika kita begitu menyayangi seseorang, jika tidak ada, ya sudahlah. Jadi ketika responmu datar-datar saja ketika itu, aku maklum, karena ikatan kasih itu dibangun dan atas pembicaraan kita tadi malam, tidak aneh jika kau tidak bersedih ketika kehilangan. Tapi say, ada satu hal yang gw pelajari dari sebuah kenangan buruk di masa lalu. Ketika karena itu kita terbentuk menjadi orang yang lebih baik, maka mau tak mau, kita mesti berterimakasih pada kenangan itu. It makes us being grateful. Ingat pembicaraan kita tentang masa kecilku?

hari Lazuardi said...

kebencian itu jangan sampai melekat, jangan dibawa-bawa, jauhkan sana, tiup saja jauh-jauh, fuh..fuh..fuh...

Enno said...

@denny: gimana kalo kmu juga bilang sm 'dia' den? bilang den, bilang... brani gak? hehehe

@dita: wow juga deh :D

@brokoli sehat: forgiven but not forgotten pop :)

Enno said...

@hari: enggak melekat, kan udah dicuci pake deterjen plg yahud... bah, gue jd jayus hahaha

Poppus said...

Enno : Betul. Gak ada satu pun kenangan yang bisa kita lupa. It stays. Tapi kita masih bisa move on. Endapkan aja kenangan itu

Anonymous said...

hmmm janji dehh nggak galak2 lagi sama anak2 gue...:p

Enno said...

@brokoli sehat: diendapkan kayak lumpur trus dicetak jadi batu bata ya... sep sep :D

@novnov: makanyaaaaa.... *gak yakin si ibu ini bisa lemah lembut* hihi

Andi Eriawan said...

semoga si anak kecil 20 tahun silam itu tidak balas dendam sama cucunya kelak...

Enno said...

@andi eriawan: enggak bakalan lah, ndi... :)

Anonymous said...

sampaikan salam saya ntuk anak kecil 20 tahun silam itu ya!!!hihi..

Enno said...

@kita: katanya salam kembali hehe ;)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...