"Meong!"
"Geus dahar? Kadieu heula. Ieu aya sangu. Sarapan heula nya."
Odah! Saodah! Mau kemana?
Meong!
Sudah makan? Kesini dulu. Ini ada nasi. Sarapan dulu ya.
......................
Saodah muda dulu cantik, kata Emak, nenek saya. Waktu masih kecil, saya pernah berpapasan dengannya saat jalan-jalan pagi dengan Emak. Ia sudah tua waktu itu. Jalannya agak bungkuk dan pincang. Tangannya berpegangan pada sebuah tongkat dari kayu yang diserut kasar. Pakaiannya lusuh. Kalau pun pernah cantik, kejayaan masa lalu itu sirna tak berbekas. Ia bahkan tak menoleh ketika Emak menyapanya. Barulah ketika tangannya disentuh ia sadar sedang diajak bicara.
"Rek kamana, Odah?" Mau kemana, Odah?
"Meong."
"Geus dahar?" Sudah makan?
"Meong."
"Engke ka imah nya. Dahar jeung lauk." Nanti ke rumah ya. Makan sama ikan.
"Meong." Ia mengangguk, lalu berjalan pergi meninggalkan kami.
Saya melongo.
"Mak, kenapa dia menjawabnya kayak kucing? Kok nggak ngomong?"
"Dia gila," kata Emak.
Ketika saya sudah besar dan Saodah sudah lama meninggal, barulah saya mendengar cerita lengkap tentang Saodah. Perempuan tua renta yang hidup sebatangkara dekat rel kereta api di dekat sawah Kakek.
Seperti Emak pernah bilang, dulu Saodah itu kembang desa. Ia baru berumur 15 tahun ketika menikah dengan seorang laki-laki pendatang dari Jawa. Belakangan ketahuan bahwa lelaki itu anggota kelompok pemberontak Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo yang ditugaskan memobilisasi Tentara Islam Indonesia di kantong-kantong gerilya mereka di Jawa Barat.
Ketika TNI melakukan operasi menggulung DI/TII, suami Saodah tertangkap dan dibunuh di depan matanya. Sejak itu ia menjadi orang yang sangat pendiam dan menjauh dari keramaian.
Saodah tak sempat mempunyai keturunan dari suaminya. Ketika beranjak tua, ia menjadi tanggungan para keponakannya. Mereka bergantian menengoknya di gubuk kecilnya yang reot di pinggir rel kereta api. Kadang-kadang para tetangga menyuruhnya mampir untuk makan, atau membawakan makanan. Semua orang merasa iba kepadanya. Tetapi saat itu tak seorang pun tahu sehebat apa peristiwa pembunuhan suaminya mengguncang jiwanya.
Di gubuknya yang reot, Saodah hanya berteman kucing-kucing. Ia tak memelihara mereka, tapi kucing-kucing itu datang sendiri untuk menumpang tidur atau mencari sisa-sisa makanan yang tak habis. Saodah tak pernah mengusir mereka. Mungkin ia menganggap mereka teman pengusir kesepian.
Waktu itu pemerintah Orde Baru sedang getol-getolnya dengan program AMD (ABRI Masuk Desa). Serombongan tentara datang ke desa itu untuk membuat jalan dan membangun fasilitas umum. Seorang tentara yang kehausan mampir ke gubuk Saodah untuk meminta air. Saodah menjerit-jerit histeris sampai pingsan. Kata Emak, kenangan buruk tentang pembunuhan suaminya oleh TNI masih menyisakan trauma dalam dirinya.
Sejak itu Saodah semakin mengasingkan diri.
......
Suatu hari, kata Emak, seorang tetangga datang ke gubuknya untuk mengantarkan makanan. Ia menemukan Saodah sedang di depan tungku, merebus air dalam belanga besar. Ketika melihat tetangganya, Saodah langsung gugup dan terburu-buru menutupi tolombong (keranjang besar dari anyaman bambu) di dekatnya dengan sebuah tampah.
"Keur naon, Ceu Odah?" Sedang apa, Kak Odah?
"Naheur cai." Merebus air.
"Cai keur nginum? Naha meni loba-loba teuing?" Air buat minum? Kenapa banyak sekali?
"Naheur saeutik mah kagok." Merebus sedikit tanggung.
"Ari eta naon dina tolombong?" Kalau itu apa di dalam tolombong?
"Lain. Lain nanaon." Bukan. Bukan apa-apa.
Odah memegangi tampah itu erat-erat. Tetangganya menatapnya dengan heran. Lalu tiba-tiba ia melihat cairan berwarna merah mengalir dari sela-sela anyaman tolombong.
"Eta getih naon? Ceu Odah teh meuncit hayam?" Itu darah apa? Kak Odah menyembelih ayam?
"Ah, lain getih eta mah." Ah, itu bukan darah.
"Maenya? Cing kadieu abdi ningali, naon eusi tolombong teh!" Masa? Coba sini saya lihat, apa isi tolombongnya!
"Ulah!" Jangan!
Tapi tetangganya telah menarik tampah yang dipegangi Saodah dan melongok ke dalam tolombong. Di dalamnya tampak seekor kucing mati dengan leher tergorok. Sang tetangga menjerit-jerit. Saodah ikut menjerit-jerit. Orang-orang kemudian berdatangan melihat apa yang terjadi dan menatap ngeri bangkai kucing yang sepertinya baru saja disembelih dan akan direbus Saodah.
Kata Emak, sejak kejadian itu Saodah benar-benar terganggu jiwanya dan mungkin karena merasa bersalah telah menyembelih kucing, ia kehilangan kemampuannya berbicara dan hanya mengeong jika ditanya.
"Kucing itu mau diapain sebetulnya, Mak? Mau dimakan?"
Nenek saya menggeleng. "Nggak ada yang tahu. Cuma Saodah yang tahu. Tapi dia udah nggak bisa lagi ditanya karena setelah menjerit-jerit itu dia jadi nggak bisa ngomong, jadi mengeong-ngeong."
Saya bergidik ngeri. Teringat dulu ketika bertemu perempuan tua yang mengibakan itu.
Sejak itu Saodah sering berkeliling kampung tanpa tujuan. Orang-orang yang iba memanggilnya dan memberinya makanan. Jika ia melihat seekor kucing, Saodah akan mengejarnya sambil mengeong-ngeong. Ketika berhasil menangkapnya, ia akan memeluknya sambil meneteskan air mata.
Menurut kepercayaan masyarakat kita, orang yang mencelakakan kucing akan kena tulah atau karma. Di zaman Mesir kuno, kucing adalah binatang kerajaan dan ikut dikubur hidup-hidup bersama mayat sang pharaoh tuannya. Dalam mitos-mitos Barat, kucing dianggap memiliki kekuatan mistis dan menjadi teman penyihir.
"Jangan nyiksa kucing, pamali." Begitu dulu omel mendiang Ibu kalau kami iseng mengerjai kucing-kucing rumah.
Mungkin Saodah kena tulah.
pict from here |
13 comments:
Whuah,serem banget mbak -_-
Waktu kecil aku paling ngeri sama cerita-cerita kaya gini..untung sekarang aku udah besar (kaya sekarang gk ngeri aja) hihiii...
Masih inget aku kan,mbak?
Whuah,serem banget mbak -_-
Waktu kecil aku paling ngeri sama cerita-cerita kaya gini..untung sekarang aku udah besar (kaya sekarang gk ngeri aja) hihiii...
Masih inget aku kan,mbak?
Saya ga benci kucing tp jg ga terlalu suka kucing.
Tapi kl kucing binatang keramat ditempatku jg dipercayai, jika kita ga sengaja nabrak kucing dijalan, dan si kucing mati, kalo yg nabrak ga mau celaka.harus mengubur dgn layak atau jika buru2 minimal meminggirkan si kucing.
wuaaahhhh, seram mba,...aq memang takut ma anak kucing sih hee, nice story^^
errr... saya ga pernah nyembelih kucing tapi sering meong-meong kalo diajak omong.
A: kamu di sana, ngapain? nglamun lagi ya?
saya: meong...
B: heh! jalan sambil ngowoh gitu kesasar kan sekarang!
saya: meong...
saya: ren, ren, pinjemin duit dong, buat makan. meong...
renny: *plak!
ya udah deh saya lapar, makan siang dulu yaa mbak cantik :*
aku pernah nabrak kucing 2x dalam sehari. itu benar2 gak bisa lupa, untung gak ada yg mati. seharian isinya khawatir doank :|
btw nice story mbaknya :D
@aisha: haloow...masih inget dong... kpn bikin blog juga? ayo bikin :P
@wuri: iya bener, klo nabrak kucing hrs gitu... ada jg yg nambahin syarat ngebungkus pake baju yg nabrak. jd bangkai si kucing hrs dibawa pulang dlu ke rumah sblm dikubur. kan ga mgkn lepas baju di tempat umum haha...
@bulqiss: anak kucing sih lucuuu... malah mak odah dlm cerita ini jg gak serem kok. dia cuma gak bs ngomong aja selain meong :)
@annesya: lapar ya pus? *lempar kepala ikan* :))
@lilliperry astaga sampe 2 kali sehari? klo pd mati, kualatnya dobel kali ya... hehe :D
Mbak Enno....
Ceritanya serem. Aku paling takut sama kucing. Apalagi item, matanya ijo. Kayak mau makan orang aj..
haha... gak seserem itu ah yu...
kucing item sama aja kyk kucing yg laen...
eh tp buat yg gak suka kucing, semua kucing itu menakutkan sih ya...
:P
Serem.
di tempatku jg ada cerita mistis ttng kucing enn. katanya kalo nabrak kucing, trus kucingnya nggak dikuburin, siap-siap juga kita ntar mati ketabrak.
whatta...?
itu mitos yg mengerikan, hans...
tp kdg suka kejadian ya?
hiiiy...
hiiiiyy..ngeri bangett..izin share sama temen saya ya mbak, dia suka kucing.hehehe
bagi2 cerita aja... :)
hahaha gak ngeri ah.. sok aja dicritain ke temenmu, yg suka kucing gak bakal serem :P
Post a Comment