Saturday, June 25, 2011

Kelor #4

Mau terus kau injak kami
Hatimu menulang kerna uang
Kau tuli ‘kan tuntutan hak dan rasa
Menghasut kelembutan jadi kekerasan?
Maka kami bercontoh pada kerbo
Yang jemu diejek lalu meruncing tanduk
Melambung penunggangnya bengis ke atas
Jatuh menimpa tahi ternaknya sendiri

(bait pertama puisi Hari Terakhir Olanda di Tanah Jawa, Chairil Anwar dari Max Havelaar)

......................

Pulau Ulee Lheue, Aceh, 4 Februari 1933

Kapal perang Zeven terus berlayar dengan tenang, seolah tak terjadi apa-apa di geladak dan kabin-kabinnya yang gelap. Padahal, situasi di kapal itu mulai memanas. Semua awak kapal gelisah dan mulai merasakan gejolak di bawah permukaan.

Maud Boshart diam-diam menyelinap ke ruang markonis menemui Karel.
“Aku butuh bantuanmu, Kawan,” bisik Boshart meski di ruang markonis itu hanya ada mereka berdua.
“Katakan saja,” sahut Karel, meski sebenarnya ia sudah bisa menduga apa yang harus ia lakukan.
“Kirimkan telegram ke Surabaya, pada teman-teman yang melakukan aksi mogok di sana. Cukup berita singkat. Teruskan aksimu, itu saja.”
“Baik. Akan kukirim sekarang.” Karel menepuk bahu Boshart. Tersenyum.

Sementara itu, para perwira kapal mencoba melunakkan hati para kelasi pribumi dengan mengadakan pesta di kantin KNIL di Ulee Lheue saat mereka berlabuh di pulau itu. Pesta itu menghabiskan dana 500 gulden, dengan mengundang noni-noni Belanda yang siap berdansa dengan para pelaut pribumi. Tetapi para pelaut pribumi itu menolak hadir.

Pukul 22.00. Sementara pesta berlangsung di darat, bunyi peluit panjang yang ditiup Martin Paradja terdengar di atas Zeven Provincien yang tengah bersandar. Itu adalah tanda bagi semua pelaut pribumi dan teman-teman Belandanya untuk merebut kendali kapal.

Malam itu, seorang letnan yang habis berpesta memerintahkan Kopral Boshart yang mengawalnya untuk mengantarnya kembali ke kapal. Tanpa banyak cakap, Boshart membawanya ke kapal. Sang perwira nyaris tersandung sesosok tubuh di tangga kapal.

Wat is dit?”1) Sang letnan yang setengah mabuk memperhatikan tubuh itu. “Is dit Ruud, toch?" 2) Ruud van der Bilt adalah perwira jaga di kapal itu.
“Ja, Luitenant. Dit is Ruud. Ruud lijk.”3) Boshart menjawab tenang.
Letnan itu terbelalak. “Wat bedoel je? Waarom doet hij sterft?”4)
“Deze opstand, Luitenant. Onze boten zijn al onder de knie.”5)


Sang letnan tak keburu menyadari dirinya dalam posisi bahaya, di atas kapal bermunculan pada pelaut pribumi dengan senjata api yang ditodongkan ke arahnya. Martin Paradja melangkah ke depan. “Selamat malam, Letnan. Kapal ini sekarang di bawah kendali kami.”

Di bawah komando Martin Paradja, semua pemberontak bergerak. Meriam sudah terisi, lampu sein dicopot. Belakangan dalam memoir yang ditulisnya, Boshart menggambarkan raut wajah para pelaut pribumi yang bersenjata terlihat sangat keras penuh tekad.

Seorang perwira, Baron De Vos van Steenwijk, yang semula masih mencoba menguasai ruang markonis, akhirnya mundur dan meletakkan senjatanya. Sedangkan dua perwira Belanda, Vels dan Bolhouwer, berhasil meloloskan diri setelah menjebol jendela. Mereka melompat ke laut dan berenang hingga ke daratan.

Esok harinya, pimpinan pemberontakan mengeluarkan siaran pers dalam tiga bahasa, yaitu Belanda, Inggris, dan Indonesia, yang memberitahukan bahwa Kapal perang “Zeven Provincien” sudah mereka ambil-alih dan sedang bergerak ke Surabaya. “Kami memprotes pemotongan gaji yang tidak adil dan menuntut agar rekan-rekan kami yang ditahan pada waktu berselang segera dibebaskan!” tulis pemberontak dalam siaran persnya.

“Saya yakin Batavia sedang kalang kabut saat ini, Kopral Boshart,” ujar Paradja setelah markonis mengirimkan siaran pers itu.

Ja, Martin,” sahut Boshart. “Itu sudah pasti.”

Boshart memang yakin sekali kejadian ini menjadi tamparan telak bagi Angkatan Laut Hindia Belanda. Mereka selama ini begitu sombong dan meremehkan para pelaut pribumi yang kebanyakan tidak pernah mengenyam sekolah pelayaran formal.

“Lihatlah Martin Paradja, Dooyeweerd,” katanya pada temannya sesama Belanda, yang juga mendukung aksi itu. “Ia tidak mengenyam pendidikan pelayaran tapi mampu memberikan komando untuk merebut kapal ini dan memimpinnya berlayar ke Surabaya. Dan lihatlah Kelasi Kelas Satu Kawilarang mampu menjadi navigator hanya berkat pengalamannya pernah bekerja di Eropa. Rumambi di bagian komunikasi telepon, Hendrik sebagai pengatur bahan bakar, dan Kopral Gosal yang mengurusi bagian kesehatan. Mereka semua tidak bisa kita remehkan.”

Di Batavia, Gubernur Jenderal De Jonge meradang. Angkatan Laut segera mengirim sebuah kapal untuk mengejar Zeven Provincien.

“Kapal di arah jam tiga!” Teriak seorang kelasi dari arah lambung kanan. Martin Paradja , Boshart dan beberapa yang lain berlarian untuk melihat. Tampak di kejauhan sebuah kapal perang berbendera Belanda.

“Putar haluan. Tambah kecepatan! Siapkan senjata!” Paradja berseru. “Menurutmu apa itu, Kopral Boshart?” Tanyanya pada sang kopral. “Sepertinya itu Aldebaren yang sedang mengejar kita.”

Ja, ja.” Boshart menurunkan teleskopnya. Mengerutkan kening dengan mimik serius.“Het schip Aldebaren die na ons komen op bevel van De Jonge. “ 6)

Ketika kapal Aldebaren mendekat, Kawilarang memberi sinyal peringatan dan mengarahkan meriam ke kapal itu. Aldebaren pun mundur dan berhenti mengejar. Sebagai gantinya dikirim kapal penyebar ranjau, Goudenleeuw. Tetapi kapal ini juga tidak berani terlalu dekat. Kedua kapal pengejar ini memiliki meriam lebih kecil dan kalah persenjataan dibanding Zeven.

…………………….

Selat Siberut, 9 Februari 1933

De Zeven Provincien telah memasuki perairan Selat Siberut yang tenang, ketika sebuah telegram diterima markonis. Rumambi yang bertanggung jawab di bagian telekomunikasi berlari-lari mencari Martin Paradja yang kini memegang tampuk pimpinan di kapal itu.

“Hei Martin! Telegram! Mereka menyuruh kita menyerah!”

Telegram itu berisi peringatan bahwa Zeven berada di bawah pengawasan Kapal Penjelajah Java, dan memerintahkan pemberontak untuk menyerah. Tentu saja Martin Paradja menolak mentah-mentah dan membalas telegram: “Kami tidak mau diganggu dan akan tetap berlayar ke Surabaya”.

Komandan Kapal Penjelajah Java, Kapten van Dulm, terus membuntuti Zeven Provincien. Ia kembali mengirim ultimatum agar pemberontak segera menyerah dan mengibarkan bendera putih.

“Kita tidak akan menyerah,” ujar Paradja gusar. Wajahnya menggelap oleh tekad sekeras baja. “Mereka harus tahu bahwa kita bukan anjing yang bisa ditendang dan dipermainkan. Mereka menjajah negeri ini dan menganggap kita bangsa yang lebih rendah dan layak dijadikan kacung. Kita teruskan perlayaran sampai Surabaya dan bergabung dengan aksi teman-teman di sana!”

Tak seorang pun anak buahnya membantah. Mereka sepakat.

Di Kapal Java, Van Dulm juga gusar. Mengetahui bahwa peringatannya tidak digubris para pemberontak, ia memutuskan mengambil tindak kekerasan untuk menghentikan pemberontakan itu.
“Waar de marconist?7 )Teriaknya murka. “Omiddellijk een telegram naar Batavia. We geven de rebellen een lesje!” 8)
 

-bersambung…..


de Zeven Provincien

Kopral Maud Boshart


______________________

Terjemahan:

1. Apa ini?
2. Bukankah ini si Ruud?”
3. Ya, Letnan. Ini Ruud. Mayat Ruud.
4. Apa maksudmu? Kenapa dia mati?
5. Ini pemberontakan Letnan. Kapal ini sudah kami kuasai.
6. Itu kapal Aldebaren yang mengejar kita atas perintah De Jonge.
7. Mana markonis?
8. Segera kirim telegram ke Batavia sekarang! Para pemberontak itu harus diberi pelajaran!





Image and video hosting by TinyPic

5 comments:

Rona Nauli said...

Zeven ndak nyampe ke sby ya, No? dihadang di batavia? hehehe ndak sabar nunggu terusane :p

Enno said...

@rona: hehehe sabaaaar... :P

Matahari said...

Teteh Enno, dijadikan buku aja blognya, seru ada drama percintaan, sejarah, horor, humor, campur-campur seru. Eh yang di bawah itu fotomu ya? Cantiiiiiikk dan keliatan kayak masih SMU, pantesan Abe ampe kesengsem :)

Gloria Putri said...

akhirnyyyaaaaaaa

uda gatel drtd pengen baca :D
lanjut yg 5 n 6 ahhhh

Gloria Putri said...

akhirnyyyaaaaaaa

uda gatel drtd pengen baca :D
lanjut yg 5 n 6 ahhhh

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...