Sunday, May 1, 2011

Almamater Kedua

Pagi itu serombongan anak sekolah berpapasan dengan saya di tengah jalan. Saya sedang menuju ke warung untuk berbelanja seperti biasa, dan mereka menuju sekolah dasar yang tak jauh dari rumah saya.

Saya terpana melihat beberapa diantara anak-anak itu tak memakai alas kaki yang layak dan pantas. Mereka berseragam olahraga, tapi alas kakinya bukan sepatu olahraga melainkan sepatu sandal plastik murahan model Crocs yang sudah dekil, sepatu sandal bertali kebesaran mungkin milik kakak atau ibunya, bahkan ada yang memakai sepatu flat dari plastik yang pasti sangat licin kalau dipakai berolahraga.

Saya geleng-geleng kepala. Separah itukah kondisi di desa ini? Anak-anak itu bahkan bisa bermain game online di warnet selama satu sampai dua jam. Mereka mengantongi uang jajan seribu sampai dua ribu sehari. Orangtuanya ada yang pegawai honorer di kelurahan atau buruh tani, dengan penghasilan yang terbilang lumayan jika mereka masih bisa memberi anak-anaknya uang jajan setiap hari. Kenapa alas kaki anak-anak itu begitu tidak layaknya? Masa mereka tidak bisa membelikan sepatu yang paling murah buat anak-anaknya?

Ini zaman apa? Pikir saya. Kenapa masih ada yang bersandal ke sekolah? Desa ini bukan desa pedalaman di Kalimatan atau Irian sana. Warnet pun bertebaran dimana-mana. Tapi kondisinya seperti kembali ke tahun-tahun silam ketika saya bersekolah di desa ini selama tiga bulan.

Ya. Saya pernah bersekolah di SD itu dulu. Tradisi dalam keluarga Ibu adalah mengirim setiap cucu Kakek ke desa untuk bersekolah selama beberapa lama sekaligus belajar mengaji pada Nenek. Saya dikirim ketika masih kelas empat SD. Saat itu keluarga kami masih tinggal di Bandung. Saya adalah seorang anak kecil pecicilan dan keras kepala yang sebetulnya sudah pandai mengaji diajari Ibu, tapi tetap harus mencicipi bangku sekolah di desa sesuai peraturan Kakek.

Dulu, bangunan sekolah dasar itu begitu buruknya sampai saya nyaris menangis tidak mau sekolah. Saya takut dindingnya yang miring rubuh, langit-langitnya yang rapuh berjatuhan menimpa kepala saya, dan anak-anak dekil yang dikenalkan wali kelas dalam bahasa sunda itu tampak begitu asing di mata saya. Saya duduk mengkerut di bangku jelek reyot penuh coretan itu. Menunduk dan pura-pura sibuk menulis.

Saya tidak bisa meminta bersekolah di SD yang lebih baik dari itu. Harus di SD itu, karena dulu Kakek adalah kepala sekolahnya dan guru-guru yang mengajar disana adalah mantan murid-muridnya. Kakek lebih merasa nyaman jika mantan-mantan muridnya itu yang mengajari cucu-cucunya. Mereka dulu murid-murid Kakek yang paling pintar, kata beliau.

"Iya, tapi ngajarnya pake bahasa Sunda. Retno nggak terlalu ngerti, Buuu...." Saya merengek pada Ibu yang suatu hari datang menjenguk.

Lama-lama setelah saya mencoba menyimak pelajaran dengan bahasa pengantar bahasa sunda itu, saya tahu bahwa pelajaran yang diajarkan guru-gurunya ketinggalan jauh dengan pelajaran di sekolah lama saya di kota.

Mereka baru mengajari kami Bab 2, padahal di sekolah lama saya sudah mempelajari Bab 5. Akhirnya saya jadi malas belajar. Terlebih karena saya adalah murid yang pembosan dan terbiasa belajar interaktif. Saya mengantuk karena guru di sekolah ini hanya menerangkan saja tanpa melibatkan kami untuk bertanya atau ditanya, hanya mendiktekan materi dan kami terdiam mencatat terburu-buru. Pelajaran apaan nih! Pikir saya kesal.

Ketidakbetahan saya bertambah pula dengan ulah teman-teman baru saya. Sebelum bel masuk berbunyi, mereka mengerumuni meja saya. Memperhatikan sepatu saya, tas saya, tempat pinsil saya, bahkan alat-alat tulis saya yang made in kota.

"Neng, ningali nya wadah patlotna sakedap?" Ujar mereka. Lihat ya tempat pensilnya sebentar? Mereka memanggil saya 'neng' karena mereka tahu saya cucu mantan kepala sekolah dan mungkin merasa minder pada saya si anak kota.
Saya membiarkan mereka mengerumuni tempat pensil saya yang berlaci dan bergambar robot itu. "Jangan manggil eneng atuh," tukas saya risih. Toh saya tidak membedakan status saya dan mereka.

Saya bermain dengan mereka di jam istirahat. Jajan bareng di kantin sekolah. Yang membuat saya tidak betah di sekolah ini bukan karena mereka dekil dan tidak bersepatu. Tapi sikap mereka yang menganggap saya ini 'super star', juga karena mereka bersikap hormat. Saya cuma anak kecil seperti mereka, saya risih kalau mereka bicara sopan dan menunduk-nunduk begitu pada saya. Saya juga kasihan melihat mereka kelihatan begitu miskin dan tak berpunya. Di desa ini pada masa itu taraf hidup penduduknya memang masih di bawah standar.

Akhirnya saya memang bosan. Bosan karena pelajaran yang diajarkan di kelas tidak saya mengerti dan soal-soal di buku bisa saya kerjakan semua tanpa susah-susah. Mana tantangannya? Pikir saya. Mendingan saya belajar sendiri di rumah. Kalau tidak bisa tinggal tanya Nenek atau Kakek. Mereka pasti bisa membuatkan soal-soal yang lebih sulit, yang membuat saya berpikir dan tidak ngantuk.

Suatu hari saya bersikeras tidak berangkat sekolah. Saya malah tidur-tiduran di pangkuan Ibu yang sedang berkunjung.
"Heh, kamu nggak sekolah ya?" Tanya Ibu.
"Males ah Bu...."
"Nanti jadi bodoh. Sana ganti baju, berangkat. Ibu antar kalo kamu malu datang telat."
"Nggak mau. Nggak mau sekolah. Bosen. Apaan, pelajarannya Retno udah tau semua. Ngajarnya juga pake bahasa sunda. Kan Retno jadi bingung, Bu."
"Lho kan kamu ngerti bahasa sunda. Kalo diajak ngomong, bisa jawab."
"Iya, itu kan kalo ngobrol. Kalo belajar di kelas, lain lagi. Buku pelajarannya aja pake bahasa Indonesia, masa neranginnya pake bahasa sunda. Kan Retno bingung."
"Terus kamu maunya gimana?"
"Pindah lagi ke Bandung ya Bu?" Saya mulai merengek. "Retno kangen temen-temen di sana..."
"Baru sebentar disininya. Nanti dimarahin Kakek lho."
"Biarin. Pokoknya males disini!" Saya mulai ngambek.

Akhirnya Nenek mengambil jalan tengah. Saya belajar di rumah, mengerjakan soal-soal yang ada di buku pelajaran. Wali kelas saya datang ke rumah sehabis jam sekolah untuk memeriksa hasilnya. Itulah enaknya jadi cucu kepala sekolah. Hahaha

Ternyata saya bosan lagi dan mulai merengek pada Ibu untuk kembali ke Bandung, ke sekolah saya yang lama. Saya kangen pada teman sebangku saya dan teman-teman 'ngebadung' saya di sekolah itu. Saya kangen guru-guru saya yang cerewet dan suka mengadakan kuis sebelum pulang. Saya kangen menjadi salah satu yang bisa menjawab pertanyaan mereka dan diizinkan pulang sebelum bel berbunyi.

Kali ini saya merengek habis-habisan. Dan Nenek yang selalu memanjakan cucu berhasil membujuk Kakek untuk membiarkan saya kembali ke kota.

Pagi itu, ketika melewati SD tempat saya pernah belajar sebentar, saya melihat kepala sekolahnya berdiri di depan kantor. Dulu ia adalah wali kelas saya yang baik itu.

Ia melihat saya dan tersenyum lebar. "Neng, habis belanja?"
"Iya, Pak."
Sebetulnya saya ingin sekali bertanya kenapa ia membiarkan murid-muridnya tidak bersepatu layak. Kenapa ia membiarkan keadaan sekolah seprimitif dulu ketika saya bersekolah disitu.
"Neng, kalo nggak sibuk main atuh ke kantor Bapak. Kan sekarang mah sekolahnya udah bagus. Nggak takut keruntuhan atap lagi kayak dulu."
Saya tertawa mendengar sindirannya. "Iya Pak. Kapan-kapan ya."

Dari seberang jalan saya memperhatikan almamater kedua saya itu. Gedungnya memang sudah bagus, tidak lagi seperti dulu. Bahkan mereka punya marching band yang pernah juara sekabupaten.
Tetap saja soal anak-anak tak bersepatu itu menjadi ganjalan di hati saya. Akan saya tanyakan pada mantan guru saya itu kapan-kapan.


foto dari sini


Image and video hosting by TinyPic

10 comments:

Apisindica said...

mungkin itu masalah kultur kali mbak. Kultur "disana" tidak membiasakan memakai sepatu atau alas kaki layak. Tapi maenya nyak jaman kiwari... (bingung sorangan)

eh tapi gw juga waktu SD kayaknya belom pake sepatu yang layak deh, belom ada zara atau pedro soalnyah. hehehehe

Wuri SweetY said...

Iya mbak segera tanyakeun... aku jg penasaran nich. Heran juga 2011 koq yo masih ada yang begono.

Arman said...

mungkin lain kali kalo sekolahnya dapet dana lagi, daripada untuk membangun gedung sekolah yang udah ok, bisa dialokasikan untuk beliin sepatu buat murid2 yang kurang mampu?

Si Belo said...

Aduuh... jadi penasaran!! kenapa gak di tanyakan langsung ma kepala sekolahnya..? ada apa ini.. ada apa ini.. #panikdotkom

Gloria Putri said...

wah...jadi inget jaman ke kampung nya pembantu saya dulu mba...waktu itu adek2nya pembantu saya jg gt....ada adeknya yg kembar...yang 1 gag pake sepatu tp tasnya bagus, tp satunya pake sepatu tp gak punya tas...keluarganya emang gag mampu sih....tp klo di desa yg mba ceritain keluarganya mampu gt, knp gag dibeliin ya anaknya sepatu yg layak? kasian

sayamaya said...

padahal bandung, walo desa, termasuk daerah penghasil kerajinan sepatu ya. hmm.. mgk sepatu yg mrka pakai sering/gampang rusak krn dibawa bermain atau dipake juga buat jalan pengganti sendal :D
btw, happy monday no :)

Gloria Putri said...

kak maya...kayaknya yg dimaksud desanya itu bukan di Bandung deh :)) hehehhe....cb baca lagi :)

vitalia said...

Kampungna dimana Neng??

Ceritaeka said...

Ini zaman edan No!
Seedan elu yg ke Jogja dan bikin gue merana :((

Enno said...

@all: hehehe emang aneh ya, bisa ngasih uang jajan ke anaknya tapi ga bs beliin sepatu ckckck...

@eka: jiaaah... lebay deh...lu saking ngirinya sampe sms gw di jogja kagak dibales hahaha...

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...