Thursday, January 27, 2011

Lost in Ancient Jogja

Hari kedua, guys!

Ridwan sudah siap di lobi penginapan jam 9 pagi. Hari ini kami mau napak tilas jejak Jogja di masa lalu. Ketika kraton Sultan masih belum di tempat yang sekarang ini. Kami mau melihat Jogja di awal abad 19.

Kemarin itu sebetulnya kami sudah rembukan. Sudah menentukan tempat-tempat mana yang layak dikunjungi plus rute-rutenya. Ada empat lokasi yang jadi prioritas: Warung Boto, Panggung Krapyak, dan Gua Siluman.

Kesimpulan rembukan: ke Warung Boto dulu, karena lokasinya ternyata di dekat basecamp teman-teman cavernya Ridwan. Tepatnya di pinggir Jalan Veteran, dekat Kebun Binatang Gembiraloka. Habis itu akan melaju ke Panggung Krapyak yang juga ada di tengah kota, baru agak ke pinggir, ke Gua Siluman.

  • Warung Boto

Situs sejarah ini sebetulnya gampang ditemukan. Ada di pinggir Jalan Veteran kok. Kami sih pakai acara tanya-tanya dulu. Ternyata kalau agak perhatian sedikit saja, plangnya sudah nampang di pinggir jalan. Memang perlu dicat lagi sih itu plang (halooo Dinas Purbakala DIY!). Yang bikin agak tersamar dan nggak disangka situs peninggalan sejarah juga disebabkan gardu listrik besar yang berdiri tepat di depan pintu masuk. Ya ampun.... PLN Jogja nggak punya sense of history banget ya!

Situs Warung Boto ini tadinya bernama Pesanggrahan Rejowinangun. Dibangun oleh Hamengkubuwono II pada tahun 1800-an. Pesanggrahan ini biasa dipakai keluarga kraton Jogja untuk bersemedi atau bertapa.

Kelihatannya pesanggrahan ini tadinya tempat yang sangat pribadi, dikelilingi bangunan sehingga nggak kelihatan dari luar. Pasti dulunya indah dan cuma bisa dikunjungi anggota keluarga Sultan. Sisa-sisa taman dan kolam yang cantik dengan umbul alias air mancur masih ada. Kolamnya jelas sudah kering kerontang. Beberapa ornamen ukir di sisa tembok juga masih ada beberapa. Sayangnya pot-pot bunga dan patung naga sudah raib. Padahal waktu pertama kali didata Dinas Purbakala katanya masih ada.

Bangunannya terdiri dari dua tingkat. Temboknya tebal-tebal lho. Dengar-dengar waktu gempa Jogja 2006, sempat kena imbasnya juga, runtuh-runtuh sedikit. Waktu saya datang sih kelihatannya habis direnovasi. Sayangnya masih ada tangan-tangan iseng yang corat-coret nggak jelas di temboknya, ganggu pemandangan!

Buat orang yang nggak tertarik sejarah datang kesini pasti bosan. Tapi kalau buat saya sih asyik-asyik saja tuh. Hehe.


  • Gua Siluman

Setelah sempat muter-muter, akhirnya sampai juga di tempat ini. Lokasinya dekat pasar Wonocatur, Sleman. Persis di pinggir jalan, depan sebuah mini market. Memasuki tempat ini mestinya sih melewati lorong yang ada di seberang jalan (aneh nih, lokasinya terpotong jalan raya). Tetapi kami nggak tahu, jadi menyeberangi jalan dan turun ke lokasi dengan meniti sisa-sisa tembok. Bentuk bangunannya unik, berada sekitar 4 meter di bawah permukaan tanah. Bentuknya yang terpendam, membuat banyak orang menyebutnya juga sebagai Benteng Pendem.

Ternyata tempatnya juga sudah direnovasi. Sudah bersih. Sisa-sisa kolam dan air mancur yang berbentuk burung beri sudah dibersihkan. Kolam air mancurnya kering kerontang seperti di Warung Boto. Yang masih berair adalah kolam yang ada di tengah. Penduduk sekitar rupanya sengaja mengisinya dengan bibit ikan nila dan dijadikan tempat memancing buat iseng-iseng.

Saya sempat ngobrol dengan beberapa anak kecil yang sedang mancing. Mereka bilang sering main di situ sambil mancing. Ikannya banyak, Mbak. Lumayan buat lauk nasi, kata mereka sambil cengengesan. Saya juga ngobrol dengan seorang bapak yang sedang mancing juga. Dia yang cerita kalau bibit ikan memang sengaja ditebar di kolam.

Di bagian dalam bangunan masih terlihat sendang (pemandian). Ada sekat yang berdiri di tengah-tengah sepertinya untuk menghalangi terlihatnya orang yang sedang mandi. Masih utuh lho ukirannya. Bagus banget! Sepertinya ukiran itu adalah chandra sengkala alias penanda tanggal dibangunnya pemandian ini. Sayangnya saya bukan arkeolog, jadi nggak mengerti arti simbol-simbol yang diukir disitu... hiks...

Konon pesanggrahan ini dipercaya manjur untuk membuang sial lho. Kadang-kadang suka ada orang yang bikin ruwatan di sini.

Bangunan ini juga dibuat Hamengku Buwono II. Arealnya nggak terlalu luas, hanya sekitar 100 x 200 m saja.

Ceritanya dulu, Danang Sutowijoyo alias Panembahan Senopati, yang mendirikan Kerajaan Mataram, mendirikan kerajaannya di kawasan Kota Gede. Karena perjanjian Giyanti tahun 1755, Belanda berhasil memecah Mataram menjadi dua yakni Yogyakarta dan Surakarta.

Sultan Jogja kala itu mendapat wangsit untuk memindahkan kerajaan dari Kota Gede ke kawasan Wonocatur, Bantul. Persiapan segera dilakukan, termasuk mendirikan pemandian untuk para putri serta selir-selir istana, yang kini disebut Gua Siluman. Belum selesai pesanggrahan itu, raja mendapat wangsit lain yang menyuruhnya pindah ke Plered. Itu artinya sejak didirikan hingga sekarang, belum pernah sekalipun pesanggrahan Gua Siluman ini dipakai mandi oleh satu pun puteri keraton. Hohoho.

Oh iya, kenapa namanya jadi Gua Siluman? Padahal dalam naskah asli babad kraton, tempat ini disebut Gua Seluman. Entah apa arti 'seluman' itu. Bahasa Jawa kuno sepertinya.

Di pesanggrahan ini masih ada arca burung beri yang unik, karena paruhnya sekaligus berfungsi sebagai pancuran air ke kolam. Burung beri itu sejenis burung garuda yang ada di dalam cerita-cerita Jawa kuno.

  • Panggung Krapyak

Oh jengkelnya! Sampai di sana, tempat itu yang ternyata sudah direnovasi dan dicat ulang, malahan ditutup dan dikunci. Hasil renovasinya juga jelek banget! Hilang aura kunonya. Warna temboknya aneh, coklat kemerahan. Pasti dilapisi bligon.
Bligon adalah traditional coating yang terdiri dari campuran pasir, kapur gamping dan semen merah dari batu bata merah yang ditumbuk, dengan skala perbandingan tertentu.

Panggung Krapyak ini dulunya adalah tempat raja mengintai hewan buruannya. Lokasi tempat ini tadinya memang hutan, Hutan Krapyak. Dulu konon banyak kijangnya. Sasaran empuk panah raja.

Bangunannya terdiri dari dua lantai. Bentuknya segi empat dari bata merah dilapisi semen cor. Setiap sisi punya satu pintu dan dua jendela tanpa penutup. Bentuk bagian atasnya agak melengkung seperti pintu dan jendela mesjid. Kalau melihat bangunan ini, langsung berpikir enaknya jadi raja. Bisa mengintip binatang buas dengan aman dan nyaman, tanpa harus kepanasan, kehujanan dan diserang binatang buas yang terluka.

Konon juga, bangunan ini diduga digunakan juga sebagai pos pemantauan pergerakan musuh dari arah selatan. Panggung Krapyak termasuk bangunan yang terletak di poros imajiner kota Yogyakarta, menghubungkan Gunung Merapi, Tugu Jogja, Kraton Yogyakarta, Panggung Krapyak dan Laut Selatan.

Poros Panggung Krapyak hingga Kraton menggambarkan perjalanan manusia dari lahir hingga dewasa. Wilayah sekitar panggung melambangkan kehidupan manusia saat masih dalam kandungan, ditandai dengan adanya kampung Mijen di sebelah utara Panggung Krapyak sebagai lambang benih manusia. Mijen itu kira-kira artinya biji atau benih.

Wilayah Krapyak ini memang kelihatan bekas hutan, soalnya teduh dan banyak pepohonan. Ada sebuah pesantren di dekat situ. Dulu di hutan Krapyak katanya banyak rusa, sehingga menjadi tempat berburu favorit raja-raja Mataram. Pernah dengar nama Prabu Hanyokrowati yang digelari Panembahan Seda Krapyak?

Prabu Hanyokrowati itu raja kedua kerajaan Mataram Islam, putra Panembahan Senopati. Tahun 1613, waktu sedang berburu di hutan Krapyak beliau mengalami kecelakaan sampai meninggal dunia. Makanya digelari Panembahan Seda Krapyak yang artinya 'raja yang meninggal di hutan Krapyak.'

Datang kesini, seandainya pintunya tidak dikunci dan boleh naik ke atas pasti asyik. Melihat Jogja dari ketinggian. Membayangkan berdiri di tempat seorang raja pernah berdiri. Wow!

Perjalanan hari itu ditutup dengan makan di Bale Raos. Dengan menu makanan ala raja-raja Jogja. Hoho.

Iya dong, mumpung suasana hati sedang tepat. Sesuai dengan atmosfir sejarah yang baru ditelusuri.

Restoran Bale Raos adanya di belakang Kraton (daerah dekat Taman Sari), menyediakan menu makanan tradisional kesukaan raja-raja Jogja sejak zaman Hamengkubuwono I. Namanya juga unik-unik. Belum pernah dengar kan Sayur Klenyer, Daging Lombok Kethok, atau Gecok Ganem? Tahu Roti Jok dan Dendeng Age? Kalau makanan yang namanya Manuk Nom, Semlo, Tapak Kucing, Prawan Kenes atau Jadah Manten? Hehehe. Unik ya?

Sampai di sana, Ridwan langsung suka sama suasananya. Adem banget, diiringi gending jawa sayup-sayup. Kalau beruntung, biasanya suka ada tarian tradisional juga. Makanannya? Kalau buat lidah Jawa sih pasti enak. Sayangnya buat lidah saya nggak cocok karena citarasanya manis. Tapi minuman tradisionalnya top banget. Ridwan pesan bir jawa, saya pesan wedang secang. Itu semua dari rempah-rempah.

Malamnya, saya ke Djendelo lagi, kali ini dengan Fahmi. Nggak pernah bosan ke kafe ini. Online diiringi lagu Let It Be-nya The Beatles, wow banget! Dasar saya, sempat pula kenalan sama yang punya kafe, namanya Mas Kevin. Orangnya keren, menurut saya sih mirip Andi Rif. Hehe. *You rock, Mas Kevin! ^^

Malam itu tidur saya benar-benar pulas. Capek tapi puas. Sepertinya malah tanpa mimpi.


-Tulisan asli tertanggal 11 Juli 2008-


Pesanggrahan Warung Boto (foto pribadi)


Panggung Krapyak (foto dari Yogyes.com)



Image and video hosting by TinyPic

6 comments:

Rian said...

blognya sudah saya follow ya ^^

Amanda said...

asik bangets! kalo ke jogja, saya mau ke tempat2 ini ah! thanks ya mbak!

Enno said...

@rian: makasih yaaa.. :)

@amanda: iya cobain deh, tempat2 yg gak standar lbh seru! :D

shinta said...

hmm,, harus punya temen yang sense of jalan jalannya satu aliran nih kalo gini,, :D

biar ga hedon muluu,, :P

Enno said...

@shinta: haha beneeer... bukan jalan2 buat shopping soalnya... jalan2 ngegembel :P

Wuri SweetY said...

wahhhh malu aku mbak...hidup di jogja lebih dr 25thn tp belum prnh aku masuk ke tempat2 itu paling cm lewat tok...kebangetan ya???pdhl bapakku dl krj di departemen purbakala buku2 sejarahnya lengkap.
tau cerita2 detail jg pas baca blog-mu. dl prnh sich di ceritain bapak ma guru sejarah tp hilang tertiup angin. hehehhe
janji dech sblm jalan2 keluar bsk ketempat2 itu dulu.
ralat : itu pasar wonocatur/bantengan bukan di Sleman tp Bantul (deket rumahku nich mbak)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...