Thursday, October 7, 2010

Upik Abu

Let here to cry
I do not know why
But no tears fall from these eyes
I am alone but just fine
I will not whine
All my time is now mine

-Chinese Cinderella poem-
.................................

Bu, aku harus mengurus Ayah dan rumah kita sendirian. Ayah yang sudah tua dan mulai rewel, kucing-kucingnya yang nakal dan kelinci yang kandangnya harus selalu disapu setiap sore. Ibu tahu tidak, aku merasa seperti Upik Abu. Tapi aku tidak akan pernah berubah menjadi gadis berkereta kencana dan sepatu kaca. Aku ya tetap aku. Yang setengah harinya dihabiskan untuk membereskan rumah dan memasak di dapur. Bu, kadang-kadang Ayah tidak mau makan masakanku. Padahal sudah capek aku memasak untuknya.

Aku juga masih harus mengatur tugas-tugas Nunung. Ibu tahu kan pembantu baru kita itu agak dungu. Tugas-tugasnya tak pernah diingat di luar kepala. Harus selalu didiktekan setiap hari. Kemarin-kemarin makannya selalu tak pernah habis. Sisa nasinya dibuang begitu saja. Lalu aku tegur. "Nung, di luar sana banyak yang nggak bisa makan. Kenapa kamu buang-buang nasi. Kalau makan, ambil nasi secukupnya dulu. Kamu boleh tambah kok kalau belum kenyang. Tapi jangan dibuang-buang!"

Lalu orang-orang yang selama ini Ibu biarkan bertingkah seenaknya. Keluar masuk rumah kita tanpa tujuan jelas. Aku pernah bilang Ibu terlalu baik pada mereka, sehingga mereka memanfaatkan Ibu. Tapi Ibu cuma tersenyum dan melarangku berprasangka. Tapi aku tak pernah salah, Bu. Aku bisa melihat karakter orang. Sejak Ibu tak ada, sifat asli mereka kelihatan. Musang-musang berbulu ayam. Menipu, memanipulasi, memanfaatkan Ibu.

Bibi Jum yang suka mengorek-orek tempat bumbu Ibu dan meminta bumbu setiap hari, bawang merah lima siung kemarin, bawang putih empat siung hari ini, merica dua sendok besok, sudah tak pernah lagi berbuat begitu. Aku menawarinya (dengan nada yang sangat manis) untuk membelikannya bumbu apa pun yang tak ada di dapurnya. Ia jadi tak enak hati sendiri, lalu tak pernah lagi bergerilya ke dapur kita setiap pagi.

Penggarap sawah kita itu tak bisa lagi berbohong meminta bibit padi dengan jumlah lebih banyak agar sisa gabahnya dia pakai sendiri. Aku sudah bertanya pada Kepala Desa takaran bibit padi untuk per satu hektar tanah. Dan kemarin aku memberinya dengan jumlah yang sesuai dengan luas sawah kita.

Isterinya tidak lagi berani mengambil nasi di meja makan kita tanpa izin. Kemarin aku memergokinya berbuat begitu dan menegurnya agar minta izin dulu lain kali karena itu namanya tidak sopan. Aku tahu Ibu sering keheranan. Mereka sudah mendapat setengah bagian dari hasil panen padi dan dua pertiga hasil panen jagung kita, tetapi setiap hari masih saja mereka minta makan untuk keluarganya. Itu namanya curang.

Jangan pelit, tegur Ibu padaku. Aku tidak pelit, Bu. Mereka boleh ikut makan sesekali. Tapi yang terjadi sekarang kita ini dimanfaatkan. Mereka bukan hanya bekerja pada kita, tapi menjadi parasit. Mereka sudah mendapat bagiannya tapi sering meminjam beberapa kwintal bagian gabah kita dan menumpang makan setiap hari. Anggota keluarganya ada lima, Bu. Aku tak sanggup memasak banyak setiap hari. Ini bukan dapur umum.

Dan orang-orang lain yang suka nongkrong tak jelas di rumah kita itu, yang suka mengobrol di dapur sambil mengintip kita masak apa hari itu. Lalu mereka akan bertahan sampai waktu makan siang tiba dan ditawari makan. Setelah itu pulang. Kemarin mereka menghabiskan sayur bayam dan ayam goreng yang kumasak untuk Ayah. Kalau aku kesal dan ingin marah apakah Ibu akan mengataiku si judes? Apakah aku ini memang pelit, atau aku tidak senaif Ibu? Bagaimana pun aku merasa harus mencari cara untuk membereskan masalah ini. Toh mereka punya rumah dan dapur sendiri. Mereka juga bukan fakir miskin yang tak punya uang untuk membeli makanan.

Bu, aku ini Upik Abu atau polisi? Aku harus menegakkan lagi aturan di rumah ini dari awal gara-gara Ibu terlalu baik pada mereka. Aku tak mau mereka seenaknya terus. Ini rumah kita kan, Bu. Lalu kenapa mereka yang mendikte kita?

Ternyata menggantikan Ibu di rumah itu sangat melelahkan. Aku nyaris tak bisa mencari ide menulis apa. Ini cuma cerita sebelum tidur, Bu. Dari si Upik Abu, yang tak akan menjadi Cinderella bersepatu kaca dan berdansa dengan pangeran.

Sepertinya aku ya aku. Sejak pagi sampai lonceng tengah malam berdentang, akan tetap si Upik Abu.


foto dari sini




Image and video hosting by TinyPic


5 comments:

TS Frima said...

tapi kamu upik abu yang tegar, kan :)

misfah said...

sini ibu peri ubah jadi cinderellla....cling...

Ordinary Blog said...

Semangat dan tabah ya upik abu yang cantik :)

Anonymous said...

semangat kak :)

Enno said...

@all: upik abunya sedang nyuci neh hehe

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...