Saturday, June 12, 2010

Candu

"Pagi, Tony. Kamu sedang apa? Sudah sarapan?"
Ia mengangguk dan tersenyum kecil. Wajahnya yang tirus dan cekung menyisakan sepasang lesung pipi. Dulunya, saya yakin, ia remaja yang tampan. Gadis-gadis akan dengan mudah jatuh cinta padanya. Ia jangkung, hidungnya bangir, bermata elang dan ada sepasang lesung pipi itu.
"Kakak mau workshop lagi?"
"Iya. Kakak tinggal dulu ya?" Aku menepuk ringan bahunya, memberinya senyum dan berlalu meninggalkannya duduk berjemur di depan paviliunnya.

Rumah sakit itu, tempat kami mengadakan workshop tentang narkotika selama seminggu bersama BNN dan AUSAID, kadang-kadang sepi dan senyap. Hanya ada suara langkah kaki dokter atau perawat di koridornya, atau suara bisik-bisik dari dalam kamar-kamar tertutup. Bau obat dan disinfektan menguar lamat-lamat. Tapi kalau kau datang di hari yang buruk, suasana sepi itu berubah drastis. Beberapa teriakan dan benturan akan menggema di sepanjang koridornya.

"Sakit, dokter! Tolong! Sakiiiiit!!!"
"Saya mau keluar! Keluarkan saya! Keluarkan!"
Bruk! Bruk! Brak!
"Aaaaarggghhh!!!"
Bruk! Bruk!
"Satu ampul saja, dok! Satu ampul saja ya? Setengah ampul kalau begitu? Saya janji ini yang terakhir dokter! Janjiiiii!!!! Saya nggak kuat dok! Saya mau mati! Dokter, dokter, tolong saya! Huhuhuhu.... toloooong........!"

Di hari-hari seperti itu, saya akan mempercepat langkah menuju ke kelas, sambil mengusap wajah yang basah oleh air mata. Saya tidak tahan mendengar jeritan-jeritan pilu menyayat hati itu. Seolah-olah mereka, orang-orang yang sedang sakaw (withdrawal syndrome) itu, sedang disiksa dalam kamp konsentrasi Nazi. Padahal siapapun tahu, di rumah sakit ketergantungan obat itu mereka sedang disembuhkan.

Saya mengenal Tony selama hari-hari saya di sana. Umurnya baru 17 tahun, hampir lulus SMA. Mental dan fisiknya nyaris runtuh gara-gara narkotika yang ia konsumsi sejak SMP. Hampir semua jenis pernah ia coba. Tapi ia lebih menyukai heroin (putaw). Narkotika golongan I yang paling berbahaya karena daya adiktifnya yang sangat tinggi. Anthony pernah menunjukkan bagian bawah lengannya yang dipenuhi bekas suntikan heroin.
Kadang-kadang saya melihatnya menangis keras tanpa sebab, seperti lazimnya orang-orang yang putus zat dan mengalami depresi.

Ia pernah bilang, dengan suara terbata-bata bahwa ia menyesal telah merusak hidupnya dengan zat terkutuk itu.

"Menyesal Kak, saya menyesal..." Ia terisak-isak di depan saya.
"Kalau begitu, kamu harus berusaha sembuh dan jangan mengulangi lagi. Janji sama dirimu sendiri ya Tony."
Ia mengangguk-angguk masih sambil menangis.

"Dia harus terus diawasi oleh keluarganya," komentar James, fasilitator kami, yang belakangan bersahabat dengan saya.
"Ada kemungkinan relapse?" Tanya saya. Relapse ada penggunaan kembali narkotika oleh mantan pecandu, dalam bahasa awam disebut 'kambuh.' Hal itu terjadi ketika mantan pecandu gagal beradaptasi dengan penyebab stress-nya, sehingga ingin mendapatkan kembali kesenangannya saat menggunakan narkotika.
"Ya, selalu ada kemungkinan itu."

Saya berpisah dengan Tony di hari terakhir workshop, dengan hati yang berat dan sedih. Beberapa kali setelah itu saya masih sempat mengunjunginya, lalu ternyata ia diperbolehkan pulang, dengan rawat jalan rutin.

"Workshopnya sudah selesai, Tony. Kakak tidak bisa setiap hari lagi kesini."
Ia mengangguk-angguk saja. Matanya menerawang, tak terlalu fokus pada apa yang saya katakan, seperti hilang ingatan.
"Kamu harus cepat sembuh. Harus semangat untuk sembuh, nggak boleh nyerah. Ya?"
Kali ini ia baru menatap saya dengan mata yang nanar.
"Kakak mau pergi?"
"Ya, kembali ke kantor. Kerja lagi."Ia mengangguk. Wajahnya agak sedih.
"Kapan-kapan Kakak tengok ke sini."
"Ya."
"Harus nurut sama dokter dan perawat-perawat disini."
"Ya."
"Oke, nanti Kakak bawakan CD-nya Offspring kalau ke sini lagi." Ia penggemar Offspring, sama seperti saya.
"Ya, terima kasih."
Saya menepuk bahunya, tersenyum dan berlalu tanpa menoleh lagi. Menahan air mata yang nyaris turun, karena tiba-tiba teringat Pung, sahabat saya yang meninggal karena HIV yang ditularkan melalui jarum suntik heroinnya bertahun-tahun yang lalu.

James yang berjalan di samping saya menepuk-nepuk lengan saya. "I think he's gonna be alright, Enno."
"I think so..."

Picture from here

---------------

Tony, dimana pun kamu berada, semoga kamu baik-baik saja dan tidak lagi terjerat zat terkutuk itu ya dik...

Image and video hosting by TinyPic

12 comments:

-Gek- said...

ngeri banget ya Mbak, mudah2an kita selalu dijauhin deh..

retno andriani said...

mudah2n tony cepet sembuh y kak.. dan tony tony lain tentunya

Riesta Emy Susanti said...

smoga Tony baik2 saja ya....

Boku no Blog said...

Wah takut juga nich..
semoga Tony lekas sembuh

Arman said...

paling sedih kalo denger cerita tentang remaja yang kena narkotika. narkotika ini emang bener2 setan ya!!

moga2 tony bisa segera sembuh ya...

readhermind-dy said...

kasian.. semoga kuat untuk ga balik lg ke dunia narkoba. masih muda, perjalanannya masih panjang..

Enno said...

@semuanya: amin, amin... kita doakan sama2 semoga Tony dan semua org yg pernah mencicipi zat terkutuk ini (apalagi yg sampe nyandu) sadar dan kembali ke jalan yang benar. thx atensinya yaaa.... :)

Azhar said...

amiiin...amiinnn

kristiyana shinta said...

aq tau gmn sedihnya begitu tau org terdekat kita terlibat hal2 yang kita tidak inginkan,,
aq pun pernah merasakannya,, huhuuhu

kristiyana shinta said...

amin amin amin

Gogo Caroselle said...

awww poor tony,
pergaulan yg salah kali ya..
so sad,
cepat sembuh yah ton :)

Enno said...

@azhar, shinta, gogo: amiiin makasih doanya :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...