Teman saya, seorang pendaki tebing, pernah bertanya mengapa saya yang takut serangga terutama laba-laba bisa dengan santai masuk hutan, naik turun gunung dan menelusuri gua. Padahal di tempat-tempat seperti itu justru banyak sarang serangga.
Lalu saya balik bertanya, jika ia sedang mendaki tebing, menaklukan dinding-dinding karang itu, sempatkah ia memikirkan hal-hal lain selain puncak tebing yang menjadi tujuannya. Ia menjawab tidak.
Lalu saya balik bertanya, jika ia sedang mendaki tebing, menaklukan dinding-dinding karang itu, sempatkah ia memikirkan hal-hal lain selain puncak tebing yang menjadi tujuannya. Ia menjawab tidak.
..............
Kalau tubuhmu gemuk, besar dan tambun, kau harus berpikir seratus kali sebelum memutuskan masuk ke liang itu. Liang yang berupa ceruk di dinding cadas dengan arah menurun nyaris vertikal, lembab dan basah.
Hampir sepuluh meter ke bawah, dasarnya berupa aliran sungai bawah tanah setinggi dada orang dewasa. Bunyi airnya menderu tenang terdengar sampai ke mulut liang.
Yang akan masuk duluan sudah diputuskan. Tentu saja anggota tim yang paling langsing, gesit dan pemberani. Karena entah ada apa di dalam sana. Gua dan sungai bawah tanahnya belum pernah ditelusuri. Penduduk setempat sudah memperingatkan, ada sesuatu di dalam sana. Mereka tak mengatakannya dengan jelas karena takut. Mengesankan bahwa entah monster apa di dalam sana itu keramat dan seharusnya tidak diganggu.
Tapi mereka, anak-anak muda pemberani itu, tidak bermaksud mengganggu atau mencemari lingkungan desa yang masih asli dan terpencil itu. Mereka ingin mensurvei aliran sungai bawah tanah di dalam gua itu agar bisa dipompa ke permukaan untuk dimanfaatkan oleh penduduknya yang kekurangan air.
Tali-tali disiapkan. Kompas, helm speleo dan lampu karbit. Yang ditunjuk masuk duluan merangkak ke pinggir liang, menuruni tali yang terjuntai sampai ke bawah. Tak berapa lama terdengar suara kecipak air di dalam sana. Ia sudah sampai di dasar sungai.
"Aman!" Ia berteriak ke atas, pada teman-temannya yang menunggu.
Lalu satu demi satu mereka menyusul turun. Orang kedua, ketiga, keempat...
Yang lain masih menunggu keempatnya berenang lebih ke dalam karena lorong itu terlalu sempit jika disesaki lebih dari empat orang.
Sinar senter dan lampu karbit menyoroti dinding gua dan permukaan air yang gelap tak terbaca. Mereka maju perlahan-lahan.
Dua meter di depan, lorong mendadak menyempit dan menurun. Orang pertama terpaksa harus setengah berbaring, merosot ke bawah untuk melewatinya. Ia baru saja menjulurkan kakinya ke depan ketika sesuatu menindih kakinya itu. Sesuatu itu sangat berat dan bergerak menggelincir, terus ke atas, melewati dadanya... bergerak, bergerak... Ia nyaris sesak napas karena dadanya tertindih dan sesuatu itu seolah tak berhenti menggelincir.
Tiba-tiba saja dada dan kakinya terasa ringan. Sesuatu itu tak lagi memberatinya. Tapi ia masih bengong, terpaku di tempatnya.
"Nang! Woy! Aman nggak? Kenapa nggak maju?" Temannya yang tepat di belakangnya bertanya. Ia langsung tersadar.
"Naik!" Serunya panik. "Naik semua! Tidak aman! Cepat, cepat!" Ia memutar tubuhnya di lorong sempit itu. Terpaksa harus menyelam sedikit agar tubuhnya bisa berbalik ke belakang. Teman di belakangnya meneruskan pesannya ke belakang. Mereka berempat tergesa-gesa berenang kembali ke bawah permukaan liang.
Tali bekas mereka turun masih tergantung dan teman-teman mereka yang lain tampaknya sudah siap menyusul.
"Jangan turun!" Teriak mereka pada teman-teman yang di atas. Satu demi satu empat orang itu memanjat tali, naik ke permukaan. Tiga orang berwajah kebingungan, satu orang lagi pucat pasi. Teman-temannya menatapnya.
"Tadi ada yang menindih kakiku. Besar dan berat. Bergerak terus sampai dadaku. Awalnya kupikir itu batang kelapa yang hanyut, tapi tidak mungkin ada batang kelapa di dasar gua kan? Lagipula benda itu bergerak melewatiku. Dadaku tertindih sampai nggak bisa napas."
Teman-temannya bengong.
"Itu pasti...." Kalimat yang tak selesai itu menandakan mereka semua satu pikiran.
Ya. Seekor ular piton besar telah menghalangi penelusuran mereka.
Tetua kampung yang ditemui akhirnya membenarkan. Memang monster di dalam liang gua itu adalah seekor ular piton sebesar batang pohon kelapa. Ular itu sudah lama diketahui berada di sana sejak lama. Menilik besarnya pasti umurnya sudah sangat tua. Penduduk desa itu bahkan meyakini, ular itu sudah ada sebelum desa itu didirikan.
Apakah mereka tetap melanjutkan penelusuran gua? Oh, pasti. Meskipun kali ini jadi lebih berhati-hati. Bertemu seekor ular bukan hal yang aneh bagi mereka. Itu sudah sering terjadi, meski biasanya tidak terjadi kontak sedekat itu.
..............
Teman saya, si pendaki tebing itu termangu mendengar cerita saya.
"Jadi kamu ngerti kan? Bertemu laba-laba sudah nggak menakutkan lagi, karena lebih banyak monster seram yang kami temui di sana."
Teman saya mengangguk dan tersenyum.
_____________________
*Jenis ular piton yang biasa dijumpai di Indonesia biasanya disebut ular sanca kembang (reticulated python). Merupakan jenis ular yang tidak berbisa. Panjangnya bisa mencapai 10 meter. Lebih panjang dari anaconda, ular terbesar dan terpanjang di Amerika.
*Ular-ular berukuran besar dilaporkan memangsa anjing, monyet, babi hutan, rusa, bahkan manusia yang tersesat ke tempatnya menunggu mangsa.
6 comments:
ehmm.. ngeri booo. ketemu ular biasa aja gue ngeri, apalagi ketemu ular segeda gitu. jadi inget film anaconda yang ganas ituuu....
kamu pernah ketemu ular sebesar itu, no?
nice story kak :)
wiii ngebayangin cerita lu aja jadi merinding sendiri gua.. :P
untung temen lu kagak dimakan tuh ama uler phyton ya...
gw paling takut ama uler
waaaa...ngeri sekaligus menegangkan...
aku trauma sama ular, jadi pas ngeliat picnya, serasa ada yang menjulur2 di kaki ku...hiii...
@titaz: anaconda masih kalah gede sm phyton lho taz... alhamdulillah, aku blm pernah nemu sendiri... hiiii...
@kiiki: thx ki :)
@arman: iya.. untung masih selamet :)
@azhar: wah pdhl tadinya gue mau kirim paket sepasang ular gitu buat lo hehe
@wiwit: wah ga bisa diajakin nari ular nih :P
Post a Comment