Tak ada satupun yang membeli. Meski ia setengah memohon-mohon pada orang-orang yang melintas.
"Sandalnya harganya berapa, Pak?"
Lelaki itu mendongak, menatapku. "Lima belas ribu aja, Neng."
Aku melihat-lihat.
"Belilah Neng. Sedari pagi belum ada yang beli. Saya tadi jualan di dekat pasar, tapi diusir preman di sana. Saya berkeliling dan akhirnya sampai di sini. Belilah Neng, sepagian kami belum makan. Kasihan anak saya." Ia mengusap kepala anaknya dengan sedih.
Ia tidak bohong. Wajah mereka benar-benar lesu. Anaknya memegangi perut. Mungkin perih karena belum terisi apapun.
"Bapak dari luar kota ya?"
"Iya saya dari Sukabumi, Neng. Saya jualan coba-coba. Biasanya saya menggarap sawah orang di kampung. Tapi hujan masih jarang turun, jadi saya coba jualan. Ternyata susah. Saya tidak berbakat jualan."
"Kenapa nggak pulang saja?"
"Ongkos saya habis, Neng. Tadinya mengandalkan hasil jualan ini kalau laku. Ternyata tidak ada yang beli."
"Lho, jadi Bapak nanti tidur dimana?"
"Entahlah Neng."
Malam semakin larut. Alun-alun kota mulai sepi. Aku tadi hanya iseng jalan-jalan mencari udara segar karena bosan diam saja di wisma.
"Pak, ini buat ongkos pulang ke Sukabumi."
Lelaki itu memandangi selembar uang yang kusodorkan.
"Neng, beli sandal saya saja. Ambil secukupnya uang itu. Saya diskon, Neng. Ambil delapan ya."
"Buat apa sandal sebanyak itu buat saya, Pak. Saya ambil satu saja ya. Uang kembaliannya Bapak simpan. Beli nasi buat anaknya, kasihan. Itu di sana masih ada warung yang buka. Lalu Bapak pulang saja ke kampung besok pagi. Ini kota besar, Pak. Tidak gampang berjuang disini kalau tidak terbiasa. Nanti Bapak malah tambah tersesat di kota ini. Tambah susah pulang."
Tak kukira, ia menangis. Sambil terisak-isak ia menerima uangku.
"Duh Neng, saya harus bilang apa? Terima kasih saja tidak cukup."
"Pak, jangan begitu. Saya malah tidak enak. Saya kan cuma menolong sedikit. Saya nggak tega lihat anak Bapak. Ini saya ambil sandal yang ini ya. Bapak cepat beli makanan buat anaknya."
Ah, dia masih saja menangis. Bahkan meraih tanganku dan menjabatnya erat-erat. Beberapa orang yang melintas memandangi kami.
"Pak, Pak. Sudah Pak. Saya ikhlas kok."
"Saya doakan semoga Neng ditambahkan rezekinya sama Allah ya, Neng. Dikabulkan cita-cita dan harapannya. Semoga hidup Neng bahagia..."
Mataku berkaca-kaca.
"Amin. Terima kasih doanya ya, Pak. Saya mau pulang. Hati-hati ya Pak. Tahu arah ke terminal kan? Jangan sampai tersesat ya."
"Iya Neng, iya. Terima kasih banyak. Alhamdulillah."
.......
Tidak. Akulah yang tersesat.
Tersesat tanpa dirinya.
(Ternyata aku tidak setegar itu....)
23 comments:
kadang orang orang seperti itulah... yang mengingatkan kita ya...
eh pertamax rupanya!!!!
meskipun nilai uang itu kecil bagi kita... tapi ternyata, bisa jadi sangat berguna bagi mereka. subhanallah...
hiks...
enno, you make my morning gloomy...
aih aih aih
mba enski...
hiks
*hugs*
sedihnya aku jdnya....
mba sihhhh...!
*loh?! hihi
ketulusan terhadap suatu tindakan adalah kebahagiaan tersendiri :)
Amiennnn untuk doa si Bapak buat kamu.
Kalo merasa tersesat, liat peta aja, No :P
@elsa: iya sa, bener banget... sll ada yg mengingatkan kita ya :)
@alil: cup cup... jgn nangis dong ah :P
@gogo: hiks...ah gogo sih... :P
@aulawi: betul banget :)
@sari: baiklah, nanti aku beli peta dunia :P
ah, bagus banget critanya mbak..
seperti yg pernah kualami disini.. setelah mengalami kejadian2 tersebut, bisakah kita berdamai dgn kenyataan?
dengan membuka pintu rejeki org yg lebih membutuhkan, semoga pintu rejeki mbak enno kan lebih dibukakan oleh Tuhan..
Neng, neng, saya juga mau pulang ke bandung tapi gak punya ongkos neng. Sudilah kiranya neneng berbaik hati pada sayah. Sok atuh neng, buat beli tiket kereta eksekutif aja neng
@pohon: amin.... thx doanya ih :)
@brokoli: ogah ah ngebayarin kamu mah, kan punya hubby... minta atuh sama bang oma jadi2an ituh! hihihi
*berkaca-kaca
Bagus ceritanya Mbak.
tetap keren. Love it.
Mwah.
Nice story Sis :), orang2 seperti inilah yang ngingetin kita betapa kecilnya kita di hadapan Tuhan, dan juga ngingetin akan wajibnya sedekah :D
indahnya menolong.... jadi haru biru... :)
seneng ya mbak kalo bisa berbagi... :)
*ngusapairmata*
got tears in my eyes....
got tears in my eyes....
hiks sedih..
enno paling oke deh mengaduk emosi. endingnya tak tertebak :)
Thanks for sharing this story Mba Enno... :)
baca kisah nyata mbak enno jadi merasa sangat beruntung masih diberi kenikmatan yang begini besar...emang harusnya kita berjalan dengan menunduk melihat kebawah jadi kita bs lebih bersyukur.
After such a long hiatus it's so nice to read such a heartwarming story... :) Thank you very much enno for reminding us to count our blessings everyday.
:)
@gek: mwah juga!
@shin-kun: betul banget... tp kadang perhatian kita luput juga...
@ajenk: iya, kepuasan batinnya tiada tara :)
@eka: cup cup cup... jangan menangis bu, udah gede :)
@owly: endingnya? aku pulang trus bobo hehe
@gendhis: sama2...
@wury: iya, jangan selalu melihat ke atas, manusia kan gak pernah puas..
@intan: your welcome, intan... :)
gak nyangka..mbak enno ternyata...
*ngelap air mata...*
salut mbak...
aq nangis baca ini :(
dl pernah jg ngalami mirip kayak gn...tp bukan bapak2 penjual sandal, tp anak kecil dijalan.....betewe...ni km lg sedih jg ya pas nulis ini mba? feel nya dapet bgt deh :( aq jd ikutan sedih bacanya
Post a Comment