Sunday, September 27, 2009

Sekaroem


Ia tahu, tak ada haknya untuk menolak. Ia harus menerima lelaki itu sebagai suaminya. Seperti yang diperintahkan Romo padanya dan diamini Ibu yang selalu seiya sekata dengan suaminya.

.........

Suaminya terbaring di atas ranjang. Dulunya ia adalah lelaki tinggi, gagah dan tampan, yang belasan tahun dilayaninya dengan keikhlasan, meskipun awalnya ia merasa sedikit terpaksa. Kini suaminya sakit, dan ia tahu penyakitnya semakin lama semakin parah. Wajah pucat dan tatapan matanya menyiratkan salam perpisahan yang akan terjadi tak lama lagi. Bukannya ia berharap hal itu terjadi. Namun jauh di dasar hatinya ia tahu, saat itu akan segera tiba.

"Jeng, saya titip anak-anak." Begitu kata suaminya tadi. Ia tersenyum dan mengangguk. Duduk bersimpuh di bawah ranjang sambil mengamati suaminya yang terlelap.

Raden Mas Soewito Poespodiprodjo sudah beristri dua ketika menikahinya. Ia menjadi isteri ketiga, tetapi statusnya adalah garwa padmi atau isteri utama. Sebab ia berdarah ningrat seperti suaminya, sementara dua isteri yang lain dari kalangan biasa. Statusnya yang istimewa tidak membuatnya bahagia, karena bagaimanapun berbagi suami dengan orang lain bukanlah impiannya.

Ia, Raden Ayu Sekaroem, seperti Raden Ajeng Kartini puteri bupati Jepara itu, sejak kecil ingin bersekolah setinggi-tingginya. Ia menyimpan cita-cita bersekolah hukum di Leiden, Belanda. Namun seperti perempuan-perempuan Jawa ningrat di masa itu, semuanya tinggal angan-angan belaka. Kakeknya, KRMTH Soemoprawiro Setjodiningrat yang bupati dan masih berdarah Kraton Jogja sudah terlanjur berjanji untuk berbesanan dengan sepupu jauhnya, KRMTH Atmodjo Poespodiprodjo. Ia yang dipilih dan dianggap pantas menjadi garwa padmi seorang pegawai jawatan kereta api yang dianggap cukup bonafid di masa itu, karena hanya bisa dijabat oleh orang-orang Belanda atau pribumi berdarah ningrat.

Dua orang madunya dari kalangan rakyat biasa. Tidak seanggun dan secantik dirinya. Isteri pertama suaminya memiliki dua orang anak, isteri kedua juga memiliki dua orang anak. Seiring berjalannya waktu, ia melahirkan empat orang anak. Lalu kedua madunya meninggal lebih dulu karena suatu wabah penyakit. Dengan ikhlas, dirawatnya keempat anak tirinya.

Ibu. Semua anaknya, sekarang delapan, memanggilnya Ibu. Ia dihormati dan dicintai. Suaminya bukan pejabat dengan gaji besar. Dengan delapan orang anak, tentu saja biaya hidup menjadi cukup besar. Ia harus pandai-pandai mengelola uang agar anak-anaknya tetap kenyang dan memiliki pakaian yang layak. Ia tak pernah menoleh ke belakang, pada kehidupannya dulu di puri keluarga yang serba berkecukupan. Sebagai cucu bupati, ia amat dimanjakan dan dikelilingi banyak pelayan.

Sekaroem kini seorang isteri pegawai jawatan kereta api yang hidup sederhana. Meskipun kenyataannya ia masih buyut Sultan dan keturunan keenam Pangeran Diponegoro, itu tak membuatnya bisa berbuat seenaknya, misalnya pergi ke puri untuk mengadukan nasibnya, berkeluh kesah atau meminta bantuan apapun ketika keuangan keluarga sedang menipis. Suaminya mengajarinya tabah dan tawakal. Tak pantas membebankan kesusahan diri pada orang lain.

..........

Raden Mas Soewito meninggal dengan tenang. Sekaroem, isterinya yang setia, tak sedetikpun menangisinya.

"Jangan menangisiku nanti, Jeng. Kau harus tabah di depan anak-anak. Agar mereka pun belajar ikhlas."

Sekaroem mengisi hari tuanya diantara anak-anak dan cucu-cucunya yang mencintainya. Ia masih seperti Sekaroem muda yang dulu. Periang, senang menyanyi dan suka bepergian. Satu hal yang disimpannya dalam hati, cita-citanya menjadi ahli hukum yang tak kesampaian.

.........

Seperti diceritakan mendiang eyang putri saya, RA Sekaroem, suatu hari ketika saya hampir lulus kuliah. Membuat saya tidak lagi menyesal kuliah di fakultas hukum (meskipun sebelumnya sangat ingin masuk fakultas sastra).

Setidaknya, saya telah menggenapi cita-citanya.
__________

catatan:

KRMTH : Kanjeng Raden Mas Tumenggung Haryo
(gelar bangsawan untuk para bupati Jawa di masa feodal)

Image and video hosting by TinyPic

15 comments:

Apisindica said...

terlepas dari ceritanya, saya cuka cara bertutur tulisan ini. mengalir begitu saja. indah.

wah, mbak enno itu ternyata turunan ningrat yah?! Darah biru, darah yang tercemar CO. hehehehehe. Piss ah!

BrenciA KerenS said...

mbak ennoooooo... hihihihi pa kabar? lama aku ndak kemari, masih liburan lebaran nih mbak.


maap lair batin yha...

*sekarang aku tak baca postingannya*

BrenciA KerenS said...

hhhnnngggg...... mengenang leluhur mbak???

Elsa said...

Poespodiprodjo???

kirain Poespowardhoyo yang beristri 4 itu. hahahahahaha...
masih ada hubungan kekerabatan kali ya, sama-sama gemar beristri banyak.

Koez Arraihan said...

Enno...
Jujur aja, ngebaca tulisan ini saya jadi teringat dengan Pramodya Ananta Tour, mungkin setting cerita nya yang hampir selalu kita temukan dalam tulisan2 Pram. Tapi pastinya OK banget ini tulisan...setting cerita yang "jawa banget" ha..ha....saya suka sekali, atau karena saya lahir sebagai suku Jawa? ahh...jadi primordial begini yaa...he..he...salute buat Enno...

Azhar said...

wah berarti enno itu keturunan kedelapan dari pangeran diponegoro dong...

Poppus said...

No, bukannya lu teh orang garut?

Gogo Caroselle said...

mbaaa ennooo
bagus bagus bagus ceritanya...., as always,
oiya, selamat setaonan yah kmrn.. iya kan kmrn? hihi

Arman said...

eh gua belum komen ya disini... kok perasaan udah ya.. hahaha...

iya very nice story no!!

mare said...

memang kita harus selalu bersyukur dapat hidup di jaman yang "serba enak " ini. Bisa mewujudkan cita-cita adalah mulia,
jadi sy harus manggil apa nih ? Raden Ayu ?

kalo di kelahiran sy ( bali ) masih harus nanyain dl ke orang yang baru dikenal apa dia termasuk gol bangsawan , soalnya kalau iya harus memakai bahasa halus ( kromo )

Meita Win said...

awas awas...yang suka muji nanti bikin kepalanya besar!
hahaha...

apa kabar, mba?

:) lama tak terlihat...

selamat lebaran...:)

Sari said...

Haaa....Ternyata Enno masih keturunan ningrat nih...
Masih bisa donor ga ya kalo darahnya warna biru? :P

Enno said...

@apisindica: darah birunya karena kecampuran spirtus tau hahaha

@bencia: maap lahir batin juga ya mbakyu! iya lagi keingetan mendiang eyang :)

@elsa: beda ah! puspo yg bininya 4 karena napsu, klo kakekku karena keharusan adat :)

@koez: waduh ngeri ah disamain sama eyang pram! bagusan beliau kemana2 bang! makasih pujiannya :)

@azhar: iya nih... kayaknya demikian... :)

@brokoli: ibuku yg org garut mah :)

@gogo: hihihi... kok kamu tau aja aku setaunan? makasih ya gooo... :)

@arman: wah wah udah lebay, pikun pula ya :D

@mare: aku kapan2 pengen lho riset tentang tradisi di bali, suer :)

@simungil: baik2 aja mei... makasih, maap lahir batin ya :)

@sari: bisa, bisa.... donor buat petromaks... sama2 biru kayak spirtus hihihi

Ms. Grey said...

Enno : kayaknya kamu memang mendingan masuk sastra deh....
Aku suka gaya menulis kamu...

Lina said...

mengajari banyak hal ttg bgmn seorang istri seharusnya. salut buat eyang putrinya mbak eno.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...