Friday, June 5, 2009
Cooking Time
Lima orang duduk mengelilingi meja dapur. Tino, Widi, Bowo, Kaka dan aku. Kami di apartemen Tino yang baru. Akhirnya, salah satu dari kami berhasil juga mewujudkan cita-citanya. Cita-cita Tino sejak dulu adalah memiliki apartemen.
Dua kardus pizza sudah kosong tak bersisa, dan cowok-cowok itu masih mengeluh kelaparan.
“Coba kulihat di lemari esmu ada apa.” Aku bangkit, menghampiri lemari es dua pintu di sudut dapur. Uap dingin menghambur ke wajahku. Sambil menyipitkan mata kuteliti isinya.
“Lho, ini ada bahan makanan! Siapa yang belanja?”
“Yola.” Itu nama pacar Tino.
“Memangnya dia niat masak di sini?”
”Dia nggak bisa masak.”
“Terus ini buat apa?”
”Nggak tahu. Katanya buat coba-coba aja. Kali aja enak.”
Yang lain tertawa.
“Kamu masak aja!” Seru Widi. “Katanya bisa.”
“Iya. Masih lapar nih. Tadi kan gue bilang apa. Mendingan pesan nasi padang dari pada makan pizza,” gerutu Kaka.
Cowok-cowok itu sekarang mengerumuni aku. Ikut melihat isi kulkas. Memandangi sayuran dan ayam mentah yang sedang kupegang-pegang.
“Masak aja kalau mau,” kata Tino. “Yola nggak akan keberatan. Nanti gampanglah belanja lagi. Kapan sih dia mau masak. Dalam mimpi kali.”
Lima belas kemudian kemudian, cowok-cowok itu sudah mendapat tugas masing-masing. Widi kusuruh mencuci dan memotong-motong ayam. Tino mengupas dan mengiris bawang. Kaka memotong sayuran, Bowo pergi ke supermarket membeli bumbu yang tidak tersedia. Aku, setelah mencuci beras dan memasaknya dalam rice cooker, sibuk mondar-mandir memberi instruksi.
“Kok jadi kami yang kerja?” Protes Tino.
“Lho, kalian kan asisten chef,” sahutku sambil nyengir.
“Terus kamu ngapain?”
“Ya aku nanti yang bikin bumbu dan memasaknya sampai matang. Kan masih tunggu Bowo pulang belanja bumbu.”
Setengah jam berikutnya, mereka mengerumuni aku. Melongok-longok dari belakang punggungku dengan wajah penasaran. Sesekali ada tangan terjulur, hendak menjumput potongan bakso dan udang di wajan. Yang buru-buru kutepis atau kucubit keras-keras.
“Kalian nonton TV kek, ngobrol kek, ngapain kek,” omelku. “Ngapain sih ngerubutin aku kayak orang norak!”
“Penasaran aja. Ternyata kamu bisa masak beneran.” Tino menyeringai. “Si Yola tolong diajarin ya.”
“Huh malas. Dia Cuma bisa dandan dan shoping,” cibirku.
Mereka makan masakanku dengan lahap. Masakan yang sebetulnya kumodifikasi sendiri dari bahan-bahan yang ada di lemari es itu.
Setengah jam kemudian ada suara mendengkur keras di depan TV. Tino dan Bowo tertidur di atas karpet. Yang dua lagi sedang sibuk dengan ponsel masing-masing di dua ujung ruangan.
Aku meraih tasku dan beranjak pergi. Sudah sore. Mereka biasanya menginap, tentu saja aku tidak.
Di luar, matahari sudah nyaris meninggalkan Jakarta. Puas rasanya sudah memberi makan teman-temanku yang rakus itu. Berani taruhan, itu akan mereka jadikan kebiasaan.
Wah, gawat!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
10 comments:
ke mess besok kau ya mok...
ku tunggu...
aku mau mitiaw goreng seafood sama lumpia salad udang ya mok... :P
hahahaha...
minggu depan masak lagi ya say... bahan2 baru udah tersedia
hahaha
masakan lu kurang.... kurang banyak!
ajarin si yola tuuuh! jangan cuma bisa blanjanya doank!!!
@denny: kalo menu yg itu belum lulus uji klinis punyaku hehehe
@tino: lain kali gue mesti dibayar nyuk! enak aje! :P
@kaka: jelas aja kurang byk... kan loe yg ngabis2in kemaren :P
emang bikin apaan sih ??
gak tau nama masakannya apa.... yg ada di kulkas aja dimasak semua
hahaha
mmm,,,dah lulus uji siap jadi nyonya nih naga naganya
:))))
hahaha... masa sih may? jadi maluuu
:">
Lapeeer gue :)
yee... masak dong sendiri! emak2 pemalas! :P
Post a Comment