Menjemput Hujan

: Ndut

Di sini langit terlalu biru. Aku ingin memolesnya dengan warna lembayung, sedikit mendung dan halilintar yang mengusik burung-burung. Supaya sesuai dengan suasana hatiku.

"Kenapa?" Kamu pasti bertanya.
"Kepingin saja." Selalu begitu jawabanku padamu.

Maaf ya, belum sempat kutulis hal-hal ceria tentang kita. Padahal kita sering tertawa dan aku suka kelakarmu tentang tema yang selalu sama. Laporan-laporan menu makan siang yang membuatku kelaparan dan caramu menertawakan aku sesudahnya. Dan hey... apa kabarnya kolam pemancinganmu itu? Jangan tertawa, Ndut. Serius nih. Aku melihat ikannya banyak.

Hatiku mendung lagi. Masih maukah kamu mendengarkan keluh kesahku, meminjamkan bahumu dan mengingatkan aku untuk bersabar?

Aku selalu saja merepotkanmu, dengan tanganku yang menggapai-gapai pada tanganmu, suaraku yang menyela kesibukanmu dan gurauan tak penting di kotak mengobrol kita.

"Ada apa?" Kamu bertanya saat mengangkat teleponku. Atau, "Kenapa?" Selalu dengan nada lembut, atau barangkali kamu menyembunyikan rasa kesalmu disitu? Kuakui, kadang-kadang aku hanya ingin mendengar suaramu dan meyakinkan diriku bahwa kamu ada untuk meraihku jika terjatuh.

Di sini langitnya terlalu biru. Aku menunggu hujan, tetapi tampaknya sia-sia.

Tunggu aku di sana. Aku akan pulang menjemput mendung dan hujan yang tak pernah absen di Jakarta. Nanti temani aku, ya.