Laki-laki tua yang dihormati dalam keluarga besar kami itu, dulu pernah berkata. Ia baru akan meninggal dunia dengan tenang jika cucunya si X sudah menikah. Maka, ia akan menunggu kapan cucu kesayangannya itu menikah.
Ibuku yang tersinggung berbisik pada ayahku, “Memangnya cuma si X itu cucunya? Apakah anak-anakku bukan cucunya? Bukankah juga layak diharapkan?”
Ayahku yang sabar berkata, “Sudahlah, Bu. Maafkan saja.”
Sepuluh tahun yang lalu, laki-laki tua yang kupanggil Kakek itu meninggal dunia tanpa sempat menyaksikan cucu kesayangannya menikah. Ia meninggalkan banyak luka dan trauma. Termasuk padaku.
Semalam, ia hadir dalam mimpiku. Meminta maaf karena pernah menyakiti hatiku. Aku bilang, tidak apa-apa. Sebab ia ‘godfather’ dalam keluarga. Haknya jika mau berbuat seenaknya.
Wajah kakekku tampak resah. “Aku sayang pada semua cucuku,” ujarnya.
“Tentu saja, Kakek,” sahutku. “Kau sayang pada kami dengan caramu sendiri, yang terkadang tidak bisa diterima akal sehat. Kau mencaci makiku dulu karena aku sakit-sakitan juga pasti karena kau sayang padaku. Kau mengira aku bahagia memiliki tubuh ringkih yang mudah terserang penyakit dan membuatku terkapar berhari-hari di tempat tidur. Sebenarnya kau tidak tahu apa-apa, Kakek.”
Dalam mimpiku, perlahan-lahan tubuhnya menghilang serupa kabut. Hanya wajahnya yang masih terlihat. Menatapku dengan mata yang redup.
“Ngomong-ngomong, Kakek… cucu kesayanganmu si X itu sampai sekarang belum menikah, lho. Seandainya Kakek benar-benar menunggunya, betapa panjangnya umur Kakek kalau begitu.”
Wajah Kakek menghilang. Aku terbangun. Menyesali diri. Mengapa aku masih saja marah padanya. Mengapa sakit hati masa kecilku membekas begitu dalam. Padahal sudah kumaafkan ia. Kakekku itu.
Ibuku yang tersinggung berbisik pada ayahku, “Memangnya cuma si X itu cucunya? Apakah anak-anakku bukan cucunya? Bukankah juga layak diharapkan?”
Ayahku yang sabar berkata, “Sudahlah, Bu. Maafkan saja.”
Sepuluh tahun yang lalu, laki-laki tua yang kupanggil Kakek itu meninggal dunia tanpa sempat menyaksikan cucu kesayangannya menikah. Ia meninggalkan banyak luka dan trauma. Termasuk padaku.
Semalam, ia hadir dalam mimpiku. Meminta maaf karena pernah menyakiti hatiku. Aku bilang, tidak apa-apa. Sebab ia ‘godfather’ dalam keluarga. Haknya jika mau berbuat seenaknya.
Wajah kakekku tampak resah. “Aku sayang pada semua cucuku,” ujarnya.
“Tentu saja, Kakek,” sahutku. “Kau sayang pada kami dengan caramu sendiri, yang terkadang tidak bisa diterima akal sehat. Kau mencaci makiku dulu karena aku sakit-sakitan juga pasti karena kau sayang padaku. Kau mengira aku bahagia memiliki tubuh ringkih yang mudah terserang penyakit dan membuatku terkapar berhari-hari di tempat tidur. Sebenarnya kau tidak tahu apa-apa, Kakek.”
Dalam mimpiku, perlahan-lahan tubuhnya menghilang serupa kabut. Hanya wajahnya yang masih terlihat. Menatapku dengan mata yang redup.
“Ngomong-ngomong, Kakek… cucu kesayanganmu si X itu sampai sekarang belum menikah, lho. Seandainya Kakek benar-benar menunggunya, betapa panjangnya umur Kakek kalau begitu.”
Wajah Kakek menghilang. Aku terbangun. Menyesali diri. Mengapa aku masih saja marah padanya. Mengapa sakit hati masa kecilku membekas begitu dalam. Padahal sudah kumaafkan ia. Kakekku itu.
14 comments:
Kalo sudah memaafkan, harusnya gak marah lagi dunk non.
Lagain biar jalannya dilapangkan mungkin lu nyekar dulu gitu..
hehe.. still trying to forgive tampaknya :)
kecil sakit2an??
gede??
:P
knapa marah?
-neng-
Wow.. Eh cucunya si X itu kamu apa cucunya yg lain..?
haiii enno,,,
dah lama ga baca postinganmu
kamu masih ringkih skrg?
tadi pagi aku denger di salah satu statsin radio, announcernya bilang, kita hidup di masa sekarang
yang lalu biarlah berlalu,,,
@denny: udah gede PMS-an hehehe :P
@jendelaku: panjang ceritanya :)
@titiw: si X itu jelas bukan saya...
@maya: hehehe udah kayak lagu ceu :P
Jadi...kapan kawin no?
Ihiiiiy si popi nyampaaah
terkadang ada luka yang akan terus membekas n bakalan lama sembuhnya mbak..hihihi..
@brokoli: mentang2 udah duluan, pengen buru2 disusul ya? tenang... undangan pasti dikirim... kapan? entar abis gajian :-P
@kita: iya.. kok tumben kamu wise? hehe
jiwa muda mbak..hahaha
semuanya pake mood..kebetulan pas kemarin lagi wise moodnya..hahaha..
Jangan suka dendam, tidak baik
enggak, cuma trauma....
membaca tulisan ini seperti berkaca pada diriku sendiri...orang tua dari ayahku sangat tidak menyayangi aku dan kakakku. kami berdua adalah cucu yang tak terlihat. tapi selalu ibu membuat kami mengerti bahwa cara org menyayangi itu berbeda, dan hingga kini aku tak pernah membenci keduanya. tidak sama sekali.
Post a Comment