Thursday, March 12, 2009

Maaf

Enam pasang mata itu menatapku seksama. Lekat. Menghunjam. Seolah-olah dapur besar tempat kami memasak berramai-ramai itu berubah menjadi neraka beku. Dingin sampai ke tulang. Hari itu, menjelang Idul Fitri.

Enam pasang mata orang-orang yang kuhormati. Para pengganti orangtuaku sendiri. Masih menatapku, menunggu jawaban 'ya.'

"Tidak." Aku menyahut dingin. Dan seharusnya mereka tidak perlu berpura-pura terkejut. Itu jawaban yang selalu kusodorkan sejak seribu tahun lalu. Sejak mereka bilang mengkhawatirkan masa depanku.

"Tidak. Terima kasih."

Di sudut dekat kompor, seraut wajah tua mengerut sedih. Aku memalingkan wajah. Berusaha mengeraskan hati.

......

Kulihat ia menangis di belakang rumah. Air matanya membasahi pipinya yang penuh kerut.
"Kenapa Ibu menangis?" Aku menghampirinya.
"Tidak." Ia tersenyum. "Kena tetesan air." Ia menunjukkan pakaian basah yang sedang dijemurnya.
Aku tidak percaya. Bertanya pada pembantunya.
"Bi, kenapa Ibu menangis?"
"Biasa, Mbak. Disalah-salahkan lagi."
"Karena saya?"
"Iya Mbak."

.....

Kemarin ia menangis di telepon. Terisak-isak. Bukan menangisi dirinya, tapi menangisi puterinya. Mengkhawatirkan aku. Mengkhawatirkan keseimbangan diriku yang dihantam bertubi-tubi.
"Ibu, aku baik-baik saja."
"Ibu tahu, tapi tetap saja khawatir."
"Jangan dengar kata orang, Bu."
"Tapi mereka menjejalkannya ke kuping Ibu."
"Mereka menyalahkan Ibu lagi ya? Jangan dengarkan, Bu. Tidak ada yang salah dalam cara Ibu membesarkan dan mendidik aku. Buatku, Ibu adalah ibu terbaik diantara semua ibu di dunia. Aku janji membahagiakan Ibu dan Bapak. Ibu pegang janjiku, Bu."
"Tidak perlu berjanji begitu. Ibu tidak pernah minta apa-apa. Asal kamu bahagia, Ibu dan Bapak juga bahagia."

Tetapi ia masih terisak.
Hatiku terbelah.

Aku ingin pilih jalan hidupku sendiri. Ingin merancang masa depanku sendiri. Aku ingin mencintai orang yang kupilih sendiri. Tolong izinkan.

......

Kalau kamu menganggapku tak lulus ujian, kalau kamu memberiku nilai D atau E, aku cuma ingin kamu tahu. Kenapa aku tidak belajar sebelum ujian, kenapa aku tidak hadir di tempat ujian, kenapa aku mengerjakan soal dengan rumus yang salah.

Aku tidak bermaksud mendesakmu. Karena bukan itu tujuanku. Aku cuma ingin kamu tahu aku juga manusia biasa yang bisa goyah. Aku hanya berharap kamu sudi memaafkan kekhilafanku.

10 comments:

Anonymous said...

Ibu tidak pernah minta apa-apa. Asal kamu bahagia, Ibu dan Bapak juga bahagia.

Selalu saja saya mendapatkan kalimat bijak di blog ini. Seperti kalimat diatas misalnya. Nice Post.........

Dita Oktamaya said...

nilai D untuk Dita dan nilai E untuk Enno...^^
cukup mewakili, lebih baik telah mencoba meskipun salah, daripada tidak sama sekali...^^
mbak enno, jangan sedih lagi yahh..nanti beneran aku cium lhoo..^^

Senoaji said...

ibu adalah segalanya

hari Lazuardi said...

wow...

Enno said...

@bagus pras: matur nuwun mas bagus... :)

@dita: kalo A,B,C itu sapa dit? ah kok dicium dita? dicium leonardo diCaprio aja...

@senoaji: betul mas :)

@hari: wow juga deh... btw makasih postingan di blogmu ya... hehe

Anonymous said...

Tulisan bagus Neng, kumaha damang. Makasih ya udah mampir lagi

Enno said...

pangesto, teh aida... sami-sami, hatur nuhun hehe

[rei] said...

saya suka banget tulisan2nya.saya ijin nge link blog ini ke blog saya ya...makasih..

Dita Oktamaya said...

A,B,C untuk anak2 yg baru selesai belajar baca mbak,seperti aku mungkin??hehehehehe...
abis kebanjiran buku dari penerbit niyh mbak (baca:hadiah) seneng..^^
kapan ada novel by me ya??atau novel by you???^^
lahhh...leonardo dicaprionya lagi ribet sama juliet dan kapal titanicnya, mending aku aja yang nyium, sini...^^

Enno said...

@rei: makasih rei, silakan di link :)

@dita: byk bacaan? minjem dooong? hehe

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...