Kembalikan padaku cinta yang pernah kupasrahkan padamu. Sebab kamu telah menyalahgunakan, memberikannya pada yang lain.
Seandainya aku tak pernah memasrahkan cinta itu kepadanya, mungkin hidupku akan lebih tentram. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Aku menyaksikan cinta itu tumbuh dan berkembang, berurat akar, dengan sulur-sulur yang terus menjalar kemana-mana. Ke hatiku, ke jiwaku. Mengalir ke seluruh tubuh, mengisi sel-sel darah merahku. Cinta itu begitu suburnya.
Tak sedikitpun aku menyangsikan kejujurannya ketika cinta itu kuletakkan di dadanya. Aku berharap ia akan menjaganya, menyiraminya dan memberinya pupuk agar selalu hidup. Dan cinta itu memang hidup. Meski aku harus selalu mengingatkan untuk tak lupa menyiangi daun-daunnya yang kering meranggas, menyimpannya di sudut hati yang paling sejuk, dan menghangatkannya di dekat jantung yang berdetak lembut ketika cemburu menghantar beku.
Kupasrahkan cinta itu di dadanya, dan setiap hari aku menengoknya. Meski terkadang ia berada jauh dariku, aku akan meneleponnya. Merasakan getar-getar lembut ranting yang rimbun dari suaranya yang menggema di antara sambungan kabel-kabel hitam itu, membaui wangi kelopak bunganya yang mekar dihantarkan udara malam ketika aku mengingat wajahnya. Awalnya terasa begitu indah. Lebih indah dari bayangan rembulan di wajah kolam.
Lalu suatu hari ketika kutemui ia, kutemukan ranting cinta itu tak berbunga. Padahal telah kuhitung hari dan kuyakini, saat itu mestinya bunganya telah rimbun dan harum. Dan seharusnya ia sudah memetiknya untukku.
"Kenapa sekarang tidak berbunga?" Tanyaku. "Bukankah kamu menyirami dan memberinya pupuk setiap waktu?"
Ia bilang tidak tahu. Cinta itu ada dan subur, tapi bunganya tak mau muncul. Ah, sungguh tak masuk akal.
Jawabannya muncul tanpa ditunggu. Kulihat seorang perempuan di depan rumahnya. Membawa serumpun bunga yang seharusnya untukku. Ia yang menyerahkannya di depan pintu. Dengan kecupan dan tatapan mesra, yang biasanya ia lakukan padaku.
Salahkah kalau aku marah? Itu cinta milikku! Aku yang memberikannya, menyimpannya di dadanya agar ia menjaganya. Aku menyaksikannya tumbuh berkembang, berurat berakar. Dan bunganya, cuma aku yang boleh memetiknya. Berani-beraninya ia memberikan bunga dari cinta itu untuk orang lain!
"Siapa dia?" Aku bertanya padanya malam itu.
Ia mencoba berkelit.
"Kenapa kamu berikan bunga-bunga dari cinta di dadamu itu? Bukankah itu cinta dariku? Aku yang menyimpannya di dadamu. Bukankah aku yang seharusnya kau beri segala hasil dari pertumbuhannya?"
Ia bilang cinta itu sudah tak sama lagi sejak kuberikan padanya dulu. Cinta itu sekarang miliknya, bukan lagi milikku. Ia yang menyiraminya dan memberinya pupuk agar tumbuh subur. Aku sudah memberikannya dan ia memilikinya.
"Jadi aku punya hak memberikannya kepada siapapun yang aku mau," ujarnya.
Salahkah jika aku meradang? Aku memintanya mengembalikan cinta itu. Itu punyaku! Aku yang menaruhnya disitu! Ia tak mau. Katanya cinta itu bukan lagi hakku. Tidak! Berikan padaku! Ia menepis tanganku ketika aku hendak meraih cinta di dadanya itu.
Ia lari dan aku mengejarnya. Ia mencoba berkelit, keseimbangannya hilang ketika menabrak meja. Aku mengejarnya, meraih lengannya. Mencoba menariknya agar bisa kurenggut cinta itu darinya.
"Pergi!" Teriaknya.
"Kembalikan dulu cintaku!"
Ia berbalik, menuju pintu. Aku memburunya. Ia jatuh tersungkur di depan anak tangga teratas. Berusaha bangkit, tapi ternyata kakinya terkilir.
"Kamu gila! Dasar perempuan gila!" Ia berteriak ketika aku berlari mendekat. Sebelum akhirnya tanganku terayun ke dadanya. Mencabut paksa cinta milikku.
Cintaku kini mati. Tak lagi berdenyut hangat di dada itu. Akar dan rantingnya tercerabut. Kupastikan cinta itu hanya milikku. Tak boleh lagi diberikan pada siapapun.
.....
"Thalita! Apa yang kamu lakukan?"
Orang-orang yang baru datang itu menatap ngeri.
Gadis itu menoleh. Matanya sayu, tetapi bibirnya tersenyum. Di tangannya tergenggam sebilah pisau. Sesosok lelaki tergeletak kaku dekat kakinya. Dadanya bersimbah darah.
Seandainya aku tak pernah memasrahkan cinta itu kepadanya, mungkin hidupku akan lebih tentram. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Aku menyaksikan cinta itu tumbuh dan berkembang, berurat akar, dengan sulur-sulur yang terus menjalar kemana-mana. Ke hatiku, ke jiwaku. Mengalir ke seluruh tubuh, mengisi sel-sel darah merahku. Cinta itu begitu suburnya.
Tak sedikitpun aku menyangsikan kejujurannya ketika cinta itu kuletakkan di dadanya. Aku berharap ia akan menjaganya, menyiraminya dan memberinya pupuk agar selalu hidup. Dan cinta itu memang hidup. Meski aku harus selalu mengingatkan untuk tak lupa menyiangi daun-daunnya yang kering meranggas, menyimpannya di sudut hati yang paling sejuk, dan menghangatkannya di dekat jantung yang berdetak lembut ketika cemburu menghantar beku.
Kupasrahkan cinta itu di dadanya, dan setiap hari aku menengoknya. Meski terkadang ia berada jauh dariku, aku akan meneleponnya. Merasakan getar-getar lembut ranting yang rimbun dari suaranya yang menggema di antara sambungan kabel-kabel hitam itu, membaui wangi kelopak bunganya yang mekar dihantarkan udara malam ketika aku mengingat wajahnya. Awalnya terasa begitu indah. Lebih indah dari bayangan rembulan di wajah kolam.
Lalu suatu hari ketika kutemui ia, kutemukan ranting cinta itu tak berbunga. Padahal telah kuhitung hari dan kuyakini, saat itu mestinya bunganya telah rimbun dan harum. Dan seharusnya ia sudah memetiknya untukku.
"Kenapa sekarang tidak berbunga?" Tanyaku. "Bukankah kamu menyirami dan memberinya pupuk setiap waktu?"
Ia bilang tidak tahu. Cinta itu ada dan subur, tapi bunganya tak mau muncul. Ah, sungguh tak masuk akal.
Jawabannya muncul tanpa ditunggu. Kulihat seorang perempuan di depan rumahnya. Membawa serumpun bunga yang seharusnya untukku. Ia yang menyerahkannya di depan pintu. Dengan kecupan dan tatapan mesra, yang biasanya ia lakukan padaku.
Salahkah kalau aku marah? Itu cinta milikku! Aku yang memberikannya, menyimpannya di dadanya agar ia menjaganya. Aku menyaksikannya tumbuh berkembang, berurat berakar. Dan bunganya, cuma aku yang boleh memetiknya. Berani-beraninya ia memberikan bunga dari cinta itu untuk orang lain!
"Siapa dia?" Aku bertanya padanya malam itu.
Ia mencoba berkelit.
"Kenapa kamu berikan bunga-bunga dari cinta di dadamu itu? Bukankah itu cinta dariku? Aku yang menyimpannya di dadamu. Bukankah aku yang seharusnya kau beri segala hasil dari pertumbuhannya?"
Ia bilang cinta itu sudah tak sama lagi sejak kuberikan padanya dulu. Cinta itu sekarang miliknya, bukan lagi milikku. Ia yang menyiraminya dan memberinya pupuk agar tumbuh subur. Aku sudah memberikannya dan ia memilikinya.
"Jadi aku punya hak memberikannya kepada siapapun yang aku mau," ujarnya.
Salahkah jika aku meradang? Aku memintanya mengembalikan cinta itu. Itu punyaku! Aku yang menaruhnya disitu! Ia tak mau. Katanya cinta itu bukan lagi hakku. Tidak! Berikan padaku! Ia menepis tanganku ketika aku hendak meraih cinta di dadanya itu.
Ia lari dan aku mengejarnya. Ia mencoba berkelit, keseimbangannya hilang ketika menabrak meja. Aku mengejarnya, meraih lengannya. Mencoba menariknya agar bisa kurenggut cinta itu darinya.
"Pergi!" Teriaknya.
"Kembalikan dulu cintaku!"
Ia berbalik, menuju pintu. Aku memburunya. Ia jatuh tersungkur di depan anak tangga teratas. Berusaha bangkit, tapi ternyata kakinya terkilir.
"Kamu gila! Dasar perempuan gila!" Ia berteriak ketika aku berlari mendekat. Sebelum akhirnya tanganku terayun ke dadanya. Mencabut paksa cinta milikku.
Cintaku kini mati. Tak lagi berdenyut hangat di dada itu. Akar dan rantingnya tercerabut. Kupastikan cinta itu hanya milikku. Tak boleh lagi diberikan pada siapapun.
.....
"Thalita! Apa yang kamu lakukan?"
Orang-orang yang baru datang itu menatap ngeri.
Gadis itu menoleh. Matanya sayu, tetapi bibirnya tersenyum. Di tangannya tergenggam sebilah pisau. Sesosok lelaki tergeletak kaku dekat kakinya. Dadanya bersimbah darah.
9 comments:
kenapa aku merasa menjadi laki-laki yang kau maksud,,
bukan, bukan kau yang menjadi si penulis tentunya,,
aku hanya seperti pernah melihat kisah itu,,
bukan dari siapa pun, tapi dari hidupku sendiri,,
aku,,
dia,,
tulisanmu kurasa menamparku,,
seolah dia yang menulis untukku,,
tapi tidak,,
tidak sama,,
aku tahu aku mengecewakannya,,
aku tidak bisa memekarkan ranting cinta yang ia tanam di hatiku,,
karena aku benar-benar tidak bisa,,
bukan memberikannya pada orang lain,,
lalu suatu hari ia menyadari kekeringan cinta itu,,
atau, dia tidak melihat apa yang seharusnya dia lihat dariku,,
tapi bukan karena wanita lain,,
sama sekali tidak,,
ini hanya karena aku melakukan kesalahan di masa lalu,,
aku terburu-buru menerima benih itu,,
padahal aku tidak memiliki pupuk apapun untuk menyuburkannya,,
sungguh,,
hatinya gerimis sepanjang hari,,
hingga berminggu-minggu,,
mungkin berbulan-bulan,,
tapi aku yakin, dia tidak akan mati (cintanya),,
toh aku serahkan kembali benih itu,,
ranting itu,, cinta itu,,
kuserahkan dalam keadaan terbaik yang bisa kuberikan,,
dan ia menerimanya,,
belakangan aku tahu ia tengah melirik lahan lain untuk benihnya itu,,
aku mengenal orang itu,,
temanku, sahabatnya,,
mungkin itu yang terbaik untukya,,
kuharap,,
,,
,,
waduww??
kok jadi curhat,,
lam kenal juga enno,,
kamu udah lama ngeblog ya??
wahh,,
tabik,,
berarti aku akan jadi muridmu,,
mohon bimbingannya,,
kuharap kamu bersedia mengunjungi blogku,,untuk memberi kritik, sran, masukan, tanggapan,, atau curhat juga boleh hehhe,,
kamu pasti anggota pecinta alam yaa??
seyem ah...pake acara pembunuhan segala :)
@jan phaiz: silakan curhat... :) hm? saya bkn anggota pecinta alam. kok bisa nuduh kesitu? hehe
@hari: menyalurkan naluri terpendam neh ;)
No, kok gw berasa tersambung ke thalita ya?
wadoh, mang lo pengen bunuh sapa pop? jgn, itu dosa pop, bertobatlah! hahaha
weeww...serem amat mbak...
tapi maknanya mengena banget tuh..hihi
@kita: serem? masa? :D
mantap cerita nya bu...
gw suka berkunjung ke blog mu,,,
@raden: makasiiih :)
Post a Comment