: my spring
Darling, empat dinding bercat putih ini memenjarakan aku. Seolah-olah semakin merapat, mendekat, mencoba menghimpit mimpi-mimpi dalam kepala. Dan hidungku mencium aroma disinfektan yang menyengat sampai ke otak. Migren menyerang benak yang penat oleh kenangan yang mendekat.
Ada adegan yang selalu berulang dalam ingatan. Tentang seorang perempuan yang berdiri di atas gunung, selagi angin utara mengacak-acak rambutnya. Hanya ada teriak elang melayang rendah di atas kepala. Bunyi kepaknya terdengar samar. Menikung, melayari udara.
"Aku selalu suka elang," kata seseorang, yang sejak tadi berdiri di sebelah perempuan itu. Laki-laki yang berdiri mendongak ke atas, terbebas dari kerirnya yang dipanggul selama sembilan jam perjalanan menanjak yang terjal.
"Karena ia bebas?" Perempuan itu bertanya. Tanpa menoleh. "Simbol kebebasanmu kukira?"
"Ya." Laki-laki itu kini menoleh padanya. "Katakan padaku, apa yang kau lakukan jika seorang lelaki memilih untuk mencintaimu?"
"Dan itu bukan kamu kan?"
"Bukan. Kita bicara tentang laki-laki lain. Siapa saja. Entah."
"Pacarku?"
"Ya. Salah satunya."
"Jawabannya tidak akan obyektif. Kalau bicara tentang dia, maka jawabannya aku memang mencintai pacarku."
"Jika orang lain?"
"Itu terserah dia. Hak asasi setiap orang untuk memberi cinta pada siapapun."
Entah kenapa percakapan itu selalu berulang di benakku. Bercampur tanya, mengapa kamu memilih untuk mencintaiku. Kamu sudah pernah menjawabnya. Bukannya aku tak puas dengan jawaban itu. Aku memahaminya. Mungkin aku cuma melantur, terlalu bosan dan tak bisa tidur.
Empat dinding ini memenjarakan aku. Menghimpit, membuatku tak bisa terbang sebebas biasanya. Dan aku terbaring di sini. Di ruang putih ini. Hanya bisa mengingatmu saja.
______________
cepat pulang ya. kangen....
Darling, empat dinding bercat putih ini memenjarakan aku. Seolah-olah semakin merapat, mendekat, mencoba menghimpit mimpi-mimpi dalam kepala. Dan hidungku mencium aroma disinfektan yang menyengat sampai ke otak. Migren menyerang benak yang penat oleh kenangan yang mendekat.
Ada adegan yang selalu berulang dalam ingatan. Tentang seorang perempuan yang berdiri di atas gunung, selagi angin utara mengacak-acak rambutnya. Hanya ada teriak elang melayang rendah di atas kepala. Bunyi kepaknya terdengar samar. Menikung, melayari udara.
"Aku selalu suka elang," kata seseorang, yang sejak tadi berdiri di sebelah perempuan itu. Laki-laki yang berdiri mendongak ke atas, terbebas dari kerirnya yang dipanggul selama sembilan jam perjalanan menanjak yang terjal.
"Karena ia bebas?" Perempuan itu bertanya. Tanpa menoleh. "Simbol kebebasanmu kukira?"
"Ya." Laki-laki itu kini menoleh padanya. "Katakan padaku, apa yang kau lakukan jika seorang lelaki memilih untuk mencintaimu?"
"Dan itu bukan kamu kan?"
"Bukan. Kita bicara tentang laki-laki lain. Siapa saja. Entah."
"Pacarku?"
"Ya. Salah satunya."
"Jawabannya tidak akan obyektif. Kalau bicara tentang dia, maka jawabannya aku memang mencintai pacarku."
"Jika orang lain?"
"Itu terserah dia. Hak asasi setiap orang untuk memberi cinta pada siapapun."
Entah kenapa percakapan itu selalu berulang di benakku. Bercampur tanya, mengapa kamu memilih untuk mencintaiku. Kamu sudah pernah menjawabnya. Bukannya aku tak puas dengan jawaban itu. Aku memahaminya. Mungkin aku cuma melantur, terlalu bosan dan tak bisa tidur.
Empat dinding ini memenjarakan aku. Menghimpit, membuatku tak bisa terbang sebebas biasanya. Dan aku terbaring di sini. Di ruang putih ini. Hanya bisa mengingatmu saja.
______________
cepat pulang ya. kangen....
6 comments:
lg kgn yh mba,,,
ditlp aj mba,,, :)
hehehe ide bagus me! :D
hmm,,besok2 lo saya kangen saya buatin cerita kek gini juga neh buat ce saya..hihihi.. :))
ya buaaaat :)
mba eno, itu gambarnya lagi garuk-garukan yah....?
Huahahaha iya tampaknya demikian mel! :D
Post a Comment