Thursday, July 10, 2008

My Circle of Friendship

Friendship isn't how you forget, but how you forgive
Not how you listen, but how you understand
Not how you see, but how you feel
Not how you let go, but how you hold on

"Aku berangkat ke Jogja," kataku pada mereka. Dan mereka menyambut dengan gembira. Bahkan yang tak sempat kuberitahu, dan mendapati aku sudah hinggap di kotanya, antusias ingin bertemu.
Teman-temanku itu menemaniku. Membawaku melalui jalan-jalan rindang dan menuntaskan angan-angan yang berbulan-bulan lama terpendam. Bersamaku menikmati cahaya bulan yang menyinari jalanan temaram sepanjang Jogja.

Jogja yang hangat. Jogja yang akrab. Jogja yang terpatri dalam kenangan indah.

Ridwan

Ia sudah menungguku di Stasiun Tugu sejak jam 5 pagi. Keretaku tiba jam tujuh pagi. Keterlambatan yang tak bisa ditolerir sesungguhnya. Tetapi ia sudah berdiri di depan pintu keluar. Membalas lambaian tanganku dengan senyum polosnya. Ah, adikku yang selalu rela kusuruh-suruh itu... :)

Selalu ia yang jadi pengawalku selama di Jogja. Mengantarku kemanapun aku mau. Bertualang menjelajahi puing-puing Jogja purbakala dengan motornya.

Ia terbelalak tak percaya ketika kuberikan padanya hadiah ulang tahun yang sempat tertunda itu. Pisau Swiss! Dan ingin kuabadikan mimik girang di wajahnya itu.

"Ini beneran buat gue? Kok elo tau gue pengen yang kayak gini?"
Tentu saja aku tahu. Bukankah ia juga seorang penelusur gua seperti Pria Hujan-ku? Ia juga membutuhkan benda itu untuk petualangannya.

Ia yang mengantarku ke rumah kos Astri malam terakhir itu. Esoknya Astri yang akan mengantarku ke Stasiun Tugu. Jadi malam itu kami saling berpamitan. Aku menjabat tangannya sepintas lalu, melambaikan tangan tanpa menatap wajahnya.

Aku tak ingin menangis, karena aku takut ia tak lagi ada di Jogja ketika aku kembali ke sana. Aku tak mau itu menjadi pertemuan kami yang terakhir. Kuliahnya sudah hampir selesai, dan ia sudah punya segudang rencana. Bertualang kemana-mana.

Fahmi

Ia muncul di Djendelo Cafe malam itu. Ketika aku dan Ridwan tengah berselancar di dunia maya, di meja dekat tangga. Teman yang selalu berbagi cerita tentang puisi dan sastra. Kepadanya ada hutang yang belum terbayar lunas: menemaninya keliling Jakarta.

Di malam-malam senyap, di tengah tidur yang mulai pulas, Fahmi menyela mimpi dari ponselnya, sekedar bercerita tentang cerita pendek yang sedang ditulisnya. Kadang-kadang terdengar musik dangdut koplo yang menemaninya mencari inspirasi.

Fahmi yang menemaniku menghabiskan senja di Djendelo Cafe ketika kali berikutnya Ridwan sibuk dengan skripsinya. Ia membiarkan aku sendirian menulis, pindah ke meja lain dimana temannya berada. Ia membiarkan aku sejenak larut dalam sunyi dan ekstasi diri.

Fahmi, yang mengaku sangat jarang membaca blogku, justru memberiku persahabatan yang teramat ikhlas.

Astri

Mengenalnya tak sengaja dari pengembaraan maya. Astri, yang dengannya aku pernah dan masih berbagi kisah. Astri yang menitipkan resah dan kini menemukan berkah. Mungkin bukan warna merah yang menyatukan kami. Bukan juga kekaguman yang sama terhadap Pak Sapardi. Barangkali kami adalah dua orang pengembara yang ditakdirkan bertemu. Dua orang tokoh dalam bingkai cerita yang sama.

Astri memberikan tempat tidurnya untuk aku, si tamu yang tak tahu diri. Ia mengantarku ke stasiun Tugu pagi-pagi. Masih kuingat senyumnya saat kami berpelukan hangat sebelum berpisah. Astri, sampai ketemu lagi!

Dicky

Aku mengiriminya pesan pendek pagi-pagi. "Mas, aku mau dolan ke sana... Apakah kalong-kalongnya sudah pada bangun?"

Ia tergeragap bangun ketika aku sudah berdiri di depan basecamp-nya jam sepuluh pagi. Tak ada siapa-siapa di sana, hanya ia dengan wajah kusut dan mata yang masih mengantuk. Buru-buru ia berlari ke kamar mandi untuk membasuh muka.

Masih ada tumpukan peralatan eksplorasi yang belum sempat dicuci. Kami duduk di bangku kayu, bercerita seperti dua orang yang sering bertemu.

Ia menemaniku sampai sore. Mengizinkan aku mengobrak-abrik dokumentasi foto eksplorasi. Menceritakan padaku pengalaman-pengalaman ajaib di perut bumi.

"Kapan-kapan ikut eksplorasi sama kami, Mbak."
"Jangan yang susah-susah ya... Entry-nya yang horisontal aja."
"Haha oke..."
__________________

Kutinggalkan Jogja dan mereka. Terima kasih telah menemaniku membasuh sunyi, teman-teman. Terima kasih bersedia direpotkan. Datanglah ke Jakarta kapan-kapan. Akan kubasuh juga sunyi kalian...


Image and video hosting by TinyPic

2 comments:

Unknown said...

memang apik tenan kota simbahku ini... selalu membuat kenangan tersendiri bagi siapapun yang mengunjunginya...

Enno said...

hahaha iya tenan mas iwan :D

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...