Wednesday, June 25, 2008
Never Come Back
Kemarin ia menelepon. Menjelang sore, ketika aku sedang berselancar di dunia maya. Suara yang berat, diselingi batuk-batuk flu terdengar familiar di telinga. Dulu, suara yang sama meneleponku untuk menanyakan penugasan atau naskah-naskah yang sudah diedit. Namun, kemarin suara itu menanyakan sesuatu yang tak mungkin lagi kulakukan: kembali bekerja di kantornya. Ia berharap aku bisa bergabung lagi di sana. Di perusahaan media miliknya.
Lalu, ingatanku melayang pada suatu hari dalam sebuah rapat, ketika aku dan teman-teman mengajukan usulan kenaikan gaji. Sudah tiga tahun kami bekerja, bahkan break even point pun sudah terlampaui. Di luar sana, harga-harga terus membumbung naik dan gaji kami semakin tak mencukupi.
Ia malah menggebrak meja dan menghina kami. Katanya ia tak sudi membayar kami lebih. Karena menurutnya, pekerjaan kami tidak bermutu. Bahkan sesungguhnya ia bisa mengerjakannya sendiri kalau mau. Katanya, media-media lain belum tentu sudi memuat tulisan kami.
Ucapannya itu menempatkan kami pada posisi pengemis yang diberi belas kasihan oleh perusahaan miliknya. Menempatkan kami pada kondisi hina dina, seprofesional apapun kami bekerja. Ia takabur dan sombong. Lupa bahwa sebuah media, baik cetak, elektronik, maupun visual merupakan sebuah kerja tim. Tanpa kami, perusahaannya tak akan menghasilkan apa-apa.
Setelah itu, satu per satu kami pergi. Ia mulai ditinggalkan. Olehku, oleh teman-teman. Meskipun sebelumnya ia adalah teman lama dan saudara seperjuangan, tetapi kami tak butuh teman yang lupa daratan.
Penghinaannya mulai menjadi kemenangan kami, ketika media lain ternyata lebih menghargai kami. Kami membiarkannya membuktikan ucapannya bahwa ia bisa bekerja sendiri. Ternyata....
Ia bilang, namaku masih tercantum dalam boks susunan redaksi di majalah itu. Pasti tadinya ia berharap aku akan kembali.
"Tolong dihilangkan," kataku. "Tidak etis, karena saya sudah bekerja di tempat lain."
"Wah, sebetulnya kami masih membutuhkan Anda," ujarnya dengan nada kecewa.
"Maaf Pak, tapi saya tidak akan kembali. Saya sudah kerasan di media yang sekarang."
Akhirnya ia berkata ia bisa mengerti. Lalu telepon itu ditutup.
Sesuatu memang baru terasa berharga jika sudah tak ada. Tetapi ini bukan tentang sesuatu yang abstrak. Ia mengenal kami lebih dari lima tahun, bahkan ada yang dikenalnya lebih dari 10 tahun. Ia membaca tulisan kami setiap hari. Sesungguhnya ia sudah tahu kami bukan penulis bodoh yang tidak bermutu. Ia cuma ingin mempertahankan superioritasnya. Ia takabur dan sombong.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
3 comments:
kasian orang itu mba.. :(
serius!
ya kasian, tapi karena sikapnya sendiri yang sombong dan takabur.... biar dia rasa sekarang dijauhi teman-teman baiknya :)
Kacang lupa akan kulitnya ya.. Baguslah Mbak, hidup Mbak Enno!
:p
Post a Comment