Monday, June 23, 2008

Dua Catatan Kecil

"Namaku Tania," ucapnya saat mereka berkenalan dulu.
Laki-laki itu tersenyum dan menyebut namanya dengan suara yang tegas tetapi ramah. "Iman. Panggil saja begitu."
Sejak itu mereka selalu saling menunggu. Makan siang berdua, dan menghabiskan hari dengan tawa.


To: Iman

Sudahkah kamu simak seluruh kisahku? Sudah kucurahkan semua hari-hari penuh tawa dan tangis yang dulu kepadamu. Dan kamu duduk diam. Menatapku, mendengarkan. Tak sedetik pun menyela. Itulah yang kusuka darimu. Kamu pendengar terbaikku.


Lalu, ketika kisahku usai, kamu menggenggam tanganku dan berucap, "Kebahagiaanmu menunggu di ujung sana, Tania. Berjuanglah terus. Semangatlah."


Aku ingin sekali bilang padamu, Iman. Bahwa kamu mulai memenuhi rongga benakku. Setiap kali aku berpaling, kamulah yang berdiri di situ. Kamu mulai menjadi hantu yang membuntuti kemana aku pergi. Terlebih ketika kamu juga mencurahkan kisahmu tentang keluargamu, anak-anakmu. Aku terharu melihat matamu yang berbinar ketika bercerita tentang kenakalan dan kelucuan jagoan-jagoan kecilmu.


Iman, pernahkah kamu menyesali pertemuan kita yang terlambat? Saat aku mulai menyadari bahwa keberadaanmu di dekatku terasa begitu nyaman. Kamu lebih sering diam, mendengarkan celotehku sepanjang hari. Sesekali menimpali, tak lebih panjang dari satu kalimat, lalu tenggelam lagi dalam duniamu di layar komputer itu. Tetapi matamu menyampaikan banyak hal yang tak kumengerti. Apa arti semua tatapanmu itu? Apakah kamu juga sama menyesalnya denganku?


Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah pergi, sejauh mungkin darimu. Sebelum aku menjadi seseorang yang asing. Tania yang mencintai milik orang lain.


*******

To: Tania

Tawamu yang renyah adalah matahari yang bersinar pagi-pagi, memberi kehangatan pada hatiku. Celoteh riangmu adalah suntikan adrenalin yang menyemangati dan memberi energi. Senyummu meresap ke dalam jiwaku yang senyap.

Saat aku menyesap kopi di meja sarapan, bercanda dengan anak-anak dan mendengarkan isteriku mengeluh tentang kehidupan yang semakin sulit belakangan ini, yang kuingat adalah matamu yang berbinar-binar bagai bintang saat menatapku.

Aku tahu, sungguh tak pantas aku mengatakan ini kepadamu. Aku menyesali pertemuan kita yang terlambat, Tania. Tahukah kamu, ketika pertama kali melihatmu dan kamu menyodorkan tanganmu untuk berkenalan, aku sudah jatuh cinta padamu


********

Dua lembar kertas notes itu tergeletak di dalam laci meja masing-masing. Tak ada yang benar-benar berniat mengirimkannya ke tujuan. Tania sudah seminggu tak masuk kerja, sementara Iman memutuskan mengambil dinas luar yang sudah berbulan-bulan berusaha ditundanya.

____________________

PS: Ros, sudah kuabadikan kisahmu. Impas ya :)

2 comments:

hari Lazuardi said...

Mari kita lihat laci meja masing-masing, adakah yang tergolek disana yang belum tersampaikan, kalau ada sampaikanlah agar tidak menjadi misteri perandaian di perasaan hatimu…
Hanya setumpuk catatan hutang dan foto usang si A, si B, dan si C
Weleh…ini bukan laci mejaku, aku salah meja :)

Enno said...

ya ayo periksa, periksa! :D

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...