Wednesday, June 18, 2008

Dinding di Antara Kami


"Kenapa sih kalau ngomong sama aku harus bisik-bisik?"
"Nggak kenapa-napa. Kepingin saja. Hm... biar mesra kali ya?"
"Sinting!"

Ia muncul di suatu pagi yang sepi. Seorang pria yang biasa-biasa saja, bahkan bersahaja. Ia jangkung. Sejak dulu, aku tidak terlalu nyaman bergaul dengan pria-pria jangkung karena rasanya seperti mengintimidasi diriku yang bertubuh kecil ini. Tetapi si jangkung yang satu ini berbeda. Tak sedikitpun membuatku tak nyaman.

Begitu saja ia duduk di kubikel sebelah. Senyumnya mengembang ragu. Hari itu adalah hari deadline terakhir di kantorku. Dan sudah sejak tadi aku menghadapi setumpuk naskah yang harus diedit, dengan wajah ditekuk tanda kesuntukan yang luar biasa.

Pasti ia tak berani mengganggu. Aku meliriknya, memberi senyum sekilas. "Deadline ini membunuhku," gerutuku.
"Ya?"
"Bunuh aku saja deh," sahutku. "Naskah ini kok nggak habis-habis sih! Seolah-olah bertambah sendiri secara ajaib."
Ia mengalihkan pandangan dari layar komputernya ke wajahku yang merengut. "Kamu terlalu bagus untuk dibunuh." Ia tersenyum.

Di hari yang lain, siang yang terik, ia kembali muncul. Kali ini dengan wajah setenang permukaan danau yang dilayari angsa. "Sudah makan?" Ia bertanya.
"Sudah beli." Aku mengacungkan bungkusan nasi dengan ekor ikan goreng tersembul keluar.
"Doyan ikan ya?" Tanyanya penuh perhatian. Kemarin ia juga bertanya serupa ketika melihatku membeli pisang goreng di warung sebelah dan bermain game komputer. Seolah-olah sedang menginventarisir semua hal yang kusukai.
"Yup."

Menjelang sore, seorang rekan perempuan masuk ke ruangan kami. Mendekati ia yang sibuk dengan pekerjaannya. Bertanya apakah mereka bisa pulang bersama sore itu.
"Hm... aku belum tahu pulang jam berapa," ujarnya.
"Ya sudah, aku bisa menunggu kok."
"Wah, nanti kelamaan. Kalau aku pulang malam, gimana?"
"Aku tunggu."
Ia menoleh padaku. Matanya menyiratkan tanya. Aku mengangkat bahu. Artinya, urus saja sendiri si genit itu.

Suatu waktu, ia bicara pada si genit (yang lagi-lagi mendatanginya) dengan suaranya yang bariton. Lantang dan terbuka. Lalu setelahnya ia menjengukkan kepalanya ke kubikelku. "Nanti bantu aku koreksi yang satu ini ya?" Ia bicara dengan intonasi pelan, lembut dan tatapan dalam.
"Nggak perlu bisik-bisik." Sahutku. "Kayak tugas rahasia saja."

Aku selalu heran, intonasi bicaranya selalu berbeda jika bicara denganku dibandingkan bicara dengan siapapun di kantor ini. Bahkan pada si genit yang kutahu tertarik padanya itu, ia bicara dengan gaya bebas dan seenaknya.
"Nggak boleh bicara keras-keras dengan porselen," sahutnya.
Porselen? Waduh!

Aku bangkit dari kursiku. Menepuk bahunya lembut. "Dua hari tidak pulang gara-gara deadline, sudah telepon isterimu? Dia pasti sedang kangen di rumah."

Ia termangu. Aku tersenyum. Senyum persahabatan yang paling manis. Dinding itu sudah terbangun di antara kami. Ia tahu, aku sudah mengambil jarak.

7 comments:

Anonymous said...

Oh..oh.. siapa diaaa....

*nyanyi jingle 'kuis siapa dia'* hehehe

Enno said...

hehehe hanya kolega... maklum, banyak fans nih :D

*GR mode on*

Teuku Zulfikar Amin said...

hmm jadi penasaran...
emang jangan teriak2 sama porselen...

Anonymous said...

Ini dongeng tentang apa sih? Tiga kali dibaca tapi nggak ketemu benang merahnya. Terlalu riuh untuk diapresiasi!

Enno said...

slugger: soalnya bisa pecah krn getaran suara (apalagi kalo cempreng) hahaha

firhanusa: biasa deh kalo tersindir suka pura2 bwahahaha... :))

-Gek- said...

Hihi.. bagus Mbak,
1-0

Memang harus punya banyak cara unutk menghindari buaya.. XD

nop rianti said...

selalu suka ceritamu, no:-*
owh, salam yah buat yang menyebutmu porselen ituh:p

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...