Sebenarnya, pemicu terbesar yang menggerakkan saya langsung menulis tanpa pikir panjang, adalah dua nama yang melekat di otak saya sejak masih kecil.
ALGERNON dan DEMITRIA.
Saya sangat menyukai dua nama itu, terutama Algernon. Itu adalah nama yang unik dan antik. Berasal dari bahasa-bahasa kuno.
Algernon berasal dari bahasa Normandy France, yang artinya 'with beard'.
Meski tak pernah saya membayangkan seorang pria berjanggut saat menyebut nama itu. Yang saya bayangkan, justru remaja cerdas, tinggi besar agak gendut bernama Frederick Algernon Trotteville, yang dijuluki Fatty oleh teman-temannya.
Yes, pertama kalinya saya tahu nama Algernon dari serial Pasukan Mau Tahu-nya Enid Blyton, penulis favorit yang buku-bukunya menemani saya bertumbuh. Dari seorang anak kecil pengkhayal menjadi cewek remaja tomboy yang doyan keluyuran, lalu orang dewasa yang keras kepala, yang masih tetap pengkhayal dan doyan keluyuran.
Nama Algernon itu klasik, meskipun tidak praktis dilafalkan. Baru saya sadari kemudian, ternyata sejak kecil saya sudah suka dengan segala hal berbau jadul, vintage dan antik. Haha.
Lalu gimana dengan Demitria?
Saya tidak ingat kapan tepatnya saya mendengar nama itu dan langsung menyukainya. Tapi sekitar 10 tahun yang lalu, barangkali lebih, saya membuat blog terkunci yang isinya adalah bab-bab awal novel dengan tokoh bernama Demitria. Novel itu tidak terselesaikan, karena saya tak bikin outline sama sekali. Terlupakan, tetapi nama tokohnya tetap saya sukai.
Dalam draft Algernon Project juga ada nama Pip. Itu nama yang saya sukai juga. Setiap pembaca setia buku-buku Ibu Guru Blyton pasti tahu siapakah Pip itu.
Kuncinya masih di serial Pasukan Mau Tahu.
Demikianlah, suatu pagi yang dingin berkabut di sebuah kampung (yang bagi saya adalah tempat yang sangat menyebalkan), di sudut Jawa Barat, dua nama yang puluhan tahun mengendap di dalam benak saya itu mengetuk-ngetuk minta keluar.
Seperti saya, mereka sepertinya jatuh cinta pada Würzburg, yang saya baca di internet beberapa hari sebelumnya.
Maka, saya menciptakan takdir untuk pertemuan mereka di sana.
Algernon yang memandang hidup dengan pahit dan Demitria yang selalu optimis.
Sesungguhnya, proses mewujudkan mereka adalah pembelajaran baru lagi bagi saya.
Pertama, saya menulis tanpa outline (dan saya jadi tahu bahwa saya lebih cocok dengan sistem kerja pakai outline).
Kedua, tadinya saya terbiasa menulis berdasarkan mood. Draft ini membuat saya ketat sekali dengan waktu. Menulis tiap hari tanpa menunggu mood. Memaksa memikirkan dialog dan adegan sepanjang hari 24 jam. Dan saya jadi bisa menyelesaikanya 2 bulan lebih cepat dari tempo normal saya.
Ketiga, ternyata inspirasi memang datang tidak terduga. Hanya dari nama, sebuah kisah bisa tercipta.
Tunggu tinjauan berikutnya dari Algernon Project, ya!
Pfiaddi!
No comments:
Post a Comment