Wednesday, October 4, 2017

[Allure] Lelaki yang Entah Datang dari Mana

Aku memandangi meja di sudut dekat jendela besar yang menghadap ke jalan raya. Ada seseorang duduk di sana, sendirian saja. Cangkir kopi di atas mejanya masih mengepul, baru saja diantar pramusaji. Itu cangkir kopinya yang ketiga.

Kau tahu, aku bukan orang yang suka memata-matai orang lain dan ikut campur urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengan diriku, kan? Aku biasanya duduk diam di meja favoritku, di sebuah sudut yang lain yang berseberangan dengan sudut di sana itu. Aku biasa mengabaikan sekelilingku dan menulis kata demi kata di laptop merah kesayanganku.

Namun, sudah seminggu ini, aku tak bisa menghindari pemandangan di sebelah sana itu. Seorang lelaki, yang telah menjadikan meja itu sebagai meja favoritnya di kafe itu, sebagaimana kutasbihkan meja ini sebagai favoritku. Tujuh hari yang panjang, dan ia hanya duduk di sana tanpa orang lain menghampirinya. Yang dilakukannya selain meneguk bercangkir-cangkir kopi adalah mencoret-coret lembaran-lembaran tisue.

Ia akan pergi menjelang senja. Bangkit perlahan dari kursinya, menepuk-nepuk celana jinsnya dan tercenung sejenak sambil menatap ke luar jendela. Bisa kulihat gerak pelan bahunya, seolah-olah ia menghela napas dan menghembuskannya kuat-kuat. Lalu, ia akan menghampiri meja bar dan bertanya apakah ia bisa membeli secangkir kopi dan beberapa muffin untuk dibawa pulang.
Dalam rutenya ke pintu keluar, ia akan melewati mejaku. Mengangguk sedikit kepadaku--karena lagi-lagi aku terlambat mengalihkan tatapanku dari sosoknya. Ia tahu aku memandanginya, dan itu membuatku mengumpati diri sendiri.

Awalnya, aku tak tahu siapa dirinya. Di hari pertama itu, kulihat beberapa pengunjung kafe diam-diam menoleh padanya dan mulai berbisik-bisik satu sama lain. Wajah-wajah penasaran bercampur dengan wajah-wajah kesal dan tak suka. Sungguh membuatku heran.
Memangnya siapa dia? Kenapa orang-orang tampak begitu kesal melihatnya? Beberapa bahkan diam-diam mengacungkan jari tengah ke arah lelaki itu. Aku mengerutkan kening. Dosa apa yang dilakukan lelaki itu sampai harus diperlakukan begitu?

Di hari kedua, aku mendapatkan jawabannya dari beberapa pramusajiku.
"Oh, masa Kakak tidak tahu?" seru mereka. "Namanya menghiasi berita selama dua bulan belakangan ini." Seorang dari mereka menunjukkan laman sebuah situs berita dari smartphone-nya.
"Oh." Cuma itu komentarku setelah membaca isi berita dan mengetahui siapa lelaki itu.
"Seharusnya, dia kita larang datang ke kafe ini. Pengunjung lain jadi nggak nyaman, Kak."

Kau tahu, aku membenci segala bentuk tindakan diskriminasi, kan? Makanya, kubiarkan saja lelaki itu menghabiskan waktunya di kafeku. Aku tidak berhak melarang-larang orang lain menikmati kebahagiaannya, sesepele apa pun itu. Aku memang pemilik kafe ini, kusediakan kafe ini bagi orang-orang yang membutuhkan tempat berlindung dari kejamnya hidup sehari-hari. Kusiapkan apa yang membuat mereka nyaman dan senang. Lantas, jika lelaki itu menemukan kenyamanan dan kesenangannya dengan duduk di sudut sana sambil meneguk bercangkir-cangkir kopi, apakah aku berhak melarangnya? Tentu tidak, bukan? Jadi, kubiarkan saja ia di sana. Pengunjung-pengunjung picik yang merasa terusik boleh mencari kafe lain.

Kau akan merasa keheranan setengah mati, kalau tahu siapa lelaki itu, dan kenyataan bahwa aku malah bersikap lunak kepadanya.
Namun, aku tidak akan memberitahukannya kepadamu. Tidak sekarang. Jangan. Belum waktunya. Aku punya firasat, ia tidak seburuk yang dikatakan orang.

"Permisi," sebuah suara membuyarkan pikiranku. Aku mendongak dari keyboard laptopku. Sepasang mata coklat gelap menatap sejajar dengan mataku. 
Lelaki di sudut seberang itu tengah membungkuk dan mengambil sesuatu di dekat kakiku. Diletakkannya benda itu di mejaku. 
"Pulpenmu jatuh."
Aku tertegun sejenak, lalu hanya bisa menjawab, "Oh." Reaksi tolol, yang sedetik kemudian kusesali.
Lelaki itu sudah beranjak, berjalan menuju pintu. Aku tersadar dan memanggilnya.
"Tunggu!"
Ia menoleh.
"Anu..., terima kasih."Aku menelan kegugupanku. Lalu, melambaikan tangan ke arah jendela, yang menyuguhkan pemandangan hujan sore yang berkilau dalam sorot lampu jalan. "Di luar hujan. Kami meminjamkan payung untuk pelanggan setia kafe."

Ia mengerutkan kening. Sepertinya, belum menyadari bahwa aku pemilik kafe ini. Kemudian, ia mengangguk. "Terima kasih tawarannya. Tapi saya suka hujan." Ia meneruskan langkahnya menuju pintu keluar, lalu menghilang ke dalam senja yang berhujan.

Lelaki itu, entah dari mana datangnya dan kemana ia pulang. Semoga ia tidak kena flu. Aku ingin melihatnya lagi besok, duduk di sudut dekat jendela itu.


pic from here

7 comments:

sekar said...

Lanjut! Lanjut! Lanjut! :D

Enno said...

sabar cha :D

M. Faizi said...

Lama sekali tidak berkunjung ke blog Enno. Ternyata masih sangat aktif, haha.
Kalau saya akan menyudahi pada bagian "Sepertinya, belum menyadari bahwa aku pemilik kafe ini."

adwr said...

Selalu suka sama cerita mba enno 😍😍

Enno said...

Hai Mas Faizi! Makasih udah dolan ke sini. Udah jarang nulis di sini kok. Hehe... iya ya, harusnya dia jangan tau dulu tentang identitas pemilik kafe. makasih masukannya. Ini semacam pemanasan untuk draft novel baru, yang mandeg terus kena writer's block haha.

Curly_t@uRus said...

Ennooo.....pakabar?

Enno said...

@Andini: hai... makasih udah mampirrr... blognya lama dianggurin nih :)

@Curly: Hai Mayaaa... alhamdulillah aku baik2 aja. Smoga kamu juga :D

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...